Rabu, 31 Maret 2021

(Do'a of the Day) 18 Sya'ban 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Alhamdulillaahil ladzii sawwaa khalqii fa'adda lahu wa karrama shuurata wajhii fa hassanahaa wa ja'alanii minal muslimiina.

 

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan kejadianku lalu Dia susun tubuhku dengan seimbang, yang telah memuliakan wajahku lalu Dia jadikan sebaik-baiknya dan yang telah menjadikan aku sebagian dari umat islam.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 16, Bab 14.

(Ngaji of the Day) Kapan Wali Nikah Pengantin Beralih kepada Wali Hakim?

Salah satu rukun nikah adalah wali sehingga tidak sah bila pernikahan dilangsungkan tanpa wali atau tanpa seizin yang berhak. Urutannya pun sudah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil. Ketika wali yang satu tidak ada atau tidak memenuhi syarat, maka wali yang lain, baik wali nasab yang lebih jauh atau wali hakim dapat menggantikannya. Namun, peralihan hak kewalian ini juga sudah ditentukan sehingga tidak dapat dialihkan sembarangan sesuai keinginan.

 

Al-Imam Abdurrahman As-Suyuthi telah merinci 20 keadaan di mana pernikahan harus dilangsungkan dengan wali hakim. (Lihat Al-Habib Muhammad bin Salim al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah, hal 9).

 

Di antara 20 keadaan tersebut, sebagiannya yang relevan dan konteksual dengan kondisi sekarang akan diuraikan di sini.

 

Pertama, ketiadaan wali, baik ketiadaan murni maupun ketiadaan secara syariat. Ketiadaan murni misalnya seorang perempuan tidak memiliki satu pun anggota keluarga yang berhak menjadi wali. Sedangkan ketiadaan wali secara syariat misalnya wali yang ada masih kecil atau mengalami gangguan jiwa. Sekalipun ada orang terdekat, tetapi tidak berhak menjadi wali karena hanya sebagai ayah tiri, ayah angkat, atau bukan ayah kandung yang sah.

 

Kedua, ketidakjelasan wali, baik tidak jelas tempatnya dan tidak jelas hidup atau meninggalnya. Siapa pun yang memiliki wali tidak jelas seperti ini, hendaknya memastikannya terlebih dahulu. Jika tidak ditemukan informasi, maka pernikahan dilangsungkan oleh wali hakim.

 

Artinya, ketidakjelasan semisal ini tidak kemudian mengalihkan kewalian kepada wali yang lebih lain. Sebab, kewalian masih melekat padanya sehingga dialihkannya kepada wali hakim. Ketiga, wali sedang ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan menyatakan:

 

لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ

 

Artinya, “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan juga menikahkan,” (HR Muslim).

 

Keempat, wali menolak menikahkan atau ‘adhal. Lebih jelas, para ulama mendefinisikan wali adhal sebagai wali yang menolak menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang sekufu sesuai permintaannya. Padahal, anak perempuan tersebut berakal sehat, sudah balig, serta memiliki calon suami yang sekufu dan sangat dicintainya. Syariat menetapkan, hukum penolakan wali tanpa alasan yang benar secara syari’i untuk menikahkan adalah haram berdasarkan ayat, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,” (Surat Al-Baqarah ayat 232).

 

Jika wali ternyata adhal, artinya alasan penolakannya tidak dibenarkan secara hukum, maka penikahan dilangsungkan dengan wali hakim. Dikecualikan jika alasan penolakannya kuat, seperti calon sumi anaknya tidak sekufu, maka hakim tak bisa mengambil alih. Maka dari itu, benar dan tidaknya alasan wali yang enggan menikahkan akan dibuktikan oleh penghulu, petugas pencatat nikah dari KUA, atau hakim di pengadilan negeri agama.

 

Kelima, wali sedang bepergian jauh, sejauh jarak yang diperbolehkan meng-qashar shalat atau lebih. Jika jaraknya kurang dari jarak yang diperbolehkan shalat, maka diharuskan meminta izinnya terlebih dahulu karena statusnya seperti orang yang hadir di tempat.

 

Sementara wali yang tak bisa hadir karena pingsan, epilepsi, atau mabuk yang tidak disengaja, tidak bisa diambil alih oleh hakim. Jika kewaliannya ingin dialihkan, maka harus ditunggu sampai tiga hari. Jika setelah tiga hari tak kunjung sadar, maka kewaliannya dialihkan kepada wali nasab di bawahnya, bukan kepada hakim. Sebab, kondisi tidak sadar karena pingsan, epilepsi, atau mabuk disejajarkan dengan kondisi tidak sadar karena tunagrahita. (Minahul Fattah ‘ala Dhau’il Mishbah fi Ahkamin Nikah, Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, hal. 289).

 

Demikian pula halnya wali yang sakit. Jika tidak sampai mengganggu kesadarannya, maka kewaliannya tetap melekat dan tidak beralih kepada wali di bawahnya. Jika tak bisa hadir, maka jalan keluarnya bisa menikahkan di tempat atau dengan cara mewakilkan atas izin si perempuan yang akan dinikahkan.

 

Keenam, wali sedang dipenjara dan dihalang-halangi hadir oleh mayarakat tempat tinggalnya, sehingga ia merasa takut dan terancam. Dalam kondisi ini, pernikahan tetap bisa dilangsungkan dengan wali hakim, mewakilkan kepada yang lain, atau menikahkan di tempat dirinya berada, seperti melalui alat komunikasi.

 

Walhasil, wali yang ada di tempat yang jauh, tidak dengan serta merta kewaliannya beralih kepada wali di bawahnya, sebab kewalian masih melekat padanya. Demikian dijelaskan oleh Syekh As-Syairazi dalam Al-Muhadzab:

 

ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد

 

Artinya, “Dan wali yang ada di bawahnya tidak boleh menikahkan, sebab kewalian orang yang tidak ada masih melekat. Sehingga seandainya, wali yang jauh tadi menikahkan di tempat dirinya berada, maka akadnya sah,” (Lihat Imam Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzab, [Surabaya, Maktabah Al-Hidayah: tanpa tahun], jilid II, halaman 37).

 

Ketujuh, wali bersikap tawari atau ta‘azzuz. Tawari artinya bersembunyi ketika diminta hadir ke akad nikah. Sedangkan ta‘azzuz adalah ketidakhadiran wali, padahal sudah diminta hadir dan berjanji akan datang. Anehnya, ia tidak menyatakan secara tegas menolak menikahkan.

 

Kedelapan, wali merangkap menjadi penerima nikah untuk dirinya. Contohnya wali sepupu. Sementara wali nasab yang lain atau wali sederajat tidak ada. Seandainya pernikahan tetap dijalankan, si wali akan merangkap selain menjadi wali, juga menjadi pengantin pria penerima akad.

 

Kesembilan, wali hendak menikahkan seorang perempuan kepada anak laki-lakinya yang masih kecil. Sementara wali yang jauh atau wali yang sederajat tidak ada. Wali harus menjadi penerima nikah untuk anak laki-lakinya dan yang menikahkan adalah wali hakim sebab wali hakim tidak menerima pernikahan untuk anak-anak.

 

Kesepuluh, wali yang lain tidak ada, sedangkan satu-satunya wali dalam keadaan kufur. Sementara perempuan yang akan dinikahkan adalah seorang muslimah. Pernikahan perempuan tersebut dilakukan dengan wali hakim. (Lihat Al-Habib Muhammad bin Salim Al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah: 11).

 

Meski begitu, pernikahan dengan wali hakim juga tidak serta merta dilakukan. Setidaknya ada tiga persyaratan utama sebagaimana berikut:

 

وذكر ثلاثة شروط: أن يكون الزوج كفؤا، وأن تكون المرأة بالغة، وأن تكون في محل ولايته

 

Artinya, “Penulis kemudian menyebutkan tiga syarat (nikah dengan wali hakim): Calon suami harus sekufu; (2) calon istri harus sudah balig; (3) dan calon istri juga berada di wilayah tugas kewalian sang hakim,” (Lihat: I‘anatut Thalibin, jilid III, halaman 260).

 

Biasanya, wali hakim yang menikahkan adalah petugas resmi yang ditunjuk pemerintah, seperti kepala KUA dan datang atas nama lembaga, bukan atas nama pribadi. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW:

 

فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

 

Artinya, “Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad).

 

Ketentuan tersebut juga sesuai dengan Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:

 

“Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.”

 

Demikian sejumlah keadaan di mana pernikahan harus dilangsungkan dengan wali hakim atau petugas resmi dari pemerintah. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Muhammad Tatam Wijaya

BamSoet: Membangun Infrastruktur 5G Demi Masa DepanAnak-Cucu

Membangun Infrastruktur 5G Demi Masa Depan Anak-Cucu

Oleh: Bambang Soesatyo


KETIKA komunitas global mulai mengadopsi teknologi telekomunikasi seluler Generasi Lima atau 5G, fakta ini otomatis menghadirkan tantangan. Tidak hanya bagi negara, melainkan juga tantangan bagi generasi muda yang akan melanjutkan pembangunan nasional. Artinya, menyoal pembangunan infrastruktur 5G dan menyiapkan talenta digital jauh lebih produktif dan relevan; bukan meributkan isu presiden tiga periode.


Generasi milenial atau Generasi Y yang terbiasa dengan teknologi telekomunikasi Generasi Empat atau 4G kini sudah memasuki dunia kerja. Ketika jutaan warga pada belasan ribu desa atau kelurahan belum bisa menikmati teknologi 4G karena keterbatasan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Indonesia sudah harus beradaptasi dengan teknologi 5G. Era 5G, sebagaimana telah diilustrasi oleh para ahli, merupakan sebuah lompatan besar yang bisa saja terkesan cukup ekstrim, karena akan mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia.


Konsekuensi lompatan ke era 5G mengharuskan dimulainya akselerasi pembangunan infrastruktur TIK. Mempercepat pembangunan infrastruktur TIK menjadi keniscayaan agar semua anak-cucu yang diidentifikasi sebagai Generasi Y, Generasi Z dan Generasi Alpha, memiliki akses untuk beradaptasi dengan era 5G. Tiga generasi itulah yang akan melanjutkan dan melakoni masa depan pembangunan nasional. Karena itu, menjadi kewajiban generasi orang tua masa kini untuk menghantarkan tiga generasi itu memasuki era 5G, dengan menyediakan infrastruktur TIK yang mumpuni.


Setelah mewujudkan konektivitas nasional melalui proyek Palapa Ring, pemerintah diharapkan makin fokus membangun infrastruktur TIK untuk teknologi 5G. Dikutip dari berbagai sumber, disebutkan bahwa diperlukan ketersediaan spektrum 2,6 GHz demi efektivitas 5G, dengan bandwidth di kisaran 100 MHz. Dengan spektrum seperti itu, 5G akan memiliki kemampaun sangat mumpuni, dengan kecepatan lebih dari 1Gbps dan latensi (perlambatan/tunda) 1ms dan bisa terhubung ke ratusan ribu perangkat per kilometer persegi.


Karena kemampuannya seperti itu, teknologi 5G bisa mewujudkan tidak hanya pabrik cerdas, tetapi juga mewujudkan rumah pintar, alat medis pintar hingga transportasi cerdas. Untuk memeriksa kesehatan atau proses penyembuhan, dokter dan pasien tidak perlu harus tatap muka dalam satu ruang medis, karena pemeriksaan oleh dokter atau petugas medis bisa dilakukan dari tempat lain. Juga dengan dukungan teknologi 5G, mobil swaskemudi atau tanpa kendali oleh manusia bisa segera diwjudkan.


Teknologi 5G akan membangun dan mewujudkan kebudayaan baru. Banyak pekerjaan, dari yang rumit sampai yang paling sederhana, tidak lagi butuh otak dan peran tenaga manusia. Era 5G menjanjikan kehidupan yang lebih mudah, tetapi juga mengeliminasi begitu banyak pekerjaan yang sebelumnya butuh peran manusia. Sebagaimana diingatkan oleh Kepala Pusat Inovasi 5G di Universitas Surrey, Inggris, professor Rahim Tafazolli, ada harga yang harus dibayar manusia ketika sebuah pembaruan atau kemajuan terwujud.


Studi oleh GSMA Intelligence mengindikasikan Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan akan menjadi negara yang mendominasi jaringan seluler 5G super cepat pada tahun 2025. Perkembangan ini hendaknya mendorong Indonesia untuk semakin cepat membangun infrastruktur TIK pendukung teknologi 5G.


Sebagai negara yang diproyeksikan menjadi salah satu dari lima raksasa ekonomi dunia dengan total Produk Domestik Bruto 7 triliun dolar AS, transformasi digital di era 5G menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakoni bangsa ini. Bukankah Indonesia ingin menjadi bangsa yang tangguh dengan mewujudkan misi Indonesia Maju di tahun 2045?


Di sela-sela proses menyiapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), MPR juga peduli pada proses dan progres transformasi digital di dalam negeri. Gonjang-ganjing isu jabatan presiden sampai tiga periode tak lebih dari skenario halu dari kelompok-kelompok yang lebih mementingkan syahwat kekuasaan.


Dengan peduli pada proses transformasi digital di semua sektor, MPR ingin mengingatkan semua elemen masyarakat bahwa ada tantangan besar yang harus segera direspons demi masa depan anak-cucu; mulai dari Generasi Y (lahir dalam rentang waktu 1981 - 1994), Generasi Z (1995 - 2010) hingga Generasi Alpha (lahir setelah tahun 2010). Tantangan riel ini harus dijawab dengan pemikiran-pemikiran visioner dari generasi orang tua saat ini.


Siap atau tidak siap, Indonesia harus bisa menyiapkan infrastruktur digital bagi masa depan Generasi Z, Y dan Generasi Alpha yang juga sering disebut iGeneration, generasi net atau generasi internet. Mereka orang muda yang kesehariannya bergelut dengan ponsel pintar, terbiasa browsing dengan komputer, dan mendengarkan musik melalui earphone. Semua kegiatan nyaris berkait dengan dunia maya.


Sejak kecil, tiga generasi itu sudah akrab dengan teknologi dan akrab dengan gadget canggih. Bahkan Generasi Alpha digambarkan sebagai sudah terbiasa dengan teknologi sejak masih dalam kandungan, dan begitu lahir langsung menjalani pola hidup digital. Maka, demi masa depan mereka, negara wajib memfasilitasi dengan mempercepat proses transformasi digital. MPR akan banyak menyentuh kepentingan iGeneration dan Generasi Alpha.


Sudah menjadi fakta bahwa percepatan transformasi digital tak terhindarkan karena faktor pandemi Covid-19. Masyarakat kian terbiasa dengan aktivitas daring, dari mulai belanja, proses belajar-mengajar hingga bekerja di rumah atau WFH (Work From Home). Pola hidup baru di tengah pandemi juga mendorong semua komunitas makin fokus dan peduli pada masa depan iGeneration dan Generasi Alpha. Jangan sampai mereka gagap karena ketidaksiapan negara mengadopsi teknologi 5G, menyiapkan talenta digital, dan merumuskan regulasi yang mumpuni.


Kini, digitalisasi telah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. MPR mengapresiasi upaya pemerintah yang telah menginisiasi pelatihan-pelatihan melalui berbagai program, seperti Gerakan Literasi Digital Nasional (Siberkreasi), Beasiswa Talenta Digital (DTS), maupun penyelenggaraan Akademi Kepemimpinan Digital (DLA). Demikian juga upaya-upaya digitalisasi di sektor UMKM (UMKM Go Online) dan Gerakan Nasional 1.000 Startup.
[]

 

SINDONEWS, 24 Maret 2021

Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia

Ma'ruf Amin: Modernisasi Birokrasi untuk PembangunanNasional

Modernisasi Birokrasi untuk Pembangunan Nasional

Oleh: Ma'ruf Amin

 

Suatu negara yang maju dan modern selalu didukung oleh birokrasi yang efektif dan efisien.

 

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa kualitas birokrasi menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Hal ini karena birokrasi adalah mesin negara yang menggerakkan fungsi pemerintahan, pelayanan publik, dan program atau kegiatan pembangunan.

 

Keputusan politik dan kebijakan publik yang dibuat oleh pimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah, akan sulit dapat dicapai jika birokrasi tidak memiliki kompetensi yang memadai, kemampuan mengeksekusi yang efektif, dan koordinasi yang baik antarlembaga maupun antarwilayah.

 

Membangun pemerintahan seperti ini tentu tidak mudah dan memerlukan upaya perubahan atau reformasi yang sangat mendasar. Reformasi birokrasi adalah suatu konsep yang kompleks, yang mencakup aspek struktural, legal, prosedural, kultural, dan etika birokrasi.

 

Rekam jejak dan evaluasi birokrasi Indonesia

 

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, cukup banyak capaian yang telah diraih dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur telah meningkat dengan cukup pesat dan penyederhanaan regulasi dan birokrasi, khususnya yang terkait dengan penciptaan iklim usaha yang kondusif, telah dilakukan sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan berbagai kemajuan dan peningkatan hasil pembangunan di berbagai bidang.

 

Beberapa langkah besar yang telah dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi antara lain merancang ulang perencanaan dan perekrutan pegawai, penghapusan dan peleburan 37 lembaga nonstruktural (LNS), dan yang terakhir penyederhanaan/konversi jabatan struktural eselon III, IV, dan V menjadi jabatan fungsional.

 

Secara akumulatif per akhir Desember 2020, sebanyak 38.398 jabatan struktural telah dihapus dan dikonversikan menjadi jabatan fungsional. Tujuannya, selain meningkatkan efisiensi dengan memangkas rantai panjang proses bisnis dalam birokrasi pemerintahan, juga untuk memastikan agar profesionalitas, keahlian, dan sistem merit diterapkan sebagai basis kinerja aparat pemerintah.

 

Namun, bila kita melihat laporan berbagai pengukuran yang dilakukan oleh lembaga internasional, kualitas birokrasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2019, kinerja sektor publik Indonesia memiliki skor 54,6 (berada pada peringkat ke-54 dari 141 negara) dengan peringkat daya saing global pada urutan ke-50 dari 141 negara.

 

Peringkat ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya di mana Indonesia menduduki peringkat ke- 45. Tingkat efektivitas pemerintahan Indonesia berdasarkan data The Worldwide Governance Indicators 2019 masih berada di skor 60,1 (peringkat ke-73 dari 193 negara).

 

Terakhir, Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International Indonesia (TII) tahun 2020 mengalami penurunan dengan angka 37 (turun dari tahun sebelumnya 40) dan berada di peringkat ke-102 dari 180 negara (dari tahun sebelumnya peringkat ke-85).

 

Berbagai peringkat tersebut harus menjadi catatan bagi kita untuk melakukan muhasabah (introspeksi) dan terus mengambil langkah perbaikan.

 

Dalam zaman di mana terjadi perubahan yang begitu cepat dan kompleks, saya melihat ada beberapa penyebab ketertinggalan birokrasi kita. Pertama, kemampuan birokrasi kita dalam merespons perubahan lingkungan yang kian kompleks belum cukup memadai.

 

Hal ini karena kompetensinya dalam pengambilan keputusan yang kompleks masih terbatas. Kemampuan pengambilan keputusan birokrasi kita masih terbatas pada situasi yang cenderung normal dan stabil. Akibatnya, proses pengambilan keputusan cenderung memakan waktu dan lama.

 

Kedua, struktur organisasi kita masih gemuk dengan fungsi yang terbatas dan tumpang tindih. Struktur organisasi di kementerian/lembaga (K/L) dan terutama di pemerintahan daerah saat ini masih berdasarkan fungsi-fungsi yang terfragmentasi dan belum berbasis kinerja.

 

Struktur yang demikian itu, selain menyebabkan inefisiensi anggaran, juga menyulitkan terjadinya kerja sama unit kerja di dalam atau antar-organisasi. Dengan berbagai perkembangan yang ada saat ini, seperti teknologi informasi (TI), kita sudah harus memikirkan bagaimana membangun struktur organisasi pemerintah yang berbasis kinerja.

 

Ketiga, tidak tersedianya data yang lengkap dan valid. Sering kali kebijakan yang dibuat kurang efektif ketika pelaksanaannya sangat ditentukan oleh tersedianya data yang akurat. Data ini masih tersebar di berbagai instansi, kurang lengkap dan tidak mutakhir.

 

Keempat, K/L dalam melakukan koordinasi masih belum intens dan memadai. Karena merasa memiliki kewenangan yang besar dalam bidangnya masing-masing, K/L enggan melakukan komunikasi dan kerja sama. Akibatnya, program dan kegiatan pembangunan yang cakupannya luas dan lintas sektor sering kali diformulasikan sendiri dan hanya mewakili orientasi, kepentingan dan perspektif setiap K/L.

 

Kelima, belum cukup tersedianya sistem yang dapat mengintegrasikan keseluruhan proses kebijakan dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, dan koordinasi lintas K/L.

 

Sejak awal pembentukan kabinet telah dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa hanya ada visi-misi Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada lagi visi-misi K/L. Namun, tampaknya arahan tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam penyusunan program dan kegiatan pembangunan nasional dan belum merefleksikan keselarasan program antar-K/L yang berhubungan dengan indikator sasaran strategis.

 

Sebagai akibatnya, tak terjadi harmonisasi di antara berbagai program pembangunan di K/L dalam pencapaian prioritas nasional. Di sisi lain masih terjadi redundansi atau duplikasi berbagai kegiatan pembangunan, baik secara horizontal maupun vertikal. Misal, program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan UMKM yang melibatkan banyak K/L belum menunjukkan keselarasan program yang optimal.

 

Solusinya adalah melakukan kolaborasi, mulai dari tahap perencanaan, yang harus didukung oleh data yang terintegrasi, sistem penilaian kinerja yang mendorong kolaborasi, kapabilitas para pejabat birokrasi untuk menyelaraskan berbagai program K/L, serta penguatan pola pikir serta budaya berbagi hasil dan dampak dari pembangunan.

 

Perubahan sistem ke depan

 

Tantangan negara ke depan ini semakin kompleks sehingga birokrasi harus segera menyesuaikan pola kerja yang kolaboratif, peningkatan kapabilitas SDM aparatur dan budaya organisasi agar menjadi lebih baik. Masa selama pandemi Covid-19 dan sesudahnya membutuhkan program pemulihan ekonomi yang cepat dan tepat.

 

Pengalaman di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan China, termasuk negara ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, keberhasilan pembangunan ekonomi sangat ditentukan oleh birokrasi yang kapabel dan memiliki kemampuan adaptasi perubahan yang tinggi serta mampu berkolaborasi.

 

Pemerintah dan DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan ruang perizinan investasi yang lebih fleksibel. Maka, birokrasi harus segera memanfaatkan regulasi baru tersebut untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional yang sangat ditunggu-tunggu.

 

Untuk secara fundamental melakukan perubahan birokrasi Indonesia, ada beberapa hal yang harus kita lakukan. Pertama, peningkatan kapabilitas aparatur sipil negara (ASN), terutama para pejabat pimpinan tinggi (JPT) untuk memahami secara baik sistem perencanaan, penganggaran berbasis kinerja, dan implementasinya dalam kompleksitas perubahan yang terjadi.

 

Program pendidikan dan pelatihan calon-calon JPT tak boleh dilakukan seadanya dan dengan cara tradisional, tetapi harus menyesuaikan kebutuhan perubahan masa depan, seperti kemampuan untuk memahami proses pengambilan keputusan yang kompleks (complex decision making) dan penciptaan nilai publik baru bagi masyarakat. Rekrutmen untuk JPT juga perlu diperluas di luar birokrasi untuk mendapatkan talenta terbaik.

 

Kedua, membangun berbagai sistem modern yang terintegrasi berbasis teknologi maju. Sistem modern ini harus bisa mengintegrasikan berbagai proses bisnis pemerintahan antar-K/L dan pemda, termasuk di dalamnya pembentukan big data yang dapat digunakan secara berbagi pakai untuk mencapai kinerja pembangunan. Dengan kata lain, kita harus segera menstransformasikan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) secara menyeluruh.

 

Berbagai sistem yang sudah ada saat ini, seperti online single submission (OSS), national single window (NSW), termasuk sistem Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran (Krisna), harus bisa diintegrasikan dan dikembangkan lebih baik menjadi satu data nasional untuk memperkuat kolaborasi di dalam birokrasi.

 

Ketiga, pembenahan kelembagaan harus terus dilakukan untuk mendapatkan bentuk organisasi pemerintah yang fleksibel dan cepat dalam mengatasi permasalahan yang ada. Birokrasi tidak boleh alergi dengan perubahan dalam organisasinya jika dirasakan sudah usang dan tidak mampu lagi untuk menjawab kebutuhan yang ada. Pendekatan hierarki dalam organisasi sudah selayaknya dikurangi dan ditransformasikan ke dalam pendekatan yang lebih bersifat networking (jejaring).

 

Sebagai ”model antara”, struktur organisasi flatarchy bisa diterapkan untuk secara maksimal memanfaatkan perkembangan teknologi yang tersedia tanpa harus mengubah secara ekstrem proses bisnis yang dilakukan. Bentuk organisasi ini diharapkan akan dapat menghidupkan pola kerja sama yang akan dibangun sekaligus mengakomodasi perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat.

 

Keempat, fleksibilitas dan mobilitas pemanfaatan sumber daya manusia ASN antar-K/L/pemda harus dapat dilakukan dengan basis kompetensi. Hal ini untuk mengurangi mental model ego sektoral dan cara pandang serta cara kerja yang sempit. Perlu dibangun manajemen talenta nasional ASN untuk memberikan sistem informasi dalam penempatan jabatan, baik struktural maupun fungsional.

 

Memperhatikan ketertinggalan birokrasi Indonesia saat ini, maka kita harus bekerja keras dan bersungguh sungguh untuk melakukan berbagai transformasi tersebut. Untuk meraih cita-cita menjadi birokrasi kelas dunia, reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan mengubah tampilan fisik dengan kosmetika birokrasi, tetapi harus benar-benar mampu merevitalisasi secara fundamental ke semua organ dalam yang vital bagi birokrasi. []

 

KOMPAS, 23 Maret 2021

Ma’ruf Amin | Wakil Presiden Republik Indonesia

(Ngaji of the Day) Hukum Mengganti Puasa Orang yang Meninggal

Ulama bersepakat bahwa hutang puasa orang yang telah meninggal harus diqadha atau dibayar. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadha hutang puasa orang yang telah meninggal dunia.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hutang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras.


ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم 


Artinya, “Seandainya seseorang memiliki hutang puasa dan ia belum sempat membayarnya sampai wafat, maka kau harus menimbang terlebih dahulu. Jika ia menundanya karena uzur yang terus menerus hingga wafat, maka ia tidak berkewajiban apapun karena puasa itu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakannya hingga wafat sehingga status kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Tetapi jika uzurnya hilang dan ia memiliki kesempatan untuk membayar hutang puasanya, lalu ia tidak berpuasa, maka hutang puasanya dibayar dengan satu mud makanan pokok untuk setiap harinya,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337)


Adapun ulama lain berpendapat bahwa hutang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh wali atau ahli waris almarhum. Hutang puasa itu dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh keluarganya yang masih hidup.

 

Mereka berpendapat bahwa hutang puasa seseorang yang telah meninggal dapat dibayarkan dengan puasa oleh ahli warisnya atau orang yang dikuasakan oleh ahli warisnya yang masih hidup. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Aisyah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa saja yang wafat dan ia memiliki hutang puasa, maka walinya memuasakannya,” (HR Bukhari dan Muslim).


Sebagian ulama yang menyatakan kebolehan penggantian puasa oleh walinya yang masih hidup menyamakan ibadah puasa Ramadhan dan ibadah haji. Puasa atau haji adalah ibadah yang wajib dibayarkan kafarah ketika pelaksanaannya tercederai sehingga boleh diqadhakan sepeninggal yang bersangkutan wafat.


Imam An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh mazhab Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu pembayaran fidyah sebanyak satu mud makanan pokok untuk mengatasi hutang puasa orang yang telah meninggal dunia.


والمنصوص في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين " ولانه عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة


Artinya, “Pendapat manshus dalam kitab Al-Umm adalah pendapat pertama. Ini pendapat yang sahih. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai hutang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari hutang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337).


Pada prinsipnya, kedua pendapat ini dilaksanakan karena masing-masing didukung oleh dalil yang kuat. Tetapi mazhab Syafi’i memilih pendapat yang paling kuat dari keduanya. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (30) Humanity Is Only One

Etika Politik dalam Al-Qur'an (30)

Humanity Is Only One

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Orang arif pernah menyadarkan kita bahwa "humanity is only one", kemanusiaan itu hanya satu. Apapun jenis kelamin, etnik, agama, kewarganegaraan, warna kulit, dan status sosialnya mempunyai nilai dan harkat kemanuisaan yang sama. Mereka mempunyai hak-haka asasi yang sama. Mereka ingin dimuliakan dan tidak ingin dihina dan didhalimi. Semua manusia memiliki perasaan yang bisa bahagia, senang, dan tertawa. Akan tetapi manusia yang sama juga bisa menderita, sedih, dan menangis. Rasa kemanusiaan itu bersifat universal, lintas geografis, etnik, kultural, agam, dan status social.

 

Allah Swt juga sejak awal mengingatkan kita bahwa diri-Nya juga sangat memuliakan anak-anak amnusia, sebagaimana ditegsakan dalam ayat: Walaqad karramna Bani Adam (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam). (Q.S. Al-Isra'/17:70). Ayat di atas menggunakakan istilah karramna (memuliakan), bukannya menggunakan kata fadldlalna (menghormati). Yang pertama menekankan aspke kesakralan manusia dan yang kedua menekankan aspek provanitas manusia. Itu artinya Allah Swt menempatkan manusia sebagai makhluk utama, konsisten dan sejalan dengan pernyataannya yang mengatakan manusia diciptakan dalam ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4).


Ayat di atas juga menggunakan kata Bani Adam (anak-anak cucu Adam), tidak dikatakan wa laqad karramna al-muslimun (Allah memuliakan orang-orang Islam). Ayat ini menjelaskan bahwa perbedaan etnik, agama, golongan, dan kewarganegaraan tidak boleh menjadi penghalang untuk berbuat baik antarsesama. Sebaliknya perbedaan itu pula tidak boleh menjadi factor untuk membenci satu sama lain, apalagi kalua hanya perbedaan pilihan dalam politik praktis yang besiklus lima tahunan, seperti Pemilukada yang rutin dilaksanakan di Indonesia. Allah Swt menegaskan: Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) (Q.S. al-Hujurat/49:11). Dalam ayat lain Allah Swt juga mengingatkan kita semua: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (Q.S. al-Hujurat/49:12).


Luar bisa ayat-ayat tersebut di atas di dalam mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan. Umat Islam yang menjadi adres utama turunnya Al-Qur'an seharusnya menjadi teladan masyarakat dalam hal penghargaan hak-hak asasi manusia. Nabi Muhammad Saw menjadikan dirinya sebagai contoh sebagai seorang pribadi ideal yang sangat menghargai nilai-nilai luhur kemanusiaan tanpa membedakan atribut social. Banyak sekali hadis Nabi yang mengingatkan umatnya agar menyadi manusia itu sesunggunya memiliki hak-hak asasi yang sama. Nabi pernah menegur sahabatnya yang bertugas di Baitul Mal di masjidnya lantaran ada seorang perempuan tua Yahudi sedang kelaparan. Nabi memerintahkan membenatu perempuan tua itu dengan mengambilkan kepbutuhan pokok dari Baitul Mal. Ia menginsyaratkan bahwa perut lapar itu tidak ada agamanya, siapapun orang yang lapar perlu disuplay makanan. Banyak lagi peristiwa serupa dilakukan Nabi dalam lintasan sejarah hidupnya.


Pengalaman yang sama juga dipraktekkan generasi berikutnya seperti Khulafa; al-Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan generasi tabi'in selanjutnya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa Al-Qur'an sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Sangat tidak pantas jika ada orang memperatasnamakan Islam, khususnya Al-Qur'an, lalu melakukan kejahatan kemanusiaan seperti terorisme dan ujaran kebencian berdasarkan agama (religious hate speech).
[]

 

DETIK, 21 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) Persekutuan Bagi Hasil Usaha Jenis Mudharabah dalam Fiqih Muamalah

Pertanyaan ini sering disampaikan oleh para santri mengingat semua bentuk praktik muamalah hukumnya adalah boleh selama tidak dijumpai nash syariat yang melarang. Istilah mu’tabar secara syariat sering disematkan untuk mengorek keterangan, bahwa apakah model akad ini juga sudah disampaikan oleh kalangan ulama terdahulu?


Jika dilihat dari istilah syirkah mudharabah, maka dalam kitab turats manapun, istilah ini memang tidak dijumpai secara langsung dalam banyak teks syariat. Para ulama kalangan madzahibul arba’ah umumnya hanya mengenal empat istilah syirkah, yaitu syirkah ‘inan, syirkah wujuh/syirkah jah, syirkah abdan dan syirkah mufawadhah. Nah, ketika dihadapkan pada istilah syirkah mudharabah, sudah barang tentu kalau akad ini dianggap sebagai sesuatu yang asing. Bagaimana tidak? Kedua istilah ini nyatanya dipergunakan dalam konteks terpisah dalam banyak turats. Masing-masing sering disebutkan sebagai akad syirkah (kemitraan) dan akad mudharabah (bagi hasil perniagaan).


Lantas bagaimana kedua hal itu bisa disatukan dalam satu istilah bernama syirkah mudharabah? Mengapa tidak menggunakan istilah yang sudah masyhur saja, semisal syirkah ‘inan, syirkah wujuh, syirkah abdan, atau syirkah mufawadhah?


Penting untuk diketahui bahwa syirkah ‘inan merupakan akad kerja sama (kongsi) dengan masing-masing anggota perkongsian mengeluarkan sebuah modal yang sama jenis dan macamnya untuk dikelola secara bersama-sama di bawah satu payung manajemen (mudharib).

 

Syirkah wujuh adalah akad perkongsian dengan modal berasal dari salah satu pihak yang saling berakad. Pihak yang dijadikan mitra hanya bersifat menjalankan harta yang diserahkan oleh pemodal. Pemodal bukan tidak tahu cara mengelola harta tersebut, melainkan ia memandang pentingnya menjalin kerja sama itu sebagai upaya menyederhanakan praktik bisnis. Contoh, sales pabrik yang menitipkan barang kepada toko.


Syirkah abdan merupakan akad kerja sama antara orang-orang yang memiliki profesi dan keahlian yang sama untuk saling bekerja sama dalam satu payung manajemen. Sedangkan syirkah mufawadhah adalah kerja sama antara pihak yang berbeda profesi, tetapi mereka sepakat untuk menjalin kerja sama di bawah satu bendera manajemen.


Dari keempat syirkah ini, syirkah yang paling mirip dengan definisi syirkah mudharabah, adalah syirkah wujuh. Bedanya, pemodal syirkah mudharabah adalah pihak yang tidak mengerti cara mengelola hartanya. Sementara itu, ada orang yang memiliki bisnis, namun kekurangan modal.


Upaya menjalin kerja sama antara pemodal yang tidak tahu cara mengelola hartanya dan pelaku bisnis yang kekurangan modal, atau pelaku bisnis yang cakap berinisiatif mendirikan sebuah usaha tetapi tidak memiliki modal, inilah yang dimaksud dengan istilah syirkah mudharabah.


Jadi, jika menilik perbedaan tersebut, maka memang pola dari syirkah mudharabah ini seolah menyerupai akad baru. Padahal sejatinya tidak. Untuk itu pula, maka dalil yang dipergunakan untuk menyatakan kemu’tabaran dari akad ini, sudah pasti mengikut kemu’tabaran akad syirkah wujuh. Madzhab Syafii secara tegas hanya mengakui satu syirkah yang dibolehkan, yaitu syirkah ‘inan. Untuk itu, syirkah mudharabah sudah pasti tidak masuk dalam bagian tinjauan fiqihnya.


Terkait dengan kemu’tabaran syirkah wujuh, di dalam Kitab Al-Mabshuth, terbitan Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, juz XI, halaman 283, direkam sebuah pernyataan dari Syekh Syamsuddin As-Sarkhasy sebagai berikut:

 

فأما شركة التقبل فهي صحيحة عندنا ولا تصح عند الشافعي رحمه الله بناء على أصله أن شركة الملك أصل ولا يوجد ذلك في هذه الشركة فإن الخلط في العمل لا يتحقق ولكنا نقول جواز الشركة باعتبار الوكالة وتوكيل كل واحد منهما صاحبه بتقبل العمل صحيح فكذلك الشركة والناس تعاملوا بهذه الشركة وشركة الوجوه من لدن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى يومنا هذا من غير نكير


Artinya, “Akad kemitraan taqabbul adalah akad yang shahih menurut kita, namun tidak dengan menurut Imam Syafii rahimahullah dengan alasan unsur yang terlibat dalam akad. Menurutnya, hukum asal akad kemitraan adalah kemitraan dalam kepemilikan (syirkatul milk). Kemitraan dalam milik ini tidak ditemukan dalam akad syirkah wujuh ini karena sesungguhnya percampuran dalam amal (kerja) adalah tidak mungkin. Sementara itu, kami membolehkan syirkah ini dengan alasan akad wakalah. Setiap orang bisa melakukan akad perwakilan (tawkil) kepada orang lain, dan di dalam perwakilan terjadi perpindahan amal yang sifatnya shahih. Demikianlah pola yang terjadi pada akad syirkah wujuh, yang mana hal itu banyak dilakukan oleh masyarakat sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga detik ini, tanpa pengingkaran,” (As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, juz XI, halaman 283).


Jadi, esensi kemu’tabaran syirkah wujuh yang merupakan dasar dari syirkah mudharabah adalah didorong oleh mu’tabarnya akad wakalah. Al-Ghazali (w. 405 H) sendiri juga pernah mengemukakan pernyataan bahwa esensi dari syirkah adalah akad wakalah. Pernyataannya disampaikan dengan redaksi sebagai berikut:


الشركة معاملة صحيحة وليس عقدا برأسها وإنما هو وكالة على التحقيق ، وإذن كل واحد من الشريكين صاحبه في التصرف في المال المشترك

 

Artinya, “Syirkah merupakan praktik muamalah yang benar secara syara’. Ia bukan sekadar sebuah akad permodalan. Bahkan, ia sesungguhnya adalah akad wakalah dalam hakikatnya. Dengan pemahaman ini, maka setiap orang dari dua pihak yang menjalin akad kemitraan adalah seorang mitra bagi yang lainnya dalam melakukan pengelolaan terhadap harta yang modal yang telah dikumpulkan bersama-sama.”


Alhasil, akad syirkah mudharabah yang memiliki dasar konsep berupa syirkah wujuh ini adalah merupakan akad yang mu’tabar di kalangan ulama’ madzhab. Hanya saja, titik tekan yang dijadikan acuan mengalami perbedaan. Jika dalam madzhab Syafii, sebagaimana diwakili oleh al-Ghazali, sisi kemu’tabaran itu ada pada akad wakalah. Akad wakalah ini merupakan landasan lain dari syirkah mudharabah, sebagaimana disampaikan sebelumnya oleh Syekh Syamsudin As-Sarakhsy. Wallahu a’lam bis shawab. []


Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Selasa, 30 Maret 2021

(Do'a of the Day) 17 Sya'ban 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Alhamdulillaahi allaahumma kamaa hassanta khalqii fa hassin khuluqii.

 

Segala puji bagi Allah, Ya Allah, sebagaimana Engkau menciptakan aku dengan sebaik-baiknya, maka jadikanlah pula akhlakku yang baik.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 16, Bab 14.

Alissa Wahid: ”You're Cancelled!”

”You're Cancelled!”

Oleh: Alissa Wahid

 

Kisah pembreidelan tabloid Monitor di masa kepemimpinan Presiden Soeharto menjadi salah satu episode yang cukup diingat oleh para Gen Y dan seniornya. Kala itu, rezim Orde Baru menghentikan penerbitan tabloid Monitor karena protes massa Muslim terhadap artikel hasil survei pembaca tentang tokoh yang paling dikagumi.

 

Survei ini menempatkan Nabi Muhammad SAW pada posisi ke-11, dan gelombang protes dari massa Muslim yang merasa tersinggung pun merebak. Dampaknya, Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Tabloid tersebut diadili dan dipenjarakan selama 5 tahun.

 

Dalam bahasa kaum muda masa kini, tabloid Monitor ini cancelled, merujuk kepada budaya baru cancel culture yang kian ramai dipercakapkan setelah merambah ranah politik secara global. Bahkan CPAC (Conservative Political Action Conference), arena berkumpul para politisi dan aktivis konservatif di Amerika Serikat pun mengangkat tema "America Uncancelled". Tema ini dipilih sebagai reaksi atas cancel culture yang menimpa beberapa politisi partai Republik, misalnya Senator Josh Hawley yang kehilangan kontrak buku dengan penerbit Simon Schuster setelah ia mengambil posisi politis menolak hasil Pemilihan Presiden AS tahun 2020 lalu.

 

"Cancel Culture", yang belum ditemukan istilah padanannya dalam bahasa Indonesia baku, adalah sebuah tradisi baru untuk menarik dukungan dari seseorang atau sebuah entitas karena pandangan atau pilihan yang dinilai melanggar nilai moral tertentu. Dampaknya, yang bersangkutan dapat kehilangan pekerjaan, kontrak, atau sumber daya lainnya.

 

Awalnya penarikan dukungan ini terkait dengan perspektif keadilan sosial atau tindak ketidakadilan, seperti sikap rasis, kekerasan seksual, sikap politik, bias gender, ultrakonservatisme. Dalam perkembangannya, cancel culture bisa terjadi karena pilihan atau sikap politik seperti yang sempat dialami oleh Pandji Pragiwaksono dan mantan CEO Bukalapak Ahmad Zaki. Jurnalis Zulfikar Akbar pun mengalaminya. Beberapa komika juga mengalaminya setelah “terpeleset” dalam urusan joke terkait agama atau politik.

 

Cancel culture juga menimpa tokoh karena tuduhan masalah integritas, seperti yang dialami oleh influencer @Awkarin akibat tuduhan kerap menggunakan konten media sosial tanpa kredit kepada pemilik aslinya.

 

Sari Roti, Tokopedia, Bukalapak, JNE dan Eiger adalah beberapa perusahaan yang juga sempat mengalami cancel culture dalam bentuk gerakan ajakan boikot. Ajakan ini berangkat dari alasan yang berbeda-beda, mulai dari posisi politik (bahkan dalam kasus Sari Roti: posisi netral politik) sampai perlakuan kepada konsumen. Satu-satunya kesamaan di antara mereka adalah bahwa boikot ini diawali dengan keramaian netizen di media sosial.

 

Faktor gerakan netizen memang menjadi karakteristik yang paling menonjol dari cancel culture ini. Menguatnya media sosial sebagai instrumen ampuh untuk disrupsi membawa dampak yang besar dalam demokratisasi. Media sosial memberikan ruang untuk terjadinya kesetaraan kewargaan, dengan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk bersuara.

 

Cancel culture menjadi saluran aspirasi bagi warga kebanyakan yang seringkali merasa frustrasi dan tak berdaya meminta akuntabilitas dari tokoh publik atau entitas berpengaruh (bisnis ataupun politis) atas sikap atau perilakunya. Di masa pra media sosial, membangun tekanan massa seperti dalam kasus tabloid Monitor memerlukan pengorganisasian yang serius dan sumber daya yang besar.

 

Demokrasi digital mengubah hal ini menjadi kesempatan yang setara. Dengan model algoritma yang dipengaruhi oleh tagar, menjadi begitu mudah setiap orang terhubung dengan orang lain atau kelompok lain yang berpikiran senada. Jempol satu orang bisa berimbas menjadi sebuah gerakan yang cukup besar, bahkan perubahan kebijakan seperti terjadi pada kasus jilbab di Padang.

 

Dimulai dari keputusan keluarga Hia mengunggah kisah kasus ini di media sosial, dukungan pun mengalir, serta tuntutan agar sistem yang lebih adil kepada setiap orang diberlakukan dalam sistem pendidikan, dalam ini mengenai pakaian seragam. Ujungnya adalah SKB 3 Menteri untuk memberantas pemaksaan atau pelarangan atribut agama dalam pakaian seragam di sekolah umum milik Negara.

 

Secara psikologis, ketika seseorang yang berpendapat A menemukan ada banyak orang lain yang juga berpendapat A, akan terjadi proses saling menguatkan yang diakibatkan perasaan sekelompok (group feeling) dan bias konfirmasi palsu (false confirmation bias). Kedua hal ini meningkatkan intensitas sentimen, dan bila terjadi pada banyak orang akan diikuti oleh meningkatnya karakteristik mentalitas kerumunan (crowd mentality) di mana individu di dalamnya akan semakin militan dalam bersikap dan bertindak.

 

Di sini muncul tantangan besarnya. Cancel culture dapat terpeleset menjadi mobocracy, di mana massa tidak lagi berangkat dari alasan nilai-nilai prinsipal untuk meninggalkan seseorang atau suatu entitas, tapi terperangkap dalam sikap mental menghakimi dan menghukum sosial.

 

Dengan kecenderungan sikap reaktif dan mudah terpengaruh oleh kabar burung serta terpengaruh figur influencer, netizen kita lebih rentan terhadap cancel culture tak berdasar. Dibutuhkan ketrampilan berpikir kritis dan juga kematangan dalam kehidupan masa kini yang sangat didominasi teknologi informasi.

 

Padahal, demokrasi digital dapat menjadi peluang besar untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Ini dapat terjadi bila cancel culture dapat segera mendewasa dan menjelma menjadi call out culture: meminta pertanggungjawaban mereka yang memanfaatkan kekuasaan tidak pada tempatnya. Walaupun penuh tantangan, agaknya ini salah satu jalan kita untuk melawan oligarki.

 

Mampukah kita? []

 

KOMPAS, 21 Maret 2021