Tiga Penopang Keberhasilan Dakwah Nabi
Muhammad
Pondasi kuat dakwah Nabi Muhammad SAW adalah
akhlak mulia. Hal ini sesuai keterangan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori,
innama bu’itstu li utaima makarimal akhlaq (sesungguhnya saya diutus untuk
menyempurnakan akhlak).
Akhlakul karimah yang dianugerahkan Allah SWT
kepada Nabi sekaligus menjadi komitmen dakwahnya. Meskipun riwayat menyebutkan,
akhlak mulia Nabi Muhammad sudah tertanam sejak muda. Hal itu dibuktikan dengan
gelar Al-Amin (seorang yang dapat dipercaya) oleh masyarakat Arab sebelum
Rasulullah menerima wahyu.
Banyak literatur sejarah yang mencatat akhlak
Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari. Justru teladan akhlak mulia inilah
yang banyak menggugah hati kaum Quraisy dan umat agama lain untuk memeluk
Islam.
Nabi tidak pernah memaksakan Islam dalam
dakwahnya. Ia menghadirkan kebenaran Islam dalam akhlak mulianya sehingga Islam
diterima oleh siapa pun. Nabi dan para pengikutnya juga tidak berperang dan
memerangi. Perang yang dilakukan oleh Nabi dan umatnya dilakukan karena
terlebih dahulu diperangi sehingga mempertahankan diri dari serangan kaum
musyrikin merupakan kewajiban agama.
Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam buku
Secercah Tinta (2012) mengungkapkan tiga penopang keberhasilan dakwah Nabi
Muhammad yang nukil dari sebuah ayat Al-Qur’an:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128)
Dari ayat di atas, Allah SWT memperkenalkan
dan menerangkan kedudukan Nabi Muhammad. Telah datang Rasul, utusan yang
berasal dari manusia, bukan dari makhluk lain. Utusan Allah dari golongan
manusia menunjukkan bahwa Muhammad bukanlah manusia sembarangan. Beliau adalah
manusia pilihan yang luar biasa.
Lalu apa luar biasa atau keistimewaan yang
dimiliki oleh Rasulullah SAW? Pertanyaan ini terjawab dalam beberapa kalimat
selanjutnya. Pertama, azizun ‘alaih ma’anittum (berat terasa olehnya
penderitaanmu). Karena sepanjang hayatnya, terutama yang dipikirkan oleh Nabi
Muhammad adalah umatnya. Ia sama sekali tidak menginginkan umatnya menderita di
hari kemudian.
Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan ketika
Malaikat Izrail mendatangi Nabi Muhammad untuk mencabut nyawanya. Tentu saja
perintah Allah tersebut terasa berat bagi Izrail untuk mencabut manusia yang
paling dicintai Allah SWT. Di dalam obrolan sebelum mencabut nyawa Sang Nabi,
Izrail memberikan kabar gembira tentang kesempurnaan dan kenikmatan surga bagi
Rasulullah SAW.
Bukan malah bergembira, Nabi Muhammad justru
teramat sedih dan menderita sehingga membuat Izrail bertanya-tanya. Nabi
Muhammad berkata, “Lalu, bagaimana dengan umatku?” Pertanyaan tersebut
menunjukkan bahwa Nabi tidak akan pernah membiarkan umatnya menderita meski
merekalah yang membuat sengsara dirinya sendiri. Kondisi ini membuat berat
terasa oleh Nabi Muhammad atas penderitaan umatnya.
Kedua, harishun ‘alaikum (sangat menginginkan
keimanan dan keselamatan bagimu). Ini merupakan ungkapan cinta, kasih sayang
sekaligus harapan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.
Ketiga, bil mu’minina raufur rahim (amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin). Beliau memiliki rasa
kasih sayang teramat mendalam pada kaum beriman.
Tiga sifat itulah yang kemudian menopang
keberhasilan dakwah Nabi Muhammad. Akhlak mulia, cinta, dan kasih sayang yang
mewujud dalam penjelasan ayat di atas merupakan pondasi dakwah Nabi dengan
mengedepankan akhlaqul karimah karena karena tersimpan harapan besar Nabi
kepada umatnya.
Alakullihal, keberhasilan seorang dai/daiyah
atau mubaligh/mubalighah bergantung pada seberapa besar rasa azizun ‘alaih
ma’anittum dalam dirinya. Karena hal itulah dasar pertama untuk mengajak orang
lain atau umat manusia ke jalan Allah SWT. Harapan para pendakwah juga ada
dalam prinsip harishun ‘alaikum tanpa memaksakan kehendak sehingga sifat bil
mu’minina raufur rahim harus terus dikedepankan. Wallahu’alam bisshowab. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar