Rabu, 29 Mei 2019

(Do'a of the Day) 24 Ramadlan 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'annii.

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema'af, Engkau menyukai kema'afan, maka ma'afkanlah kesalahanku.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 8, Bab 5.

(Ngaji of the Day) Perihal Takbir Sunah pada Shalat Id bagi Makmum Masbuq


Perihal Takbir Sunah pada Shalat Id bagi Makmum Masbuq

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, pada shalat id tahun lalu orang di samping saya telat datang. Ia tiba setelah imam membaca surat Al-Fatihah. Pertanyaannya, apakah ia perlu membaca takbir sunah setelah takbiratul ihram atau mendengarkan imam membaca surat? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Fadli – Makassar

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pada dasarnya, takbir tujuh kali pada rekaat pertama setelah takbiratul ihram dan lima kali pada rekaat kedua shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunah.

ويكبر في الأولى سبع تكبيرات غير تكبيرات الإحرام، وفي الثانية خمسا سوى تكبيرات القيام من السجود؟ روي أنه عليه الصلاة والسلام كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبعا قبل القراءة، وفي الثانية خمسا قبل القراءة رواه الترمذي

Artinya, “Seseorang bertakbir sebanyak tujuh kali pada rekaat pertama selain takbiratul ihram, dan lima kali pada rekaat kedua selain takbir berdiri dari sujud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bertakbir sebanyak tujuh kali sebelum membaca surat pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha, dan lima takbir pada rekaat kedua sebelum membaca surat, (HR At-Tirmidzi),” (Lihat Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 126).

Dari keterangan di sini, kita dapat menarik simpulan sementara bahwa hukum sejumlah takbir setelah takbiratul ihram itu adalah sunah. Oleh karena itu, ketiadaannya tidak mengganggu keabsahan shalat Id itu sendiri.

Adapun jamaah yang datang terlambat tidak perlu risau dengan takbir sunah tersebut. Makmum masbuq ini cukup mengikuti saja berapa kali imam takbir meskipun hanya tersisa satu takbir sunah. Demikian keterangan Syekh Ibnu Hajar berikut ini:

وَلَا يُكَبِّرُ الْمَسْبُوقُ إلَّا مَا أَدْرَكَ) مِنْ التَّكْبِيرَاتِ مَعَ الْإِمَامِ فَلَوْ اقْتَدَى بِهِ فِي الْأُولَى مَثَلًا وَلَمْ يَبْقَ مِنْ السَّبْعِ إلَّا وَاحِدَةٌ مَثَلًا كَبَّرَهَا مَعَهُ وَلَا يَزِيدُ عَلَيْهَا ، وَلَوْ أَدْرَكَهُ فِي أَوَّلِ الثَّانِيَةِ كَبَّرَ مَعَهُ خَمْسًا وَأَتَى فِي ثَانِيَتِهِ بِخَمْسٍ أَيْضًا ؛ لِأَنَّ فِي قَضَاءِ ذَلِكَ تَرْكَ سُنَّةٍ أُخْرَى

Artinya, “(Makmum masbuq (tertinggal beberapa saat) hanya bertakbir sebanyak apa yang dia ikuti) bersama imam. Kalau dia mengikuti imam pada rekaat pertama misalnya, lalu ia hanya mendapati imam bertakbir terakhir dari tujuh takbir sunah itu, maka ia cukup bertakbir sekali saja mengikuti imam tanpa perlu menambah takbir. Kalau ia mengikuti imam di awal rekaat kedua, maka ia cukup bertakbir lima kali bersama imam dan ia bertakbir pada rekaat susulan setelah imam salam nanti cukup lima kali takbir juga. Karena, mengqadha takbir yang luput pada rekaat pertama dapat mengabaikan sunah lainnya,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Mihajul Qawim, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa catatan tahun], halaman 87).

Dari keterangan ini, kita mendapat pedoman bahwa makmum masbuq pada prinsipnya mengikuti imam saja. Kalau imam masih bertakbir sunah, ia cukup bertakbir sejumlah imam bertakbir. Kalau imam sudah membaca surat, ia tidak perlu bertakbir.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

(Khotbah of the Day) Bagaimana Mengisi Jelang Akhir Ramadhan?


KHUTBAH JUMAT
Bagaimana Mengisi Jelang Akhir Ramadhan?

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لله، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ الْفُرْقَانَ لِلْعَالَمِيْنَ بَشِيْرًا وَنَذَيِرًا، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْنَا بِأَنْوَاعِ النِّعَمِ مِدْرَارًا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُطَهِّرُوْنَ اللهَ تَطْهِيْرًا. فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ فِىْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ. بسم الله الرحمن الرحيم، إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ، سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ 

Hadirin sidang Jumat hafidhakumullah,  

Saya berwasiat kepada pribadi saya sendiri, juga para hadirin sekalian, marilah kita tingkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. 

Hadirin,

Kita sekarang sudah memasuki bagian-bagian akhir pada bulan Ramadhan. Kita perlu mengoreksi diri kita sendiri sebagai bahan evaluasi. Mulai awal Ramadhan kemarin sampai hari ini: apakah kualitas dan kuantitas ibadah kita sudah sesuai yang kita harapkan?. Apabila sudah, mari kita jaga sekuat tenaga hingga akhir Ramadhan. Jika belum sesuai dengan ekspektasi kita, mari kita tingkatkan dengan sebaik-baiknya. Karena,

اِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِالْخَوَاتِمِ

Artinya: “Setiap amal tergantung dengan endingnya”

Seperti orang yang sedang membangun rumah. Kita ini sudah membangun rumah 70 persen. Bagaimana yang 30 persen sisanya, ini sangat menentukan. Kalau finishing-nya bagus, akan jadi rumah yang indah, tapi jika finishing-nya dikerjakan secara asal-asalan, tentu rumah yang dibangun dengan permulaan susah payah, hanya akan mendapatkan nilai buruk hanya masalah 30 persen yang akhir adalah buruk. 

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan pada sepertiga bulan Ramadhan akhir ini. Di antaranya bahwa Allah menciptakan umat Muhammad penuh dengan keistimewaan. Sebagian keistimewaannya adalah Allah menciptakan umat Muhammad sebagai umat yang lahir di muka bumi ini pada bagian paling akhir. Kenapa? Karena apabila ada umat  Muhammad yang menjadi seorang pendosa, seumpama ia mati, di kuburan disiksa tidak terlalu lama lagi kiamat akan datang, ia akan dientaskan dari siksaan kubur. Jika ia dalam keadaan membawa iman, ia akan berpeluang besar mendapatkan syafa’at Rasulullah . Kata Rasulullah :

شَفَاعَتِيْ لِاَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ 

Artinya: “Syafa’atku untuk para pendosa besar dari umatku.” (HR Abu Dawud dan At- Tirmidzi) 

Ada keutamaan lain, umat Muhammad tidak diciptakan oleh Allah dengan umur yang panjang-panjang, 500 tahun, 700 tahun dan lain sebagai. Umur umat Muhammad rata-rata antara 60 sampai 70 tahun. Hal ini sebutkan dalam hadits Nabi:

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ.

Artinya: “Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit di antara mereka yang melewati usia tersebut.” (HR At-Tirmidzi) 

Umur yang pendek-pendek ini di antara hikmahnya adalah supaya umat Muhammad tidak capek-capek beribadah yang panjang. Umat Muhammad diberi oleh Allah umur yang pendek, namun dalam pendeknya umur, Allah memberikan peluang lailatul qadar sehingga apabila lailatul qadar ini bisa digunakan dengan baik, hal tersebut lebih baik daripada seribu bulan atau 83 tahun lebih yang tidak malam lailatul qadarnya. Maka, seumpama ada umat Muhammad mulai ia baligh sekitar umur 13 tahun, setiap tahun ia bisa menggunakan malam laitalul qadar dengan sebaik mungkin sedangkan umurnya sampai 63 tahun, ia berarti telah menjalankan ibadah lebih baik dari 4.500 tahun yang tidak ada lailatul qadarnya. Betapa Allah sungguh memuliakan umat Muhammad dibandingkan umat yang lain. 

Lailatul qadar tidak bisa dipastikan jatuhnya kapan. Bisa pada awal Ramadhan, tengah ataupun di bagian akhir Ramadhan. Hal ini tidak dijelaskan secara pasti supaya kita mau menjaring terus menerus. Dengan begitu, selama Ramadhan kita berusaha memenuhinya dengan ibadah-ibadah. Hanya saja, secara umum memang lailatul qadar itu banyak yang jatuh pada kisaran 10 hari terakhir bulan Ramadhan. 

Rasulullah begitu tampak sikapnya bagaimana beliau memenuhi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Di antaranya Rasulullah telah memberikan contoh kepada kita melalui hadits yang diriwayatkan oleh istrinya Aisyah radliyallahu anha:

كانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Artinya: “Nabi ketika memasuki sepuluh hari terakhir mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari Muslim) 

Pengertian “mengencangkan sarungnya”, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam tafsirnya Fathul Bari, adalah Rasulullah memisahkan diri dari istrinya, tidak menggauli istri beliau selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah lebih fokus ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 

Hadits tersebut terkandung maksud bahwa cara Rasulullah menghidupkan malam lailatul qadar adalah dengan tidak menjadikan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tersebut sebagai momen bermals-malasan dan sarat tidur. Orang tidur sama dengan mati, maka lawan katanya adalah menghidupkan. Rasulullah menghidupkan malam dengan terjaga, beribadah, tidak mengisinya dengan tidur. 

Selain itu, Baginda Nabi juga memperhatikan masalah ibadah keluarganya. Beliau tidak ibadah sendirian sedangkan keluarga yang lain santai-santai, tidak. Rasulullah membangunkan keluarganya untuk beribadah malam, bersujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala

Hadirin hafidhakumullah

Amalan lain yang selalu dilakukan oleh Rasulullah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan adalah i'tikaf. Kisah ini diceritakan oleh Sayyidatina Aisyah radliyallahu anha, istri beliau: 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala kemudian istri-istri beliau i'tikaf setelah beliau kembali ke rahmatullah.” (HR Bukhari) 

Hadirin… 

Hadits di atas menunjukkan bahwa i'tikaf merupakan perkerjaan penting sehingga Rasulullah melaksanakan tidak hanya beberapa hari saja di sepuluh akhir bulan Ramadhan. Tidak juga hanya melaksanakan pada salah satu Ramadhan, namun setiap sepuluh akhir Ramadhan sampai beliau meninggalkankan dunia. Kita patut mencontoh sunnah Nabi yang seperti ini. Dalam kitab Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzab disebutkan: 

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَمَنْ أَرَادَ الِاقْتِدَاءَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اعتكاف الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ 

Kata Imam As-Syafi’i dan murid-muridnya “Barangsiapa yang ingin mengikuti Nabi dalam menjalankan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan 

فَيَنْبَغِي أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ منه 

Maka hendaknya ia masuk masjid pada tanggal 20 Ramadhan sore hari sebelum memasuki malamnya tanggal 21. 

Hal ini penting dilakukan supaya apa? 

لِكَيْلاَ يَفُوْتُهُ شَيْئٌ مِنْهُ 

Supaya tidak terlewatkan sedikitpun waktu untuk i’tikaf. 

Kemudian kapan selesai i’tikafnya? Kalau ingin secara total mengikuti Rasul seratus persen dalam hal ini, Imam Nawawi melanjutkan 

وَيَخْرُجُ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ 

Keluarnya setelah melewati maghrib malam hari raya Idul Fitri 

سَوَاءٌ تَمَّ الشَّهْرُ أَوْ نَقَصَ 

Baik hitungan bulannya penuh 30 hari atau pun hanya 29 

وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَمْكُثَ لَيْلَةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ صَلَاةَ الْعِيدِ أَوْ يَخْرُجَ مِنْهُ إلَى الْمُصَلَّى لِصَلَاةِ العيد اِنْ صَلَّوْهَا فِي الْمُصَلَّى

Namun yang paling utama adalah tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat id sekalian. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa I’tikaf hukumnya adalah sunnah, namun I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan hukumnya lebih sunnah atau sunnah muakkadah, sunnah yang sangat kuat. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, juz 6, halaman 375) 

Hadirin hafidzkumullah

Pada bulan Ramadhan juga disebutkan sebagai bulan Al-Quran. 

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ 

Artinya: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan menjadi penjelas dari petunjuk dan dari petunjuk-petunjuk itu dan menjadi pembeda (dari perkara yang haq dan bathil).” (QS Al-Baqarah: 185) 

Pada bulan Ramadhan Rasulullah juga memperlakukan dengan istimewa. Tidak sebagaimana bulan-bulan yang lain, pada bulan ini beliau bertadarus dengan malaikat Jibril. Rasulullah membaca satu ayat, malaikat Jibril membaca satu ayat secara bergantian sampai khatam dalam sebulan. Kemudian kita melestarikan tradisi bertadarus bersama dengan keluarga dan saudara kita berawal dari kisah ini. 

Imam Syafi’i apabila di luar Ramadhan selalu mengkhatamkan Al-Qur'an sehari sekali dalam shalatnya. Namun apabila pada bulan Ramadhan, dalam sehari semalam beliau menghatamkan Al-Qur'an dalam shalat sebanyak dua kali khataman. 

Oleh karena itu, mari pada bulan Al-Qur'an ini, kita perbanyak bacaan Al-Qur'an kita. Bagi yang belum bisa, jadilah Ramadhan ini sebagai tonggak awal kita dalam mempelajari Al-Qur'an sesuai tajwid kepada guru yang mumpuni dan di kemudian hari bisa sebagai bahan dasar untuk membaca Al-Qur'an. 

Pada akhirnya, dalam khutbah ini, saya mengajak kepada para hadirin, untuk bersungguh-sungguh memenuhi puasa Ramadhan dan beribadah malamnya dengan sebaik mungkin. Semoga kita dan keluarga kita senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjalankan ketaatan-ketaatan yang pada akhirnya kelak kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatiman, amin. 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣) ـ
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ ـ 


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزِّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang 

(Ngaji of the Day) Ketika Imam Shalat Id Lupa Baca Takbir Sunah


Ketika Imam Shalat Id Lupa Baca Takbir Sunah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, pada shalat id tahun lalu di masjid kami terjadi polemik di tengah jamaah karena imam shalat id lupa membaca takbir sunah. Kelupaan imam ini sempat membuat resah jamaah seisi masjid. Sebenarnya bagaimana kedudukan takbir sunah dalam shalat id berjamaah? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Siti Aisyah – Mataram

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pada rekaat pertama shalat id, kita dianjurkan untuk bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rekaat kedua, kita dianjurkan membeca lima kali takbir sebagaimana keterangan di Kifayatul Akhyar berikut ini:

ويكبر في الأولى سبع تكبيرات غير تكبيرات الإحرام، وفي الثانية خمسا سوى تكبيرات القيام من السجود؟ روي أنه عليه الصلاة والسلام كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبعا قبل القراءة، وفي الثانية خمسا قبل القراءة رواه الترمذي

Artinya, “Seseorang bertakbir sebanyak tujuh kali pada rekaat pertama selain takbiratul ihram, dan lima kali pada rekaat kedua selain takbir berdiri dari sujud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bertakbir sebanyak tujuh kali sebelum membaca surat pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha, dan lima takbir pada rekaat kedua sebelum membaca surat, (HR At-Tirmidzi),” (Lihat Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 126).

Tempat membaca takbir sunah itu adalah jeda antara doa iftitah dan ta‘awudz. Bila seorang imam sudah mulai membaca Surat Al-Fatihah, maka luputlah kesunahan baca takbir sunah tersebut.

ووقت السبع الفاصل (بين الاستفتاح والتعوذ) فإن فعلها بعد التعوذ حصل أصل السنة لبقاء وقتها بخلاف ما إذا شرع في الفاتحة عمدا أو سهوا أو جهلا بمحله أو شرع إمامه قبل أن يأتي بالتكبير أو يتمه فإنه يفوت ولا يأتي به للتلبس بفرض ولو تداركه بعد الفاتحة سن له إعادتها أو بعد الركوع بأن ارتفع ليأتي به بطلت صلاته إن علم وتعمد

Artinya, “Waktu membaca tujuh takbir adalah jeda antara doa (iftitah dan ta‘awudz [a‘ûdzu billâhi minas syaithânir rajîm] surat Al-Fatihah). Jika seseorang bertakbir setelah ta‘awudz, maka ia dapat keutamaan sunah karena waktunya masih ada. Lain soal bila seseorang sudah masuk ke surat Al-Fatihah sengaja, lupa, atau karena tidak tahu tempatnya, atau imam sudah mulai membaca surat sebelum makmum membaca takbir  atau merampungkannya, maka luputlah kesunahan baca takbir sunah. Seorang makmum tidak perlu membaca takbir ketika itu karena bercampur dengan yang wajib (surat Al-Fatihah). Kalau seseorang menyusul baca takbir setelah surat Al-Fatihah, maka ia dianjurkan untuk mengulang baca Surat Al-Fatihah. Bila baca takbir setelah ruku, yakni bangun i’tidal, maka shalat orang tersebut batal jika ia mengathui dan sengaja,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Mihajul Qawim, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa catatan tahun], halaman 87).

Kifayatul Akhyar menegaskan bahwa ketika seseorang lupa membaca takbir, tetapi sudah masuk ke dalam bacaan surat Al-Fatihah, maka luputlah kesunahan baca takbir sunah tersebut.

ولو نسي التكبيرات وشرع في القراءة فاتت

Artinya, “Sekiranya imam lupa membaca takbir sunah dan sudah masuk ke dalam bacaan surat Al-Fatihah, maka luput kesunahan baca takbir,” (Lihat Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 126).

Pada prinsipnya, makmum mengikuti apa saja yang dilakukan imam shalat Id. Jika imam tidak membaca takbir, makmum tidak perlu membacanya. Jika imam membaca sebagian saja, makmum cukup membaca takbir sebanyak takbir yang dibaca imam shalat Id.

وفي الثانية خمسا) ويأتي فيها نظير ما تقرر في الأولى والمأموم يوافق إمامه إن كبر ثلاثا أو ستا فلا يزيد عليه ولا ينقص عنه ندبا فيهما ولو ترك إمامه التبكيرات لم يأت بها

Artinya, “(Pada rekaat kedua, takbir sebanyak lima kali) seseorang bertakbir pada rekaat kedua sesuai dengan ketentuan pada rekaat pertama. Sedangkan makmum menyesuaikan dengan imamnya. Jika seorang imam hanya bertakbir tiga atau enam kali, maka makmum tidak boleh menambahkan atau mengurangi jumlah takbir dari jumlah takbir imamnya. Kalau imamnya tidak membaca takbir, maka makmum tidak perlu membacanya,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Mihajul Qawim, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa catatan tahun], halaman 87).

Kami menyarankan makmum tidak perlu resah apalagi menanbih imam yang lupa membaca takbir sunah tersebut. Pasalnya, ketiadaan takbir sunah itu tidak merusak shalat id berjamaah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kegaduhan perihal lupa baca takbir sunah.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU