Enam Adab Majikan kepada Pembantu
Menurut Imam al-Ghazali
Hubungan majikan dengan pembantu seringkali
sangat jauh dari kesetaraan. Hal ini tidak jarang membuat majikan bertindak
semena-mena terhadap pembantu. Islam bukanlah agama yang membenarkan penindasan
terhadap sesama manusia. Oleh karena itu ada etika tertentu yang disebut adab
bagi seorang majikan terhadap pembantunya.
Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul
Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah
At-Taufiqiyyah, halaman 444) menyebut ada enam adab majikan kepada pembantu
sebagai berikut:
لا يكلفه
ما لا يطيق من خدمته، ويرفق به عند ضجره ولا يكثر ضربه، ولا يديم سبه فيجزأ عليه،
ويفصح عن زلته، ويقبل معذرته، وإذا أصلح له طعامًا أجلسه معه على مائدته، أو أعطاه
لقما من طعامه.
Artinya: “Tidak memaksanya bekerja melebihi kemampuannya;
berbelas kasih ketika ia kelelahan dan tidak menyakitinya dengan memukul; tidak
memakinya terus menerus sebab bisa membuatnya berani membalas; memaafkan
kesalahannya; mau menerima permohonan maafnya; jika ingin memberinya makanan
lezat, maka mengajaknya duduk bersama untuk memakannya, atau memberinya makan
yang sama secukupnya.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan enam adab
majikan kepada pembantu sebagai berikut:
Pertama, tidak memaksanya bekerja melebihi
kemampuannya. Sebelum mulai bekerja, tentu ada kesepakatan-kesepakatan tertentu
antara majikan dan pembantu berkenaan dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Seorang majikan tidak bisa secara sepihak melanggar kesepakatan, misalnya
berkaitan dengan jam kerja, jenis pekerjaan, besar gaji, jam istirahat, hak
libur atau cuti dan sebagainya. Hal-hal yang di luar kesepakatan tidak bisa
dipaksakan sehingga harus ada pembicaraan terlebih dahulu hingga mencapai kata
sepakat.
Kedua, berbelas kasih ketika ia kelelahan dan
tidak menyakitinya dengan memukul. Seorang majikan harus memiliki rasa
kemanusiaan kepada siapa pun termasuk pembantu. Beberapa kasus terjadi majikan
memaksa pembantu bekerja melebihi kemampaunnya. Ketika ia menolak karena tak
mampu melakukannya, majikan kemudian memukul dan bahkan menyiksanya. Hal
seperti ini tidak dibenarkan di dalam Islam. Seorang pembantu secara sosial
ekonomi termasuk kaum lemah (mustadh’afin) yang harus mendapat perlindungan
secara moral maupun agama.
Ketiga, tidak memakinya terus menerus sebab
bisa membuatnya berani membalas. Seorang pembantu terkadang kurang sempurna
dalam pekerjaannya. Jika persoalannya ia kurang terbiasa dengan pekerjaan
tertentu, maka majikan harus memberinya banyak kesempatan untuk berlatih hingga
terampil. Tetapi ketika sudah dilatih tetap juga kurang terampil, mungkin hal
itu memang kurang cocok baginya. Majikan tidak perlu memaki terus menerus
karena hal itu bisa membuatnya tersinggung dan emosi. Orang emosi bisa
kehilangan akal sehatnya sehingga bisa berbuat apa saja.
Keempat, memaafkan kesalahannya. Berbuat salah
adalah manusiawi. Oleh karena itu tanpa pembantu meminta maaf, seorang majikan
harus berjiwa besar memaafkannya sebab berapa pun besar gaji yang ia berikan
kepada pembantu, sebenarnya masih tidak sebanding dengan jerih payahnya.
Kesediaan dirinya menjadi seorang pembantu sebetulnya sudah merupakan
pengorbanan harga diri yang luar biasa. Hal yang sangat mendasar dari persoalan
ini adalah ia telah mengorbankan kebebasan hidupnya dalam banyak hal. Kebebasan
seseorang sejatinya teramat mahal harganya yang oleh majikan nyaris tidak
mendapat kompensasi apapun.
Kelima, mau menerima permohonan maafnya. Ketika
seorang pembantu telah berbuat kesalahan dan memohon maaf kepada majikan, maka
kesalahan-kesalahannya supaya dimaafkan. Dengan dimaafkan, perasaan takut dan
bersalahnya bisa berkurang dan akhirnya dapat bekerja lagi dengan baik dan
tenang. Sebelum memaafkan, seorang majikan tentu boleh meminta pembantu untuk
berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
Keenam, memberinya makanan yang lezat dan
mengajaknya duduk bersama. Seorang majikan yang baik dan rendah hati, tentu
tidak keberatan untuk sekali-kali duduk semeja untuk menikmati makanan yang
enak bersama dengan pembantu. Seorang majikan haruslah memiliki keyakinan bahwa
pada dasarnya derajat semua orang adalah sama di depan Allah SWT. Hal
satu-satunya yang membedakan di antara mereka hanyalah ketakwaan masing-masing
kepada-Nya.
Demikianlah enam adab majikan kepada pembantu
sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Keenam adab ini relevan dengan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga yang dikeluarkan pada tanggal 16 Januari 2015. Peraturan itu
berisi antara lain tentang hak dan kewajiban seorang pembantu yang disebut pembantu
rumah tangga (PRT). Pelanggaran atas peraturan ini oleh majikan atau pengguna,
misalnya, dapat dikenakan sanksi pidana. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar