Menelusuri Jagat
Sufisme Ibnu Athaillah
Judul
Buku : Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah:
Jalan Kebahagiaan
Penulis
: Ibnu ‘Atha’illah
Cetakan
: I, Juli 2018
Penerbit
: Qaf Media
Tebal
: 332 Halaman.
ISBN
: 978-602-5547-25-6
Peresensi
: Muhammad Faiz
As, santri pegiat literasi yang bermukim di Pondok Pesantren Annuqayah
Lubangsa Selatan Guluk-guluk, Sumenep, Jawa Timur.
Dalam khazanah Islam,
kitab kuning menempati posisi paling krusial sebagai wadah tranformasi
keilmuan dan pelestarian ajaran-ajaran Islam. Asas-asas agama semacam, ahlak,
fiqih dan akidah tertampung dalam lembaran-lembaran kuning yang lumrahnya tanpa
tanda baca dan harakat.
Bagi masyarakat
pesantren, menekuri lembar demi lembar kitab kuning dan mempelajarinya bukanlah
hal yang asing dan sulit. Tradisi pembelajaran ilmu alat seperti nahwu dan
sharaf memiliki andil besar sebagai medium untuk memahami literatur-literatur
klasik, semacam kitab Al-Hikam yang merupakan masterpiece Syekh Ibnu
‘Atha’illah As-Sakandari ini.
Di Indonesia sendiri,
karya syekh Ibnu Athaillah tersebut begitu fenomenal, utamanya di lingkungan
pesantren. Bahkan KH. Hasyim Muzadi menetapkannya sebagai nama pondok pesantrennya
di Malang (al-Hikam). Untaian-untaian kata mutiara yang sangat menandakan
kedalaman makrifat sang muallif, khususnya mereka yang tengah menempu jalan
menuju Allah. Barangkali inilah alasan penerjemahan kitab ini, padahal secara
isi dan materi, kitab ini cukup berat untuk dicerna nalar biasa.
Hadirnya versi
terjemahan yang diterbitkan oleh Qaf Media ini merupakan berita gembira bagi
mereka yang gagap literasi klasik. Mereka bisa mereguk hikmah-hikmah
menyejukkan tanpa perlu mengernyitkan dahi menelaah lembar kitab kuningnya
terlebih dahulu. Di ranah pesantren, kedudukan kitab ini sangat spesial, bahkan
di beberapa pesantren, seorang santri terlebih dahulu harus khatam kitab
Sullamut taufiq dan Bidayatul hidayah sebagai pengantar demi membaca kitab
ini.
Sebagai seorang arif
billah, Syaikh Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari telah mengenali proses terjal dan penuh
liku-liku yang harus di tempuh seorang salik, dan kitab ini serupa buku panduan
untuk melaluinya dengan baik, terlebih di zaman yang disesaki ontran-ontran
duniawi dan hedonisme ini. Tentunya kita tidak perlu khawatir kitab ini akan
melencengkan kita dari syariat, karena kitab ini ditulis dengan basis Al-quran
dan sunnah, nyaris searah dengan mekanisme yang ditempuh Imam Al-Ghazali (hlm.
98)
Kredibilitas Ibnu
‘Atha’illah sendiri tidak perlu diragukan. Ulama yang hidup sekitar 700 tahun
lalu ini tergolong penulis yang produktif. Tidak kurang dari 20 karya lintas
bidang pernah dita’lifnya, seperti tasawuf, tafsir, ushul fiqh dan lainnya. Di
antaranya adalah Unwaan al-Taufiq fi ‘dab al-Thariq, latha’iful minan, dan
Miftah al-Falah serta beragam kitab lain yang belum penulis ketahui dan konon,
kitab Al-Hikam ini adalah magnum opus dari seluruh karya Beliau. Beliau juga
mamiliki posisi sebagai syekh ke-3 dalam tarekat Syadziliyah.
Di masanya, tidak
sedikit pihak yang antipati dan melancarkan berbagai kritik terhadap ajaran
sufi, salah satunya adalah Ibnu Taimiyah. Sejarah telah mencatat dialog sengit
yang pernah terjadi antara dua ulama ini. Menurut ibnu Taimiyah, ajaran tasawuf
terlalu mengada-ada dan tanpa dasar, baik dari al-Quran atau pun Sunnah. Kritik-kritik
ini ditanggapi dengan santun oleh Syekh Ibnu ‘Atha’illah melalui karyanya,
yaitu Al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad.
Guru Besar Psikologi
UI, Prof. Dr. Ahmad Mubarak, MA, pernah menuturkan bahwa karya tasawuf model
al-Hikam ini lahir dari penghayatan spiritual terhadap dinamika sosial yang
cenderung menyimpang dari nilai-nilai akhlak Islam. Ketika umat lebih suka
mengkoarkan argumentasi ‘aqly dan naqly, para sufi melalui makrifatnya lebih
memilih merumuskan kaidah-kaidah agama dengan petikan-petikan hikmah yang
menyejukkan. Ini mengindikasikan bahwa keluhungan etika adalah pondasi utama
membangun ketentraman agama secara umum dan menyerukan eksistensi manusia yang
sejati, yaitu sebagai Abdullah.
Selain Syarah
al-Hikam yang ditulis oleh Dr. Ashim Ibrahim al-Kayyali ini, ada banyak ulama
lain yang pernah menulis syarah atau komentar terhadap al-Hikam, diantaranya:
Ibn Abbad, Ibn Ajibah, Syekh al-Syarnubi, Syekh Ahmad al-Zarruq dan Syekh
Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati.
Sebenarnya terjemahan
kitab ini pun sudah banyak beredar di Indonesia dengan pengulas yang berbeda
pula, sebut saja al-Hikam yang diulas oleh syekh asy-Syarqawi al-Khalwati yang
dialihbahasakan oleh penerbit Turos dan ditahbis sebagai “terlengkap yang
pernah diterbitkan”.
Kendatipun berskala
lebih kecil, terjemahan al-Hikam yang diulas oleh Dr. Ashim Ibrahim al-Kayyali
ini, memiliki nilai tawar yang tidak bisa disepelekan. Pasalnya, dalam
terjemahan kitab ini termaktub al-Hikam al-‘athaiyyah al-shugra yang selama ini
masih berupa manuskrip dan belum tersentuh bahasa populer. Terdapat pula
istilah-istilah penting dalam belantara tasawuf Syekh Ibnu ‘Atha’illah yang
dikupas tuntas agar pembaca lebih mengenali spiritualitas Islam.
Kitab al-Hikam ini
adalah semacam antitesis dari kehidupan umat yang telah mengalami disorientasi
akibat desakan duniawi dari berbagai aspek kehidupan. Kekalutan politik,
kehausan material, adalah sekilas potret kekacauan umat kekinian yang berakibat
pada kegersangan spiritual. Dan kitab al-Hikam ini hadir di tengah-tengah kita
laksana oase yang melebur kehausan dan menjernihkan qalbu dari segala
anasir-anasir yang menghijab dari Allah. Wallahu a’lam, salam literasi dan
selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar