Beragama yang Mencerahkan
Oleh: Haedar Nashir
Beragama ialah praktik hidup pemeluk agama yang jiwa, pikiran,
sikap, dan tindakannya berlandaskan agama yang dianutnya. Dengan beragama,
manusia itu beriman sekaligus berilmu dan beramal kebaikan sesuai dengan
nilai-nilai dasar dari agama itu sendiri.
Dengan demikian, beragama merupakan kata kerja dari setiap orang
yang memeluk agama, yang dalam terminologi Islam sepadan dengan mengamalkan
agama secara totalitas atau kafah. Adapun beragama yang mencerahkan tentu saja
praktik hidup setiap orang beragama, khususnya di kalangan kaum Muslim yang
melahirkan perubahan ke arah yang penuh cahaya keislaman sebagaimana diteladankan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Bagi setiap Muslim melekat kewajiban untuk menjalankan agama Islam
secara menyeluruh atau kafah sehingga dirinya merupakan pengejawantahan
langsung dari Islam itu sendiri, sebagaimana Nabi Muhammad dilukiskan oleh Siti
Aisyah sebagai berakhlak Al Quran. Artinya bahwa Muhammad sebagai
”Al Quran yang berjalan” di muka bumi ini, yang harus diikuti para pengikutnya. Semua Muslim, apalagi yang mengklaim diri selaku pengikut Nabi Muhammad, yakni warga Muhammadiyah, niscaya menjalankan dan mewujudkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan dalam keseluruhan hidupnya sehingga terwujud ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Tradisi ber-”iqra”
Beragama atau bagi umat Islam ”berislam yang mencerahkan” dimulai
dari mengembangkan dan menyebarluaskan tradisi ”iqra” (bacalah), sebagaimana
wahyu atau risalah pertama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dari Goa Hira.
Kehadiran Islam yang dibawa risalahnya oleh Muhammad sebagai nabi akhir zaman
sangat revolusioner dan transformasional. Sebab, ia dimulai dari perintah Allah
untuk ”iqra”, yakni ”iqra dengan dan atas nama Tuhan”, bukan sembarang iqra,
melainkan iqra yang bersifat Langit dan profetik.
Dalam tradisi iqra bukan hanya keniscayaan setiap Muslim untuk
membaca ayat-ayat Al Quran, melainkan juga ayat-ayat kauniyah atau
semesta. Iqra membaca ayat-ayat langit, bumi, dan alam raya dengan segala
isinya, termasuk iqra tentang manusia dengan segala dimensinya.
Iqra menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan
tekstual, melainkan keseluruhan makna yang tercakup arti ”iqra” dalam bahasa
Arab. Sebutlah seperti tafakur, tadabur, tanadhar, tasyakur, serta berbagai aktivitas
akal pikiran, kajian keilmuan, dan membaca secara kontekstual secara
menyeluruh. Dalam terminologi tarjih,
iqra memiliki makna pada pemahaman keislaman secara bayani, burhani, dan irfani secara
interkoneksitas.
Tradisi iqra yang bercorak transformasional itu akan melahirkan
pencerahan alam pikiran, keilmuan, dan peradaban. Dalam tradisi Barat modern,
tradisi pencerahan (aufklarung, enlightenment)
menurut Immanuel Kant dimulai dengan sapere
aude, yakni keberanian menggunakan akal pikiran yang mendobrak
segala doktrin yang membelenggu, termasuk doktrin agama Abad Pertengahan yang
mengerangkeng akal pikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara menurut
Horatius, sapere aude bermakna
’beranilah menjadi bijak’.
Kiai Dahlan menyerukan penggunaan ”akal yang suci-murni”,
sedangkan dalam ”Mata Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah” dikenal ”akal
pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam”. Dalam ajaran dan sejarah Islam
justru Islam itu sendiri sumber nilai pencerahan, dimulai dari risalah iqra
sebagai wahyu pertama dalam misi kenabian Muhammad. Islam adalah ajaran yang
proakal pikiran, proilmu pengetahuan, serta segala kegiatan berpikir dan
berzikir yang melahirkan generasi ulul-albab serta
melahirkan kemajuan peradaban dunia di era kejayaan Islam.
Khusus bagi internal Muhammadiyah, jika ingin beragama yang
mencerahkan berbasis iqra, kembangkan kebiasaan membaca, mengkaji, mengaji,
diskusi, seminar, bedah buku, berwacana, serta berbagai kegiatan keilmuan dan
tradisi iqra untuk mengembangkan tajdid sebagaimana karakter Muhammadiyah.
Terbiasalah menghadapi keragaman pemikiran, tentu bagi warga Muhammadiyah
dengan rujukan pemikiran Islam dan ideologi Muhammadiyah yang benar dan tidak
ditafsirkan sendiri.
Dalam menggelorakan ”Beragama yang Mencerahkan”, segenap anggota,
kader, dan pimpinan Muhammadiyah penting menyebarluaskan serta mengembangkan
tradisi iqra dan pencerahan akal budi, seperti sikap hidup amanah, adil, ihsan,
kasih sayang sebagai bagian penting dari gerakan pencerahan yang menebar
pesan-pesan keislaman yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan.
Kembangkan pandangan Islam yang menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara
melintasi. Tak mudah mengikuti arus, tetapi jangan alergi pada pemikiran yang
berkembang sebelum dikaji dengan saksama. Dalam mengkaji pun tidak perlu penuh
ketakutan, fanatik buta, dan apriori. Bukalah pikiran dan wawasan agar menjadi
pelaku gerakan yang berkemajuan.
Jadilah anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah yang memiliki
sifat ulul-ulbab,
sebagaimana dipesankan Allah dalam Al Quran yang artinya: ”Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal” (QS Az-Zumar: 18). Kiai Dahlan mengkaji ayat ini dan sering
berpesan agar orang Islam —termasuk ulamanya— harus berkemajuan: ”dadiyo kiai sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut
gawe kanggo Muhammadiyah”, yang artinya ’jadilah ulama yang
berpikiran maju, dan jangan berhenti bekerja keras untuk kepentingan
Muhammadiyah’.
Pencerahan perilaku
Beragama atau berislam yang mencerahkan juga melekat pada
”pencerahan akal budi” yang berbasis kerisalahan Muhammad untuk ”menyempurnakan
akhlak mulia” dan menebar rahmatan
lil-’alamin” dalam kehidupan semesta. Ajaran Islam yang mencerahkan
harus terwujud dalam karakter insan berakhlak mulia, sebagaimana Nabi ”diutus
untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Di antara nilai Islam sekaligus perwujudan akhlak mulia yang
mencerahkan dalam kehidupan menurut ajaran Islam ialah amanah, adil, ihsan, dan
kasih sayang. Insan Muslim diberi tanggung jawab menunaikan amanah dalam
kehidupannya. Amanah yakni tugas mulia yang mesti ditunaikan untuk mengajak
manusia pada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Amanah setiap Muslim bahkan
sangat berat, yakni membawa kerisalahan Allah yang harus diwujudkan dalam
kehidupan (QS Al-Hasyr: 21).
Amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi ialah menyebarkan
risalah Tuhan dan mengajarkan ilmu serta memakmurkan dunia (QS Al-Baqarah: 30;
Hud: 60). Manusia bahkan diberi amanah menunaikan tugas hidupnya sesuai
perintah Allah dan Sunnah Rasulullah (QS An-Nisa: 58).
Islam, selain mengajarkan amanah, juga mewajibkan pemeluknya untuk
berbuat adil, yakni sikap benar, obyektif, dan tidak berat sebelah. Adil itu
menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat. Ajaran tentang keadilan
merupakan hal yang sangat esensial dalam Islam (QS An-Nisa: 135). Sikap adil
itu pantulan dari nilai benar dan nirhawa nafsu sehingga insan yang beriman
jadi lurus hati sekaligus jujur dan bijaksana. Ketika harus menyuarakan
kebenaran pun tetap dengan sikap adil dengan menjunjung tinggi obyektivitas,
bukan subyektivitas. Sikap adil bahkan harus ditunjukkan meski terhadap pihak
musuh. Allah mengajarkan agar Muslim bertindak adil dan jangan karena benci
terhadap suatu kaum membuat diri bertindak tak adil (QS Al-Maidah: 8).
Selain nilai adil, setiap Muslim juga diajarkan untuk berbuat
ihsan. Ihsan ialah kebajikan utama yang melintas batas rohani seseorang. Ihsan
ialah ”engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Dia, kalaupun engkau tak
mampu melihat Dia, sesungguhnya Allah melihatmu” (HR Bukhari-Muslim). Hadis
tersebut mengandung makna hakikat dan makrifat dalam habluminallah (hubungan
dengan Allah), yang buahnya ialah habluminannas atau
hubungan antarinsan yang serba luhur. Sikap ihsan yang memancarkan kemuliaan
ditunjukkan Nabi. Nabi memaafkan bangsa Thaif karena mereka belum tercerahkan
akal budinya.
Pencerahan akal budi juga diperkaya dengan ajaran kasih sayang,
selain dengan adil dan ihsan. Islam mengajarkan kasih sayang atau sikap
welas asih terhadap sesama, bahkan terhadap seisi alam semesta.
Di tengah lalu lintas dan dinamika paham serta perilaku keagamaan
yang beragam dan tidak jarang ekstrem, Muhammadiyah dituntut perannya sebagai
gerakan dakwah dan tajdid yang mencerahkan. Anggota, kader, dan pimpinan
Muhammadiyah dalam menghadapi beragam pemikiran dan keadaan, seperti menghadapi
tahun politik, juga niscaya cerdas, bijak, dewasa, dan berkemajuan.
Sikap terbuka dengan daya seleksi yang cerdas merupakan ciri orang
berkemajuan. Kalau berbeda pendapat atau tak bersetuju dengan pemikiran orang
lain, lakukan diskusi dan wacana dialog, tidak perlu mengerahkan massa atau
tindakan yang politis sebagaimana dilakukan sebagian kalangan. Salah satu sifat
dalam kepribadian Muhammadiyah ialah ”lapang dada, luas pandang, dan memegang
teguh ajaran Islam”. Sifat lainnya ialah ”bersifat adil serta korektif ke dalam
dan keluar dengan bijaksana”. Jika ingin mencerahkan semesta, jadilah sang
pencerah! []
KOMPAS, 21 Februari 2019
Haedar Nashir | Ketua
Umum PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar