Ajaran Kesetaraan Sosial
dalam Pensyariatan Walimah
Walimah atau jamuan makan perayaan
pernikahan, merupakan sebuah kesunnahan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain bertujuan memberikan syiar tentang telah
terjadinya sebuah ikatan yang suci, walimah juga merupakan perwujudan rasa
syukur terhadap nikmat Allah subhanahu wata‘ala.
Dalam literatur kitab-kitab fiqih, ternyata
kesunnahan jamuan makan bukan hanya ada pada saat pernikahan, namun pada
momen-momen yang lain juga. Sebagaimana dipaparkan oleh Imam Abu Ishak Ibrahim
bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam al- Muhadzdzab fi Fiqh
al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz II, hal. 476:
الطعام
الذي يدعى إليه الناس ستة: الوليمة للعرس والخرس للولادة والإعذار للختان والوكيرة
للبناء والنقيعة لقدوم المسافر والمأدبة لغير سبب ويستحب ما سوى الوليمة لما فيها
من إظهار لنعم الله والشكر عليها واكتساب الأجر والمحبة
Artinya: “Ada enam macam undangan jamuan
makan bagi manusia: al-walimah saat pernikahan, al-khars saat kelahiran,
al-i’dzar saat khitanan, al-wakirah saat membangun rumah, an-naqi’ah saat baru
pulang dari perjalanan, dan al-ma’dabah bagi jamuan makan tanpa sebab (sekedar
ingin makan-makan saja). Selain al-walimah (yang menurut sebagian ulama
hukumnya adalah wajib, red), mengadakan jamuan makan hukumnya sunnah karena di
dalamnya terdapat pengungkapan terhadap nikmat-nikmat Allah, perwujudan rasa
syukur, bentuk usaha untuk mendapatkan pahala, dan meningkatkan rasa asih
antarsesama.”
Meski pada asalnya, istilah jamuan makan
berbeda-beda disesuaikan konteksnya, namun di Indonesia, umumnya semua bentuk
jamuan makan dinamakan walimah. Hingga kita mengenal istilah walimah khitan,
walimah safar haji, dan lainnya. Menurut hemat penulis, hal ini tidaklah
menjadi masalah, karena hanya persoalan beda bahasa saja, yang terpenting
adalah tujuan dan substansinya sama.
Telah juga kita ketahui bersama, bahwa
mendatangi undangan jamuan makan ini hukumnya adalah wajib untuk walimah
pernikahan, dan sunnah untuk lainnya. Meski demikian, ada beberapa faktor yang
bisa membatalkan kewajiban atau kesunnahan tersebut, yakni jika dalam jamuan
makan tersebut ada prinsip kesetaraan sosial yang tercederai. Keterangan
tentang hal ini bisa kita simak dalam sabda Rasulullah Saw, sebagaimana penulis
kutip dari kitab Sahih al-Bukhari nomor hadits 5177:
شَرُّ
الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ
الفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sejelek-jeleknya makanan (tanpa
berkah) ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya, namun
melewatkan orang-orang fakir. Barangsiapa meninggalkan (tidak menghadiri)
undangan makan, maka sesungguhnya ia telah berbuat maksiat pada Allah dan
Rasul-Nya.”
Dari hadits di atas, Syekh Jalaluddin
al-Mahalli dalam Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), juz III, hal. 296, menjelaskan:
وَإِنَّمَا
تَجِبُ) الْإِجَابَةُ (أَوْ تُسَنُّ) كَمَا تَقَدَّمَ (بِشَرْطِ أَنْ لَا يَخُصَّ
الْأَغْنِيَاءَ) بِالدَّعْوَةِ فَإِنْ خَصَّهُمْ بِهَا انْتَفَى طَلَبُ
الْإِجَابَةِ عَنْهُمْ حَتَّى يَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ مَعَهُمْ)
Artinya: “Bahwasanya wajib atau sunnahnya
memenuhi undangan jamuan makan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dengan
syarat tidak secara khusus hanya mengundang orang-orang kaya. Jika dalam acara
tersebut hanya mengkhususkan mengundang orang kaya, maka tuntutan kewajiban
memenuhi undangan menjadi hilang, sampai orang-orang fakir juga ikut diundang.”
Sedangkan apabila sebaliknya, jika undangan
hanya dikhususkan bagi orang-orang fakir saja tanpa mengundang orang-orang
kaya, hal tersebut tidak menghilangkan kewajiban menghadiri undangan,
sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami dalam kitab
al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1950), juz III, halaman 433:
وَالْمُعْتَمَدُ
وُجُوبُهَا إذَا خَصَّ الْفُقَرَاءَ
Artinya: “Menurut pendapat mu’tamad, tetap
wajib (memenuhi undangan) yang mengkhususkan orang-orang fakir.”
Dari penjelasan-penjelasan di atas, bisa kita
pahami bahwa syariat Islam sangat memberikan perhatian pada kesetaraan sosial.
Hilangnya kewajiban menghadiri undangan yang hanya mengkhususkan orang-orang
kaya menunjukkan bahwa pihak pengundang harus menyamaratakan undangan baik pada
yang kaya maupun kepada yang miskin. Sebaliknya jika yang diundang hanyalah
orang-orang fakir, hal tersebut diperbolehkan. Hal ini selaras sekali dengan
prinsip sosial dalam syariat Islam dimana prioritas perhatian harus diberikan
pada mereka yang lebih membutuhkan.
Wallahu a’lam bi-shawab.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar