Modernisasi Birokrasi
untuk Pembangunan Nasional
Oleh: Ma'ruf
Amin
Suatu negara yang maju
dan modern selalu didukung oleh birokrasi yang efektif dan efisien.
Pengalaman sejumlah
negara menunjukkan bahwa kualitas birokrasi menjadi kunci keberhasilan
pembangunan. Hal ini karena birokrasi adalah mesin negara yang menggerakkan
fungsi pemerintahan, pelayanan publik, dan program atau kegiatan pembangunan.
Keputusan politik dan
kebijakan publik yang dibuat oleh pimpinan, baik di tingkat nasional maupun
daerah, akan sulit dapat dicapai jika birokrasi tidak memiliki kompetensi yang
memadai, kemampuan mengeksekusi yang efektif, dan koordinasi yang baik
antarlembaga maupun antarwilayah.
Membangun pemerintahan
seperti ini tentu tidak mudah dan memerlukan upaya perubahan atau reformasi
yang sangat mendasar. Reformasi birokrasi adalah suatu konsep yang kompleks,
yang mencakup aspek struktural, legal, prosedural, kultural, dan etika
birokrasi.
Rekam
jejak dan evaluasi birokrasi Indonesia
Dalam sepuluh tahun
terakhir ini, cukup banyak capaian yang telah diraih dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur telah
meningkat dengan cukup pesat dan penyederhanaan regulasi dan birokrasi,
khususnya yang terkait dengan penciptaan iklim usaha yang kondusif, telah
dilakukan sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan berbagai kemajuan dan
peningkatan hasil pembangunan di berbagai bidang.
Beberapa langkah besar
yang telah dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi antara lain merancang
ulang perencanaan dan perekrutan pegawai, penghapusan dan peleburan 37 lembaga
nonstruktural (LNS), dan yang terakhir penyederhanaan/konversi jabatan
struktural eselon III, IV, dan V menjadi jabatan fungsional.
Secara akumulatif per
akhir Desember 2020, sebanyak 38.398 jabatan struktural telah dihapus dan
dikonversikan menjadi jabatan fungsional. Tujuannya, selain meningkatkan
efisiensi dengan memangkas rantai panjang proses bisnis dalam birokrasi
pemerintahan, juga untuk memastikan agar profesionalitas, keahlian, dan sistem
merit diterapkan sebagai basis kinerja aparat pemerintah.
Namun, bila kita
melihat laporan berbagai pengukuran yang dilakukan oleh lembaga internasional,
kualitas birokrasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara
lain. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2019, kinerja sektor
publik Indonesia memiliki skor 54,6 (berada pada peringkat ke-54 dari 141
negara) dengan peringkat daya saing global pada urutan ke-50 dari 141 negara.
Peringkat ini mengalami
penurunan dibandingkan tahun sebelumnya di mana Indonesia menduduki peringkat
ke- 45. Tingkat efektivitas pemerintahan Indonesia berdasarkan data The
Worldwide Governance Indicators 2019 masih berada di skor 60,1 (peringkat ke-73
dari 193 negara).
Terakhir, Indeks
Persepsi Korupsi dari Transparency International Indonesia (TII) tahun 2020
mengalami penurunan dengan angka 37 (turun dari tahun sebelumnya 40) dan berada
di peringkat ke-102 dari 180 negara (dari tahun sebelumnya peringkat ke-85).
Berbagai peringkat
tersebut harus menjadi catatan bagi kita untuk melakukan muhasabah (introspeksi) dan
terus mengambil langkah perbaikan.
Dalam zaman di mana
terjadi perubahan yang begitu cepat dan kompleks, saya melihat ada beberapa
penyebab ketertinggalan birokrasi kita. Pertama, kemampuan birokrasi kita dalam
merespons perubahan lingkungan yang kian kompleks belum cukup memadai.
Hal ini karena
kompetensinya dalam pengambilan keputusan yang kompleks masih terbatas.
Kemampuan pengambilan keputusan birokrasi kita masih terbatas pada situasi yang
cenderung normal dan stabil. Akibatnya, proses pengambilan keputusan cenderung
memakan waktu dan lama.
Kedua, struktur
organisasi kita masih gemuk dengan fungsi yang terbatas dan tumpang tindih.
Struktur organisasi di kementerian/lembaga (K/L) dan terutama di pemerintahan
daerah saat ini masih berdasarkan fungsi-fungsi yang terfragmentasi dan belum
berbasis kinerja.
Struktur yang demikian
itu, selain menyebabkan inefisiensi anggaran, juga menyulitkan terjadinya kerja
sama unit kerja di dalam atau antar-organisasi. Dengan berbagai perkembangan
yang ada saat ini, seperti teknologi informasi (TI), kita sudah harus
memikirkan bagaimana membangun struktur organisasi pemerintah yang berbasis
kinerja.
Ketiga, tidak
tersedianya data yang lengkap dan valid. Sering kali kebijakan yang dibuat
kurang efektif ketika pelaksanaannya sangat ditentukan oleh tersedianya data
yang akurat. Data ini masih tersebar di berbagai instansi, kurang lengkap dan
tidak mutakhir.
Keempat, K/L dalam
melakukan koordinasi masih belum intens dan memadai. Karena merasa memiliki
kewenangan yang besar dalam bidangnya masing-masing, K/L enggan melakukan
komunikasi dan kerja sama. Akibatnya, program dan kegiatan pembangunan yang
cakupannya luas dan lintas sektor sering kali diformulasikan sendiri dan hanya
mewakili orientasi, kepentingan dan perspektif setiap K/L.
Kelima, belum cukup
tersedianya sistem yang dapat mengintegrasikan keseluruhan proses kebijakan
dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, dan koordinasi lintas
K/L.
Sejak awal pembentukan
kabinet telah dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa hanya ada visi-misi
Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada lagi visi-misi K/L. Namun, tampaknya
arahan tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam penyusunan program dan kegiatan
pembangunan nasional dan belum merefleksikan keselarasan program antar-K/L yang
berhubungan dengan indikator sasaran strategis.
Sebagai akibatnya, tak
terjadi harmonisasi di antara berbagai program pembangunan di K/L dalam
pencapaian prioritas nasional. Di sisi lain masih terjadi redundansi atau
duplikasi berbagai kegiatan pembangunan, baik secara horizontal maupun
vertikal. Misal, program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan UMKM yang
melibatkan banyak K/L belum menunjukkan keselarasan program yang optimal.
Solusinya adalah
melakukan kolaborasi, mulai dari tahap perencanaan, yang harus didukung oleh
data yang terintegrasi, sistem penilaian kinerja yang mendorong kolaborasi,
kapabilitas para pejabat birokrasi untuk menyelaraskan berbagai program K/L,
serta penguatan pola pikir serta budaya berbagi hasil dan dampak dari
pembangunan.
Perubahan
sistem ke depan
Tantangan negara ke
depan ini semakin kompleks sehingga birokrasi harus segera menyesuaikan pola
kerja yang kolaboratif, peningkatan kapabilitas SDM aparatur dan budaya
organisasi agar menjadi lebih baik. Masa selama pandemi Covid-19 dan sesudahnya
membutuhkan program pemulihan ekonomi yang cepat dan tepat.
Pengalaman di
negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan China, termasuk negara
ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, keberhasilan pembangunan ekonomi sangat
ditentukan oleh birokrasi yang kapabel dan memiliki kemampuan adaptasi
perubahan yang tinggi serta mampu berkolaborasi.
Pemerintah dan DPR
telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang
memberikan ruang perizinan investasi yang lebih fleksibel. Maka, birokrasi
harus segera memanfaatkan regulasi baru tersebut untuk mempercepat pemulihan
ekonomi nasional yang sangat ditunggu-tunggu.
Untuk secara
fundamental melakukan perubahan birokrasi Indonesia, ada beberapa hal yang
harus kita lakukan. Pertama, peningkatan kapabilitas aparatur sipil negara
(ASN), terutama para pejabat pimpinan tinggi (JPT) untuk memahami secara baik
sistem perencanaan, penganggaran berbasis kinerja, dan implementasinya dalam
kompleksitas perubahan yang terjadi.
Program pendidikan dan
pelatihan calon-calon JPT tak boleh dilakukan seadanya dan dengan cara
tradisional, tetapi harus menyesuaikan kebutuhan perubahan masa depan, seperti
kemampuan untuk memahami proses pengambilan keputusan yang kompleks (complex decision making) dan
penciptaan nilai publik baru bagi masyarakat. Rekrutmen untuk JPT juga perlu
diperluas di luar birokrasi untuk mendapatkan talenta terbaik.
Kedua, membangun
berbagai sistem modern yang terintegrasi berbasis teknologi maju. Sistem modern
ini harus bisa mengintegrasikan berbagai proses bisnis pemerintahan antar-K/L
dan pemda, termasuk di dalamnya pembentukan big
data yang dapat digunakan secara berbagi pakai untuk mencapai
kinerja pembangunan. Dengan kata lain, kita harus segera menstransformasikan
Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) secara menyeluruh.
Berbagai sistem yang
sudah ada saat ini, seperti online
single submission (OSS), national
single window (NSW), termasuk sistem Kolaborasi Perencanaan dan
Informasi Kinerja Anggaran (Krisna), harus bisa diintegrasikan dan dikembangkan
lebih baik menjadi satu data nasional untuk memperkuat kolaborasi di dalam
birokrasi.
Ketiga, pembenahan
kelembagaan harus terus dilakukan untuk mendapatkan bentuk organisasi
pemerintah yang fleksibel dan cepat dalam mengatasi permasalahan yang ada.
Birokrasi tidak boleh alergi dengan perubahan dalam organisasinya jika
dirasakan sudah usang dan tidak mampu lagi untuk menjawab kebutuhan yang ada.
Pendekatan hierarki dalam organisasi sudah selayaknya dikurangi dan
ditransformasikan ke dalam pendekatan yang lebih bersifat networking (jejaring).
Sebagai ”model antara”,
struktur organisasi flatarchy
bisa diterapkan untuk secara maksimal memanfaatkan perkembangan teknologi yang
tersedia tanpa harus mengubah secara ekstrem proses bisnis yang dilakukan.
Bentuk organisasi ini diharapkan akan dapat menghidupkan pola kerja sama yang
akan dibangun sekaligus mengakomodasi perkembangan teknologi informasi yang
sangat pesat.
Keempat, fleksibilitas
dan mobilitas pemanfaatan sumber daya manusia ASN antar-K/L/pemda harus dapat
dilakukan dengan basis kompetensi. Hal ini untuk mengurangi mental model ego
sektoral dan cara pandang serta cara kerja yang sempit. Perlu dibangun
manajemen talenta nasional ASN untuk memberikan sistem informasi dalam
penempatan jabatan, baik struktural maupun fungsional.
Memperhatikan
ketertinggalan birokrasi Indonesia saat ini, maka kita harus bekerja keras dan
bersungguh sungguh untuk melakukan berbagai transformasi tersebut. Untuk meraih
cita-cita menjadi birokrasi kelas dunia, reformasi birokrasi tidak cukup hanya
dengan mengubah tampilan fisik dengan kosmetika birokrasi, tetapi harus benar-benar
mampu merevitalisasi secara fundamental ke semua organ dalam yang vital bagi
birokrasi. []
KOMPAS,
23 Maret
2021
Ma’ruf
Amin | Wakil
Presiden Republik Indonesia