Kedudukan Orang Munafik
Nifaq atau kemunafikan merupakan satu dari empat jenis kekufuran sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Baghowi dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 6. Selain kufur nifaq, ia juga menyebutkan tiga jenis kufur lainnya, yaitu kufur ingkar, kufur juhud, dan kufur inad.
Kufur nifaq adalah kekafiran orang yang mengikrarkan Islam secara lisan, tetapi
batinnya tidak mengakuinya. Mereka yang masuk dalam kategori kufur ini adalah
sebagian Aus, Khazraj, dan sebagian besar Yahudi Madinah seperti keterangan
Al-Baqarah ayat 8 dan seterusnya.
Karena masuk ke dalam kategori kufur atau kafir, orang munafik terancam kekal
dalam siksa di akhirat sabagai konsekuensi kekufuran. “Orang yang mati dalam
keadaan salah satu dari empat jenis kafir ini tidak akan diampuni.”
(Al-Baghowi).
Awal Mula Orang Munafik
Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim bercerita bahwa belasan ayat di awal Surat Al-Baqarah turun mengenai sifat orang munafik pada surat-surat Al-Qur’an periode Madinah. Sedangkan pada periode Makkah, tidak ada orang munafik. Justru sebaliknya, sebagian orang beriman menyatakan kekufuran karena terpaksa. Meski demikian, mereka beriman di dalam batin.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, di sana terdapat kelompok Ansor yang
terdiri atas suku Aus dan Khazraj yang di masa jahiliyahnya juga menyembah
berhala sebagaimana musyrikin Makkah; dan Yahudi Ahli Kitab yang mengikuti
jalan salaf pemuka agama mereka yang terdiri atas tiga qabilah, yaitu Bani
Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Dari sinilah sejarah kemunafikan
bermula.
Ketika Rasulullah tiba di Madinah, banyak dari suku Aus dan Khazraj memeluk
Islam. Sementara sedikit dari kalangan Yahudi memeluk Islam, yaitu Abdullah bin
Salam. Ketika itu belum ada kemunafikan karena umat Islam belum memiliki kuasa
yang perlu ditakuti. Rasulullah SAW bahkan berdamai dengan Yahudi dan banyak
kabilah yang berisi perkampungan orang Arab di sekitar Madinah.
Ketika perang Badar besar terjadi yang menghadapkan umat Islam Madinah dan Musyrikin Makkah, Allah berpihak kepada umat Islam. Kemenangan berada di tangan orang beriman Madinah.
Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, “Situasi ini sudah mengarah (pada
kemenangan Muhammad).” Bin Salul adalah tokoh masyarakat Madinah yang disegani
asal suku Aus. Ia pemimpin dua suku di era jahiliyah dan hampir diangkat
sebagai raja oleh masyarakat Madinah. Tetapi situasi berubah ketika Nabi
Muhammad dan sahabatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah. Penduduk setempat
memeluk Islam dan mengabaikan Abdullah bin Ubay sehingga tinggallah ia dan
keluarganya sendiri.
Ketika perang Badar itulah, Abdullah bin Ubay menyatakan keislaman secara
munafik yang kemudian diikuti oleh sejumlah kabilah Arab dan sebagian besar
kelompok Yahudi dengan keislaman cara Abdullah bin Ubay. Dari sini awal terjadi
kemunafikan oleh bangsa Arab di tengah masyarakat Madinah dan sekitarnya.
Adapun kelompok muhajirin (imigran asal Kota Makkah) tidak ada seorang pun yang
mengikuti jalan kemunafikan seperti kelompok Abdullah bin Ubay bin Salul karena
tiada satu pun dari mereka yang berhijrah karena terpaksa. Mereka berhijrah,
meninggalkan harta, anak, dan tanah mereka karena mengharap ridha Allah.
Allah mengingatkan sifat-sifat orang munafik agar orang beriman tidak terpedaya
oleh sikap lahiriyah dan pernyataan keimanan mereka sehingga orang beriman
tidak terjatuh dalam mafsadat karena tidak waspada.
Orang munafik hakikatnya adalah orang kafir. Kekufuran jenis nifaq ini patut
diwaspadai betul di mana orang-orang jahat itu dianggap sebagai orang baik.
Mereka melafalkan kalimat keimanan seolah tidak memiliki kepentingan lain di
balik itu. Padahal mereka melafalkan kalimat tersebut hanya saat menemui Nabi
Muhammad SAW sebagaimana Surat Al-Munafiqun ayat 1. Oleh karena itu, mereka
memperkuat kesaksian mereka dengan partikel “lam” sesuai kaidah penguat kalimat
informatif pada “nasyhadu innaka ‘la’rasulullāh.”
Orang munafik adalah kelompok yang terombang-ambing dan memiliki sikap mendua
atas konflik kubu orang beriman Madinah dan kubu orang kafir Makkah karena
cinta mereka pada dunia dan kekufuran terhadap akhirat. Mereka menanti dalam
kekhawatiran atas nasib mereka mana kubu yang akhirnya menang dalam konflik
tersebut. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim).
Diskusi para ulama berkembang perihal orang munafik. Mereka membahas kedudukan kelompok zindik dalam kaitannya dengan sifat-sifat orang munafik dalam Al-Qur’an. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar