Memedi Sawah
Oleh: Sindhunata
Tahun 2019 adalah Tahun Babi. Tahun Babi ini tahun terakhir dalam
siklus dua belas tahunan kalender China. Menurut mitos, babi jatuh pada urutan
paling akhir karena binatang ini tiba paling lambat di garis finis dalam lomba
yang diadakan Kaisar Langit untuk menentukan urutan tahun dalam siklus kalender
yang sedang ditentukan.
Ada beberapa alasan mengapa babi datang paling lambat. Sebuah
versi bercerita, babi lelap tertidur sampai terlambat bangun. Alasan lain,
sarangnya dirusak serigala, maka babi harus memperbaikinya. Apa pun alasannya,
prestasinya patut dipuji. Babi dikenal malas, toh berhasil meraih garis finis.
Maka, jangan ditertawakan bila sampai garis finis, sambil terengah-engah babi
bertanya: apa di sini tersedia makanan enak untuk dimakan?
Babi dianggap binatang pembawa rezeki. Ramalan astrologi sudah
mengait- ngaitkan, mana saja shio yang boleh ikut memetik keuntungan di tahun
ber-shio Babi ini. Kata sebuah ramalan, shio Kerbau dan Naga akan banyak
beruntung. Shio Kuda, Macan, Ular harus berhati-hati karena di Tahun Babi ini
mereka akan dijauhi keberuntungan.
Kita memang harus optimistis di Tahun Babi ini. Namun, perlu
diingat, tahun 2019 bukan sekadar Tahun Babi, tapi Tahun Babi Tanah. Artinya,
babi itu tak bisa dipisahkan dari sifat dan hakikat unsur tanah, yang gelap,
pekat, dan keras. Apalagi Tahun Babi Tanah terjadi bertepatan dengan tahun
politik menuju pilpres, yang de
facto kini telah membuat banyak orang takut dan miris.
Itulah keprihatinan yang hendak dikemukakan perupa Yogyakarta,
Hari Budiono, dalam pamerannya di Bentara Budaya Jakarta, Februari ini. Dalam
karyanya, ”Babi Tanah, 2019”, Hari melukiskan seekor babi, berbulu kecoklatan.
Babi itu berada di tengah suasana tanah, yang gelap dan muram. Pada suasana
yang muram itu tertera pelbagai tulisan, yang tak bisa jelas terbaca.
Tulisan itu merupakan celoteh pelbagai omongan yang tak terkontrol
dan kabar bohong. Maka awas, Tahun Babi Tanah ini adalah tahun gelap dan muram
karena dipenuhi kata-kata bohong. Seperti babi tak berkutik karena tertimpa
gelapnya tanah, kebenaran jadi sulit menyelinap di tengah gelapnya kebohongan.
Karena kebohongan meraja, kebenaran jadi tak berdaya. Akhirnya
kebohongan jadi kebenaran yang dipuja. Siapa pandai berbohong akan jadi
penguasa. Sarana paling ampuh membenarkan kebohongan adalah kebohongan sendiri.
Tak heran, orang berlomba menyusun kebohongan agar bisa membangun kebenaran
atas kebohongannya. Sebenarnya, semakin benar sebuah kebohongan, semakin
berbahayalah kebohongan itu. Apa mau dikata, sekarang kebohongan demi
kebohongan terus meluncur. Kebenaran tak mungkin lagi menyalipnya. Seperti kata
Mark Twain, kebohongan telah tiga kali mengitari bumi, bahkan sebelum kebenaran
mengenakan sepatunya.
Pasar ketakutan
Hari Budiono meletakkan lukisan ”Babi Tanah, 2019” itu dalam tema
pamerannya yang diberinya judul ”Memedi Sawah”. Tidak tanggung-tanggung,
sebanyak lebih dari peraga 100 memedi sawah dipasangnya di ruang pameran
Bentara Budaya. Pesan yang ingin ditampilkan adalah memedi sawah bukan lagi
orang-orangan yang dibuat untuk menakut-nakuti burung pipit pemakan padi di
sawah, melainkan manusia-manusia yang kini di mana-mana menakuti sesamanya.
Jelas memedi sawah adalah simbol yang memadatkan pengalaman ketakutan yang
sedang mencekam banyak warga di tahun politik 2019 ini.
Memedi sawah tampil kapan saja, di mana saja, dalam pelbagai
ekspresinya: teror, kampanye politik yang membakar, kabar bohong, fitnah,
hasutan, intoleransi, dan kekerasan. Nyaris tak ada wilayah yang tak bisa
dimasukinya. Media sosial sudah dijadikan koloni ketakutannya. Bahkan memedi
sawah bisa menyusup masuk ke dalam kealiman dan kesalehan agama. Di bawah
kesalehan agama, ia bisa memaksakan kebenaran yang mutlak. Jika kebenarannya
sendiri telah menjadi mutlak, maka kebenaran lain hanya ada untuk ditiadakan
dan dilindas.
Untuk mengimajinasikan ketakutan yang ditimbulkan oleh memedi
sawah itu, Hari Budiono menampilkan beberapa lukisan lagi, di antaranya adalah
manusia bertopeng. Manusia ini mempunyai banyak topeng, yang rupanya tenang,
sabar, bijak, sampai yang alim. Ia bisa berganti-ganti topeng sesuai dengan
kebutuhan dan situasinya. Namun, kali ini ia mengenakan topeng yang menakutkan,
maklum tahun ini ketakutan paling laku dijual di pasar.
Di pasar, ketakutan bisa diancamkan pada massa untuk membuat
mereka panik. Namun, massa tak hanya bisa jadi obyek ketakutan. Massa malah
bisa dijadikan subyek atau sumber ketakutan. Caranya gampang, cukup dengan
menyulut api kemarahan mereka. Ibaratnya, seperti digambarkan Hari Budiono,
dengan menyulutkan korek api ke balon. Dan ketika ”meledak balon hijau, dor!”,
agresi massa untuk menebar ketakutan takkan bakal lagi bisa tertahankan. Agresi
itu bisa menjadi teror.
Sementara siapa yang menyulut korek api tak diketahui lagi. Ia
hanya seperti tangan tanpa wajah yang tak bisa dilacak rimbanya. Tampak agresi
massa bukan berasal dari kekuatan, melainkan dari kelemahan rakyat, yang
diprovokasi dengan ketakutan untuk dijadikan kemarahan yang harus dilampiaskan.
Provokasi macam itulah yang biasa dikerjakan oleh tangan-tangan tersembunyi,
memedi-memedi sawah populis yang suka membakar emosi massa.
Keluar dari kerumunan massa yang agresif, orang akan kembali
menjadi individu, yang sendiri dan ketakutan. Secara individual, ia bukan lagi
makhluk yang kuat. Ia takut dan menggigit jari dengan perasaan cemas. Ia tidak
tahu bagaimana keluar dari kecemasannya. Ia hanya bisa menggantung kecemasannya
tanpa penyelesaian apa-apa. Itulah situasi eksistensial manusia di tengah
ketakutan iklim memedi sawah ini.
Ketakutan adalah kekuasaan
Ketakutan itu eksistensial. Karena itu, ketakutan bisa dijadikan
materi politik bagi banyak tokoh populis. Presiden Donald Trump, populis kelas
wahid ini, jelas menggunakan ketakutan itu sebagai alat politiknya. Seperti
dikutip oleh penulis Bob Woodward, Trump pernah mengatakan, ”Kekuasaan yang
sesungguhnya— sebenarnya saya tak ingin menggunakan kata ini—adalah ketakutan.”
Tokoh populis Adolf Hitler juga menggunakan ketakutan untuk
memupuk kekuasaan politiknya yang brutal dan kejam. Celakanya, Hitler seakan
menemukan pembenaran politiknya pada ajaran filsuf terpandang Martin Heidegger.
Menurut Heidegger, keberadaan manusia ini terarah pada kematian dan
peniadaannya. Karena itu, ketakutan adalah esensi dari keberadaannya. Karena
esensial, ketakutan bisa dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk kekuasaan.
Peluang ini yang dipakai Hitler untuk mengesahkan rezimnya yang fasis dan
otoriter itu.
Ketakutan jelas bisa dijadikan modal untuk kekuatan politik. Hal
ini telah diteliti filolog sekaligus filsuf Martha Nussbaum. Menurut Nussbaum,
lapisan terdasar dan terawal dari emosi manusia adalah ketakutan. Sebagai bayi,
manusia sudah dicekam ketakutan. Secara radikal bayi bergantung pada orangtua.
Dalam ketakutan, bayi merasa secara naluriah, ia akan mati jika tak bisa
menguasai orangtuanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Maka, dengan bahasa politik yang mungkin agak berlebihan, Nussbaum
bilang, manusia mengawali hidupnya bukan dengan demokrasi, melainkan dengan
monarki. Nanti pelan-pelan bayi akan menjadi manusia dewasa dan matang, ketika
ia belajar menjalin hubungan dengan orangtuanya bukan sebagai agen yang harus
memuaskan kebutuhannya, melaikan sebagai person yang harus dihargai. Ia mulai
meninggalkan kecenderungan yang monarkis untuk berkuasa menuju ke sikap
demokratis yang bisa secara dewasa mengolah ketakutannya.
Ketakutan itu terlihat bersifat egois dan narsis. Secara politis,
ketakutan macam itu berlawanan dengan demokrasi yang justru hendak mengikis
egoisme dan narsisme pribadi. Demokrasi akan berhasil bila ia bisa mengatasi
ketakutan itu. Sebaliknya, demokrasi akan ambruk bila ia tidak mampu melawan
ketakutan yang narsis dan egois itu.
Hal terakhir inilah yang dimanfaatkan sebagai peluang oleh
demagog-demagog populis. Mereka terus menghidupkan ketakutan agar
pengikut-pengikutnya tersulut marah dan memandang kelompok lain hanya sebagai
lawan yang harus ditumbangkan. Jelaslah, ketakutan adalah lawan berat dan
ancaman serius bagi demokrasi yang mau mengakui hak dan keberadaan siapa saja,
termasuk lawan.
Dari kemarahan lahirlah kemudian kebencian. Karena terus tersulut
provokasi kemarahan, kebencian itu akhirnya mengubu dalam kelompok-kelompok.
Jika suatu kelompok sudah dilanda kebencian, tak dapatlah mereka diajak
berargumentasi terhadap pendirian kelompok lain. Memang siapa membenci, dia
tidak mau berkompromi lagi. Kebencian ini pasti berlawanan dengan demokrasi
karena demokrasi itu selalu mengandaikan argumentasi dan kompromi terhadap
pendirian yang berbeda. Politik kebencian yang mengancam demokrasi ini tengah
melanda dunia, juga di Indonesia, lebih-lebih menjelang pilpres mendatang ini.
Lukisan Hari Budiono menggambarkan dengan hidup politik kebencian
itu. Dua ekor jago berhadapan, siap bertarung. Keduanya berupa galak dan buas,
hendak saling mengabruk. Dan keduanya mempunyai cakar yang kuat luar biasa.
Cakar itu demikian kuat, tak seperti cakar ayam biasanya. Dengan cakar itu,
kedua ayam jago itu mencengkeram anak-anak ayam, yang bulunya berwarna-warni,
merah, kuning, putih, hijau, biru, seperti warna-warni partai politik di
Indonesia. Mestikah pilpres mendatang seperti adu jago sambil mencengkeramkan
cakar pada rakyat dalam ketakutan? Itulah pertanyaan yang muncul ketika
mengamati lukisan berjudul ”Warna-warni Ayam Negeri” tersebut.
Indonesia yang tertawa
Pesimisme ini rasanya dengan sengaja dimunculkan dalam pameran lukisan
Hari Budiono. Ia memasang delapan memedi sawah, yang pada perutnya ditempelkan
tulisan berhias. Kalau diurutkan, tulisan itu adalah rangkaian syair dua bait
pertama dari lagu ”Ibu Pertiwi”, yang melagukan kedukaan dan kesedihan Bumi
Pertiwi yang tercinta ini. Tentu kini Ibu Pertiwi sedang bersedih hati,
merintih, dan berdoa, melihat keadaan anak-anaknya yang saling marah dan
membenci ini.
Kita berasal dari satu hutan, gunung, sawah, dan lautan, yang
menyimpan kekayaan, mengapa kita bertengkar baku hantam, seakan kita bukan
saudara setanah air yang saling mengenal? Ini sungguh menyedihkan. Siapa pun
tahu, juga memedi sawah yang menakutkan itu. Kendati segala ketegaannya,
sebagai anak bangsa mereka pun tahu dan harus mengaku bahwa Ibu Pertiwi pasti sedang
bersedih hati melihat kelakuan mereka yang menakutkan itu.
Memang, betapapun minimnya, memedi sawah masih tetap mempunyai
nurani kebangsaan. Maka, delapan memedi sawah lainnya memasang potongan kalimat
dua bait berikutnya dari syair lagu Ibu Pertiwi. Mereka ingin datang berbakti
dan menggembirakan Ibu Pertiwi. Karena itu, mereka menyanyi: Ibu kami tetap cinta/putramu yang
setia/menjaga harta pusaka/untuk nusa dan bangsa.
Cinta, kesetiaan, dan kegembiraan terhadap Ibu Pertiwi itulah
sesungguhnya inti pesan dari karya seni instalasi ”Memedi Sawah” dari Hari
Budiono ini. Maka, dengan sabar, ia mencari, mempersiapkan, dan kemudian
melukis seratus wajah manusia Indonesia. Wajah yang mewakili siapa saja. Wajah
presiden dan wakilnya, wajah penantangnya di pilpres mendatang. Wajah menteri,
gubernur, wakil rakyat. Wajah guru bangsa, intelektual, dan tokoh masyarakat.
Wajah artis, film, penyanyi, pelawak. Wajah sastrawan, seniman kolektor seni.
Orang pasti langsung mengenal sebagian besar dari wajah-wajah itu.
Namun, ada wajah juga yang mungkin tidak kenal, wajah tukang becak, pedagang
kecil, dan petani. Dan apa yang fantastis dari 100 wajah tersebut? Semua wajah
itu tertawa! Tak ada satu pun yang tidak tertawa. Dalam tawa, tiada lagi
bedanya presiden dan tukang becak, menteri dan kuli, artis cantik dan orang
biasa, kaum cerdik pandai dan orang tak berpendidikan tinggi, mereka yang suci
dan mereka yang tak beribadat sama sekali.
Tertawa membuat semua orang jadi sama. Karena tertawa, semua orang
adalah manusia. Maka, dalam tawa, kendati orang tahu nama presiden, tokoh, atau
orang-orang ternama itu, mereka-mereka ini pada hakikatnya adalah mereka yang
tak bernama, seperti orang biasa. Tertawa membuat semua orang jadi sama, yakni
manusia Indonesia. Itulah makna gambar 100 wajah tertawa yang tak bernama.
Lalu, 100 wajah tertawa itu ditempelkannya pada dada 100 memedi
sawah. Maka, inilah puncak pesan dari karya instalasi seni Hari Budiono itu:
memedi sawah itu jadi tidak menakutkan lagi, mereka telah tertawa dengan tawa
manusia Indonesia, mulai dari presiden sampai rakyat biasa. Memang, ketakutan
sosial hanya bisa dikalahkan dengan tertawa bersama-sama. Ketakutan itu memecah
belah, sedangkan pada hakikatnya tertawa itu menyatukan. Maka, dengan senjata
kesatuan tawa ini, ketakutan yang hanya pandai marah, membenci, dan memecah
belah pasti akan dibuat lari terbirit-birit dan berantakan nasibnya.
Kita pasti lebih suka tertawa daripada takut. Takut membuat kita
terkurung, tertawa membuat kita bebas. Takut cenderung menjadikan suatu
pegangan atau kebenaran hidup menjadi absolut. Tertawa tidak pernah
mengabsolutkan apa pun. Ketika orang tertawa, semuanya bisa jadi relatif,
termasuk dirinya sendiri.
Bagi mereka yang suka tertawa, pengabsolutan itu menggelikan, tapi
juga mengerikan. Karena itu, mereka menolak keabsolutan. Mereka percaya,
kegembiraan hidup bisa diperoleh bila orang mau menerima bahwa dunia selalu
berubah, tidak ada yang tetap dan pasti dalam perubahan di dunia ini. Takut itu
mengunci masa depan, sedangkan tertawa membuka masa depan, karena mampu melihat
adanya kemungkinan-kemungkinan baru, suatu tata dunia baru, dan suatu cara
hidup baru yang bakal terjadi nanti.
Karena pandai tertawa, orang bisa menerima kegagalan dan keterbatasannya.
Dengan demikian, ia juga bisa toleran terhadap keterbatasan dan kegagalan
sesamanya. Maka, tak mungkin orang bisa toleran bila ia dilanda takut. Ia harus
berani tertawa, dan lepas dari ketakutannya. Dan siapa bisa melepaskan diri
dari ketakutannya terhadap sesama atau kelompok di luar dirinya akan menjadi
toleran dan menghormati sesamanya.
Dengan tertawa, kita bisa mengembalikan memedi sawah ke
habitatnya. Biarlah mereka kembali ke sawah, menjaga padi para petani. Jangan
ada memedi sawah berkeliaran dalam dunia politik dan terus menakut-nakuti di
Tahun Babi Tanah ini. Pilpres dan pemilu legislatif mendatang kiranya harus
bisa mengembalikan kita menjadi bangsa yang tertawa, bangsa yang dikenal ramah
di dunia. Kalau sampai pilpres membuat kita menjadi bangsa yang dilanda takut,
pastilah ada yang salah dengan politik kita.
Sebelum itu terjadi, baiklah ketakutan itu kita robohkan. Caranya,
kita bersedia untuk tertawa dan ramah terhadap sesama. Demokrasi tak mungkin
dibangun dengan kemarahan, yang sumbernya adalah ketakutan karena egoisme,
narsisme diri yang berlebihan. Kita bisa membangun demokrasi itu bila kita rela
untuk tidak mengabsolutkan kehendak kita. Dan untuk itu kita harus berani
kembali menjadi bangsa yang mudah tertawa. Ya, tertawa itu mempunyai kekuatan
magis. Seperti kata peribahasa: ”dengan tawa di antara kita, air tawar saja
langsung jadi manis rasanya”. []
KOMPAS, 23 Februari 2019
Sindhunata |
Wartawan, Penanggung Jawab Majalah Basis, Yogyakarta