اللهم تولّنا بسعتك ورحمتك وعظيم فضلك.
Yaa gusti Allah... Jaminlah segala urusan kami dengan keluasan-Mu, rahmat-Mu, dan karunia-Mu yang besar.
Al Faatihah...
اللهم تولّنا بسعتك ورحمتك وعظيم فضلك.
Yaa gusti Allah... Jaminlah segala urusan kami dengan keluasan-Mu, rahmat-Mu, dan karunia-Mu yang besar.
Al Faatihah...
Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) merupakan salah satu badan otonom (banom) yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Banom ini merupakan organisasi yang menjadi wadah bagi qari (pelantun), ahli, dan penghafal Al-Qur’an dari kalangan Nahdliyin.
Saat ini, JQHNU dipimpin oleh KH Ahsin Sakho Muhammad sebagai Rais Majelis Ilmi
dan KH Saifullah Ma’shum sebagai Ketua Umum. Keduanya terpilih saat Kongres
yang berlangsung pada tahun 2018 lalu di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah 3, Karawang,
Jawa Barat.
Sebagaimana dilansir situsweb resminya, JQHNU diresmikan secara langsung oleh
KH Abdul Wahid Hasyim pada 15 Januari 1951 H, tepat paada malam Maulid Nabi
Muhammad saw, 12 Rabiul Awal 1371 H di Sawah Besar, Jakarta, tepatnya di
kediaman H Asmuni.
Pembentukan JQHNU ini diawali dengan kemunculan organisasi para ahli dan
penghafal Qur’an di berbagai daerah, seperti Jam`iyyatul Huffazh di Kudus, Jawa
Tengah; Nahdlatul Qurra’ di Jombang, Jawa Timur; Wihdatul Qurra’ di Sulawesi
Selatan; Persatuan Pelajar Ilmu Qira’atul Qur’an di Banjarmasin; Madrasatul
Qur’an di Palembang; dan Jam`iyyatul Qurra’ di Medan, Sumatera Utara.
Melihat potensi besar dari para penghafal Al-Qur’an itu, KH Abdul Wahid Hasyim
yang saat itu menjadi menteri agama mengumpulkan mereka pada Nuzulul Qur’an,
tanggal 17 Ramadhan 1370 H atau bertepatan dengan 22 Juni 1950 M.
Pertemuan itu dilangsungkan di kediamannya, Jalan Jawa 12, Jakarta dalam acara buka puasa bersama. Di situlah, nama Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh dicetuskan sebagai sebuah organisasi yang menghimpun para ahli qiraat, qari, dan penghafal Al-Qur’an.
Pertemuan tersebut juga menyepakati penunjukan beberapa ulama untuk bertugas
menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, membentuk
komisariat-komisariat wilayah di tiap propinsi, kabupaten dan kota,
mempersiapkan kongres pertama dalam waktu yang dekat, menghubungi para ulama’
qurra’ dan huffazh, dan melengkapi susunan kepengurusan. Dalam hal ini, para
ulama menunjuk KH Abu Bakar Aceh sebagai pemimpinnya.
Dalam waktu kurang lebih satu tahun (1951-1952) kepemimpinan KH Abu Bakar Aceh,
JQH telah berhasil mengesahkan Pengurus Wilayah di setiap provinsi dan 50
Pengurus Cabang Jam`iyyatul Qurra wal Huffazh; menyelenggarakan seleksi
terhadap qari’ yang akan membaca al-Qur’an di RRI; dipercaya oleh Departemen
Agama cq Lajnah Pentashih Al-Qur’an, untuk menjadi anggota tim pentashih
Al-Qur’an; dan menyelenggarakan kursus kader qari’.
Berdasarkan Peraturan Dasar (PD) JQHNU, organisasi ini didirikan dengan tiga
tujuan, yakni (1) terpeliharanya kesucian dan keagungan Al-Quran, (2)
meningkatkan kualitas pendidikan, pengajaran dan dakwah Al-Quran, dan (3)
Terpeliharanya persatuan para qari-qariah, hafizh-hafizhah dan para ahli ulumul
Quran serta pecinta, penggerak dakwah Al-Qur’an dengan mazhab
Ahlussunnah wal Jamaah.
Berbeda dengan banom-banom lainnya, struktur kepengurusan JQHNU terdiri dari
penasehat, majelis ilmi, dewan organisasi, dan bidang-bidang. Penasihat adalah
orang yang mempunyai hubungan moril dengan JQHNU dan dianggap mampu untuk
memberikan nasihat.
Sementara Majelis Ilmi adalah penentu kebijakan umum dan pengawas terhadap pelaksanaan kerja Dewan Organisasi dalam menjalankan JQHNU, sekaligus sebagai majelis pakar dalam ulumul Quran. Dewan Organisasi adalah pelaksana kegiatan yang diprogramkan oleh JQHNU dengan kebijakan dan strategi yang baik dan benar.
Rais Majelis Ilmi dan Ketua Dewan Organisasi dipilih melalui kongres di tingkat
pusat; konferensi di tingkatan wilayah, cabang, dan anak cabang; serta
musyawarah di tingkat komisariat dan ranting.
[]
Sumber: NU Online
Ada dua kemungkinan hukum 'mencampur' dua transaksi: boleh dan tidak boleh. Ada dua kemungkinan hukum 'mencampur' dua transaksi: boleh dan tidak boleh.
Imam Malik rahimahullah menyatakan bahwa penggabungan akad jual beli dengan akad ijârah (sewa jasa) adalah boleh. Permasalahannya adalah lantas bagaimana bila ada kasus seperti yang tertera di judul ini?
Sekilas jika kita cermati, jual beli semacam serasa tidak lazim terjadi. Tapi
sesuatu yang tidak lazim belum tentu tidak terjadi, bukan? Ada saja kemungkinan
terjadinya. Dan sifat kemungkinan ini bisa saja merupakan hal yang lumrah
mengingat seorang yang ingin membeli barang jadi dan sudah pernah dipakai,
biasanya akan bersikap ekstra hati-hati. Jangan-jangan rumahnya kelihatan bagus
dari luar, tapi nggak tahunya keropos dalamnya. Untuk itu ia menyetujui menyewa
dulu sebelum memutuskan membeli.
Tapi bukankah cacatnya barang yang akan dibeli bisa diketahui dengan jalan
ru’yah (melihat)? Inilah yang mengundang tanda tanya bagi kalangan yang ingin
berhemat. "Jika hendak dijual, ya jual sajalah! Ngapain harus pakai acara
disewakan segala?" Demikian mungkin dalam benak pembeli. Atau sebaliknya
dari penjual mungkin dalam hati mengatakan: "Kalau niat membeli ya beli
saja! Ngapain harus repot-repot pakai acara sewa segala?"
Kenyataan-kenyataan seperti ini merupakan problem muamalah dan harus
diselesaikan menurut pertimbangan syariah. Setidaknya ada beberapa pandangan
dari fuqaha dalam hal ini. Pertama, menurut ulama kalangan mazhab Hanbali,
menyatakan dengan tegas bahwa akad semacam adalah keduanya batal, baik akad
jual belinya maupun akad sewanya. Al-Bahûty dalam Kasyâfu al-Qinâ' menjelaskan:
فإن
قال بعتك داري هذه وأجرتكها شهرا بألف فالكل باطل
Artinya: "Jika seseorang mengatakan: Aku jual rumahku ini padamu dan
sekaligus aku sewakan sebulan padamu dengan harga 1000, maka tiap-tiap akad
yang dipergunakan di sini adalah batal." (Al-Bahûti, Kasyâfu al-Qinâ',
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 3/179)
Alasan yang dipergunakan oleh al-Bahuty dalam hal ini adalah, dalam jual beli
sudah terjadi perpindahan kepemilikan. Pemilik tidak mungkin menyewakan manfaat
harta yang dimilikinya kepada dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka itu
artinya pemilik belum memiliki kepemilikan sepenuhnya terhadap barang. Oleh
karena itulah maka kedua akad jual beli dan sewa di atas dipandang sebagai
batal.
Bagaimanapun juga setiap akad jual beli selalu memiliki konsekuensi hukum
terhadap status kepemilikan barang. Demikian juga dengan sewa. Jika keduanya
terkumpul dalam satu waktu dan di satu tempat, maka akad jual beli dan ijarah
ini bersifat saling menafikan sehingga layak dipandang batal.
Lain halnya bila ada illat lain yang melatarbelakangi. Misalnya, sebagaimana
penjelasan dari ulama dari kelompok kedua berikut ini:
أفاد
أنه لابد أن يكونا في عينين بعوض واحد فإن كانا في عين واحدة بطل جزما
Artinya: "Dapat diambil faedah bahwasannya seharusnya kedua akad ini
berlaku pada dua objek akad yang berbeda dengan nilai tukar yang digabungkan.
Jika keduanya berlaku hanya pada satu objek saja, maka tidak diragukan lagi
akan batalnya akad." (Syihabuddin al-Qalyûbi, Hasyiyah al-Qalyûbi, Beirut:
Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/188).
Maksud dari al-Qalyûby - salah satu ulama kalangan Syafi'iyah - di sini adalah
hendaknya ada dua rumah sebagai objek akad. Rumah yang satu disewakan,
sementara rumah yang lain dijual. Jika akad jual beli dan ijarah itu hanya
berlaku untuk satu objek barang saja, maka jâzim (tidak diragukan lagi) bahwa
keduanya batal secara syariah.
Pendapat ulama berikutnya - yang ketiga - agak sedikit mengambil jalan tengah.
Objek akad boleh dikenakan terhadap satu barang, akan tetapi ada catatan
pengecualian. Pengecualian itu meliputi:
وللصحة
وجه بأن تكون مستثناة من البيع
Artinya : "Solusi sahnya akad hanya satu, yaitu terdapatnya pengecualian
sewa menyewa (ijârah) dari jual beli." (Al-Bahûti, Kasyâfu al-Qinâ',
Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/98).
Maksud dari pendapat al-Bahûty di sini adalah jika manfaatnya rumah itu memang
disewakan selama satu bulan dipisah dari akad jual beli, maka adalah hak bagi
penjual untuk mengambil manfaat berupa harga sewa dari orang yang menyewa
rumahnya. Hal ini berangkat dari alasan bahwasanya rumah tersebut belum
mengalami perpindahan kepemilikan. Lain halnya bila didahului oleh jual beli, maka
proses kepindahan kepemilikan itu sudah pasti terjadinya.
Pangkal pokoknya kemudian adalah bagaimana cara agar kedua akad tersebut bisa
berlangsung terpisah sehingga memenuhi kaidah wajibnya tafrîq al-shafqah
(memisah objek transaksi)? Di sini al-Bahûti menyerankan agar kedua akad
tersebut tidak dilakukan di tempat dan waktu yang sama. Pemisahan waktu dan
tempat ini memungkinkan hilangnya illat mutanâfi (saling menegasikan) dari
kedua akad yang terjadi dalam konsekuensi logis hukum sehingga yang menjadikan
hukum penggabungan antara kedua akad itu menjadi diperbolehkan. Sampai di sini
maka batasan Al-'Umrâny menyatakan batasan tafriq al-shafqah ini sebagai
berikut:
(١)
اجتماع عقدين مختلفي الحكم في عقد واحد على محل واحد بعوض واحد في وقت واحد:
لايجوز (٢) اجتماع عقدين مختلفي الحكم في عقد واحد على محل واحد بعوض واحد في
وقتين: جائز
Artinya: "(1) Berkumpulnya dua akad yang berbeda hukumnya dalam satu akad
dan tempat transaksi dan dengan harga yang satu serta waktu yang satu, maka
hukum akad ini adalah tidak boleh dilaksanakan. (2) Berkumpulnya dua akad yang
berbeda hukumnya dalam satu akad dan tempat transaksi dan dengan harga yang
satu tapi waktunya berbeda (dua waktu), maka hukum akad ini adalah boleh."
(Al-Imrâny, al-'Uqûdu al-Mâliyah al-Murakkabah, Riyadl: Dâr al-Kunûz Isybiliya
li al-Nasyr wa al-Tawzî', 2010: 134).
Walhasil, berdasarkan tinjauan di atas, lantas bagaimana dengan seseorang
bertransaksi sebagaimana contoh di atas, yaitu: "Aku jual rumah ini
padamu, tapi sebelumnya sewa dulu sebulan!" Maka jawabnya ada dua
kemungkinan. Hukum bolehnya akad ini dilaksanakan, adalah manakala akad sewa
dan akad jual beli ini dilakukan pada tempat atau waktu yang terpisah. Adapun
jika waktu dan tempatnya dilakukan pada lokasi yang sama, maka sesuai dengan
batasan yang disampaikan oleh al-'Umrâny di atas, maka hukumnya menjadi tidak
diperbolehkan. Wallâhu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammmad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center
PWNU Jawa Timur