Senin, 31 Oktober 2022

(Ngaji od the Day) ‘Sebelum Kujual Rumah Ini padamu, Sewa Dulu Sebulan!’

Ada dua kemungkinan hukum 'mencampur' dua transaksi: boleh dan tidak boleh. Ada dua kemungkinan hukum 'mencampur' dua transaksi: boleh dan tidak boleh.

Imam Malik rahimahullah menyatakan bahwa penggabungan akad jual beli dengan akad ijârah (sewa jasa) adalah boleh. Permasalahannya adalah lantas bagaimana bila ada kasus seperti yang tertera di judul ini?


Sekilas jika kita cermati, jual beli semacam serasa tidak lazim terjadi. Tapi sesuatu yang tidak lazim belum tentu tidak terjadi, bukan? Ada saja kemungkinan terjadinya. Dan sifat kemungkinan ini bisa saja merupakan hal yang lumrah mengingat seorang yang ingin membeli barang jadi dan sudah pernah dipakai, biasanya akan bersikap ekstra hati-hati. Jangan-jangan rumahnya kelihatan bagus dari luar, tapi nggak tahunya keropos dalamnya. Untuk itu ia menyetujui menyewa dulu sebelum memutuskan membeli. 


Tapi bukankah cacatnya barang yang akan dibeli bisa diketahui dengan jalan ru’yah (melihat)? Inilah yang mengundang tanda tanya bagi kalangan yang ingin berhemat. "Jika hendak dijual, ya jual sajalah! Ngapain harus pakai acara disewakan segala?" Demikian mungkin dalam benak pembeli. Atau sebaliknya dari penjual mungkin dalam hati mengatakan: "Kalau niat membeli ya beli saja! Ngapain harus repot-repot pakai acara sewa segala?"


Kenyataan-kenyataan seperti ini merupakan problem muamalah dan harus diselesaikan menurut pertimbangan syariah. Setidaknya ada beberapa pandangan dari fuqaha dalam hal ini. Pertama, menurut ulama kalangan mazhab Hanbali, menyatakan dengan tegas bahwa akad semacam adalah keduanya batal, baik akad jual belinya maupun akad sewanya. Al-Bahûty dalam Kasyâfu al-Qinâ' menjelaskan:


فإن قال بعتك داري هذه وأجرتكها شهرا بألف فالكل باطل


Artinya: "Jika seseorang mengatakan: Aku jual rumahku ini padamu dan sekaligus aku sewakan sebulan padamu dengan harga 1000, maka tiap-tiap akad yang dipergunakan di sini adalah batal." (Al-Bahûti, Kasyâfu al-Qinâ', Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 3/179)


Alasan yang dipergunakan oleh al-Bahuty dalam hal ini adalah, dalam jual beli sudah terjadi perpindahan kepemilikan. Pemilik tidak mungkin menyewakan manfaat harta yang dimilikinya kepada dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka itu artinya pemilik belum memiliki kepemilikan sepenuhnya terhadap barang. Oleh karena itulah maka kedua akad jual beli dan sewa di atas dipandang sebagai batal. 


Bagaimanapun juga setiap akad jual beli selalu memiliki konsekuensi hukum terhadap status kepemilikan barang. Demikian juga dengan sewa. Jika keduanya terkumpul dalam satu waktu dan di satu tempat, maka akad jual beli dan ijarah ini bersifat saling menafikan sehingga layak dipandang batal.


Lain halnya bila ada illat lain yang melatarbelakangi. Misalnya, sebagaimana penjelasan dari ulama dari kelompok kedua berikut ini:


أفاد أنه لابد أن يكونا في عينين بعوض واحد فإن كانا في عين واحدة بطل جزما


Artinya: "Dapat diambil faedah bahwasannya seharusnya kedua akad ini berlaku pada dua objek akad yang berbeda dengan nilai tukar yang digabungkan. Jika keduanya berlaku hanya pada satu objek saja, maka tidak diragukan lagi akan batalnya akad." (Syihabuddin al-Qalyûbi, Hasyiyah al-Qalyûbi, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/188). 


Maksud dari al-Qalyûby - salah satu ulama kalangan Syafi'iyah - di sini adalah hendaknya ada dua rumah sebagai objek akad. Rumah yang satu disewakan, sementara rumah yang lain dijual. Jika akad jual beli dan ijarah itu hanya berlaku untuk satu objek barang saja, maka jâzim (tidak diragukan lagi) bahwa keduanya batal secara syariah. 


Pendapat ulama berikutnya - yang ketiga - agak sedikit mengambil jalan tengah. Objek akad boleh dikenakan terhadap satu barang, akan tetapi ada catatan pengecualian. Pengecualian itu meliputi:  


وللصحة وجه بأن تكون مستثناة من البيع


Artinya : "Solusi sahnya akad hanya satu, yaitu terdapatnya pengecualian sewa menyewa (ijârah) dari jual beli." (Al-Bahûti, Kasyâfu al-Qinâ', Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/98).


Maksud dari pendapat al-Bahûty di sini adalah jika manfaatnya rumah itu memang disewakan selama satu bulan dipisah dari akad jual beli, maka adalah hak bagi penjual untuk mengambil manfaat berupa harga sewa dari orang yang menyewa rumahnya. Hal ini berangkat dari alasan bahwasanya rumah tersebut belum mengalami perpindahan kepemilikan. Lain halnya bila didahului oleh jual beli, maka proses kepindahan kepemilikan itu sudah pasti terjadinya. 


Pangkal pokoknya kemudian adalah bagaimana cara agar kedua akad tersebut bisa berlangsung terpisah sehingga memenuhi kaidah wajibnya tafrîq al-shafqah (memisah objek transaksi)? Di sini al-Bahûti menyerankan agar kedua akad tersebut tidak dilakukan di tempat dan waktu yang sama. Pemisahan waktu dan tempat ini memungkinkan hilangnya illat mutanâfi (saling menegasikan) dari kedua akad yang terjadi dalam konsekuensi logis hukum sehingga yang menjadikan hukum penggabungan antara kedua akad itu menjadi diperbolehkan. Sampai di sini maka batasan Al-'Umrâny menyatakan batasan tafriq al-shafqah ini sebagai berikut:


(١) اجتماع عقدين مختلفي الحكم في عقد واحد على محل واحد بعوض واحد في وقت واحد: لايجوز (٢) اجتماع عقدين مختلفي الحكم في عقد واحد على محل واحد بعوض واحد في وقتين: جائز


Artinya: "(1) Berkumpulnya dua akad yang berbeda hukumnya dalam satu akad dan tempat transaksi dan dengan harga yang satu serta waktu yang satu, maka hukum akad ini adalah tidak boleh dilaksanakan. (2) Berkumpulnya dua akad yang berbeda hukumnya dalam satu akad dan tempat transaksi dan dengan harga yang satu tapi waktunya berbeda (dua waktu), maka hukum akad ini adalah boleh." (Al-Imrâny, al-'Uqûdu al-Mâliyah al-Murakkabah, Riyadl: Dâr al-Kunûz Isybiliya li al-Nasyr wa al-Tawzî', 2010: 134). 


Walhasil, berdasarkan tinjauan di atas, lantas bagaimana dengan seseorang bertransaksi sebagaimana contoh di atas, yaitu: "Aku jual rumah ini padamu, tapi sebelumnya sewa dulu sebulan!" Maka jawabnya ada dua kemungkinan. Hukum bolehnya akad ini dilaksanakan, adalah manakala akad sewa dan akad jual beli ini dilakukan pada tempat atau waktu yang terpisah. Adapun jika waktu dan tempatnya dilakukan pada lokasi yang sama, maka sesuai dengan batasan yang disampaikan oleh al-'Umrâny di atas, maka hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Wallâhu a'lam bish shawâb.
[]


Ustadz Muhammmad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar