Semuanya Boleh Atas Nama Agama (1)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Secara teori keagamaan yang diusung oleh para penganutnya, semua
agama pasti bertujuan baik dan mulia bagi kepentingan manusia di muka bumi.
Lain teori, lain pula yang ditemui dalam praktik yang dilakukan oleh sebagian
penganutnya sepanjang abad.
Agama yang semestinya mendorong terciptanya peradaban kemanusiaan
dengan wajah asri keadilan, keramahan, dan toleransi, tidak jarang yang
ditampilkan adalah wajah kebiadaban, kezaliman, kebengisan, kekerasan, dan
minus toleransi. Sisi gelap inilah yang dilihat Bertrand Russell dalam
ungkapan: “I am as firmly convinced that religions do harm as I am that they
are untrue” (Saya punya keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa agama-agama
melakukan kejahatan sebagaimana [saya yakin] bahwa mereka [agama-agama itu]
tidak benar) (lihat: Why I Am Not a Christian. New York: Simon and Schuster,
1957, hlm. vi).
Dalam kasus-kasus prilaku kebiadaban, kekerasan, perang, dan
pembunuhan atas nama Tuhan dan agama yang dilakukan sebagian penganutnya, apa
yang dilihat Russell tidak dapat dibantah. Maka para penganut agama yang baik
dan benar pasti menjadi resah dan malu oleh prilaku menyimpang yang
dipertontonkan oleh teman-teman seagamanya yang demkian brutal.
Tetapi Russell tidak adil dalam penilaiannya karena para nabi dan
rasul serta pengikut mereka yang berjalan lurus dan jujur adalah sumber
kekuatan dahsyat anti kebiadaban, anti kekerasan, anti perang, dan anti
pembunuhan tanpa alasan. Peradaban umat manusia berutang budi kepada mereka
ini.
Saya ingin membatasi artikel ini sepanjang yang menyangkut agama
Islam dalam pengetahuan yang terbatas. Perang memang diizinkan al-Qur’an,
tetapi harus dibaca dalam konteks membela diri dan menegakkan keadilan. Di luar
ranah itu, perang, pembunuhan, dan tindakan kekerasan lainnya diharamkan.
Diktum inilah yang tidak dipertimbangan oleh mereka yang
menghalalkan segala cara atas nama Tuhan dan atas nama agama, tetapi pada
hakekatnya perbuatan biadab mereka itu adalah pengkhianatan telanjang terhadap
ajaran agama yang mereka peluk. Sepanjang sejarah Muslim, perbuatan hitam
dan brutal ini dengan mudah dapat ditelusuri, bahkan berlaku sampai hari ini di
berbagai bagian dunia. Untuk publik di Indonesia, karya DR. Aksin Wijaya, Dari
Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018) patut benar dibaca dan direnungkan.
Karya ini adalah sumbangan berani dari penulisnya. Dengan
dalil-dalil agama dan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan,
penulisnya telah berhasil memetakan sisi-sisi yang benar dan autentik ajaran
Islam yang membawa rahmat semesta bagi bumi dan sisi-sisi gelap dan biadab dari
prilaku sebagian penganutnya yang perlu dicermati dan diawasi.
Praktik kekerasan atas nama agama yang menelikung pesan para nabi
dan para rasul adalah sasaran tembak utama dari karya ini. Filosofi kelompok
pendukung tindak kekerasan ini adalah: “Semuanya boleh atas nama agama,
termasuk perbuatan yang paling keji dan menghancurkan pilar-pilar kemanusiaan
sekalipun, asal tujuan tercapai.” Filosofi semacam ini bukan lahir dari
pemahaman agama yang benar dan jujur, tetapi dari pemahaman yang dipaksakan, terlepas
dari kawalan ajaran kenabian.
Dalam menyoroti fenemena teranyar tentang kekerasan atas nama
agama, Aksin menulis: Agamaisasi kekerasan pada umumnya lahir dari para
penganut paradigma Islam teosentris, yakni faham keisalaman yang segalanya demi
Tuhan, yang dalam hal ini dicontohkan oleh Khawarij-Wahhabi dan islamisme.
Menurut mereka, agama lahir demi kepentingan Tuhan. Manusia pun
dikorbankan demi kehidupan Tuhan. Segala tindak kekerasan yang mereka lakukan
selalu mengatasnamakan agama dan Tuhan dengan hanya memekikkan kalimat “Allahu
Akbar”. Inilah yang disebut agamaisasi kekerasan. Kekerasan menjadi bagian dari
agama. (Ibid., hlm. 219).
Korban dari pemahaman sesat tentang agama ini yang kemudian
melahirkan tindak kekerasan sudah tidak terhitung lagi banyaknya, dimulai sejak
terbunuhnya ‘Ustman bin ‘Affan pada tahun 656 dan ‘Ali bin Abi Thalib pada
tanun 661. Ada pun kasus ‘Umar bin Khattab pada tahun 644 dibunuh oleh seorang
non-Muslim bangsa Persi. Dalam beberapa tulisan mengenai pembunuhan Muslim oleh
Muslim saya menyebutnya sebagai perbuatan penganut teologi kebenaran tunggal.
Tidak ada kebenaran di luar definisi agama yang mereka tetapkan.
Alangkah rusaknya wajah Islam yang sejati di tangan mereka yang mengembangkan
naluri kekerasan ini. []
REPUBLIKA, 12 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar