Negara,
Pasar, dan Agama
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Dalam
masyarakat modern, jika disebut negara, di sana terdapat tiga pilar utama yang
masing-masing berdiri sejajar dan saling memperkuat. Pilar itu: pemerintah,
korporasi, dan masyarakat sipil.
Namun,
dalam praktiknya, ketiganya tak selalu berdiri sejajar dan sama kuat. Dalam
konteks Indonesia, di era reformasi ini yang terjadi peran korporasi cenderung
mengooptasi pemerintah melalui pintu parpol, sementara masyarakat sipil
posisinya lemah, baik di hadapan negara maupun kekuatan korporasi.
Dari sisi
historis dan konstitusional, mestinya berbagai korporasi pelat merah yang
mendominasi perekonomian. Ketika Indonesia merdeka, berbagai lembaga keuangan
dan korporasi warisan Belanda diambil alih negara. Lalu diperkuat lagi oleh UUD
1945 bahwa semua kekayaan alam yang menjadi hajat rakyat banyak dikuasai
negara. Jadi, jika kini korporasi swasta lebih besar, bahkan berkembang jadi
konglomerasi, ada kebijakan pemerintah yang salah dan mesti ditinjau ulang.
Dalam
sejarahnya, agama dan pasar lebih dulu muncul sebelum kehadiran negara. Agama
memiliki daya tarik untuk mempertemukan dan menyatukan orang sekalipun mereka
datang dari latar belakang etnis, bangsa, dan strata sosial berbeda.
Khususnya
Kristen dan Islam, keduanya merupakan agama misionaris yang memiliki kekuatan
pemersatu yang solid dalam menciptakan kohesi sosial pemeluknya berdasarkan
kesamaan keyakinan iman. Kedua agama itu jangkauannya menerobos batas bangsa,
negara, dan profesi.
Meski
agama hadir dan berkembang mendahului negara, dalam perjalanan sejarahnya
negara tampil berkuasa dan menyaingi kekuatan agama dalam mengatur dan
mengendalikan masyarakat. Dalam kehidupan bernegara, konstitusi diposisikan
sebagai pedoman tertinggi. Sementara beragama, rujukan tertingginya adalah
kitab suci.
Sebelum
berkembang menjadi korporasi dan konglomerasi yang mengendalikan proses
produksi tingkat nasional, pada mulanya kegiatan ekonomi berpusat di
pasar-pasar tradisional dalam skala aset yang kecil. Bahkan dulu berlaku model
barter, barang ditukar barang, sebelum ditemukan alat tukar berupa mata uang.
Sekarang
mata uang logam dan kertas kian menyusut, transaksi bisnis menggunakan uang
elektronik. Bagaikan kredo agama, uang mampu membangun komunitas berdasarkan
kepercayaan (trust),
padahal di antara mereka tak saling kenal dan tak pernah jumpa.
Inklusivisme pasar dan agama
Pada awal
kemunculannya, pasar dan agama bersifat inklusif. Terbuka untuk siapa saja yang
mau datang dan bergabung. Keduanya mempertemukan orang-orang asing yang tak
saling kenal, datang dengan kepentingan dan tujuan sama, memenuhi hajat hidup
sehari-hari, terutama sandang dan pangan. Ke mana pun kita pergi akan menjumpai
pasar yang dijaga masyarakat karena pasar telah memberikan jasa riil bagi
kehidupan bersama.
Inklusivisme
pasar ini pun sesungguhnya dimiliki oleh agama di awal kemunculannya. Orang
beda suku bisa bertemu di forum dan festival keagamaan untuk bersama-sama
berdoa pada Tuhan minta kemakmuran dan keselamatan. Mereka bergotong royong dan
rela berkurban karena dorongan iman.
Namun,
inklusivisme pasar dan agama di tingkat global dan nasional belakangan ini
berkembang menjadi eksklusif. Terjadi persaingan dan perebutan sumber ekonomi
yang melibatkan sentimen dan identitas negara, etnis, dan agama.
Muncul
perang dagang antara AS dan China. AS bersikap proteksionis, sangat melindungi
kepentingan negaranya, yang kemudian dilawan balik oleh China. Peran negara pun
mendatangkan pengaruh sangat signifikan terhadap eksistensi pasar dan agama.
Negara
memiliki legalitas dan otoritas dalam mengendalikan sumber daya alam dan aset
produksi. Di samping berkewajiban melindungi warganya, negara juga memiliki
kewenangan menghukum warga yang dianggap melawan.
Negara
juga berhak memungut pajak dan gaji sebagai kompensasi dari kewajibannya untuk
mengendalikan dan memajukan kesejahteraan warganya meski hak dan kewajibannya
tak selalu seimbang. Jadi, sekalipun agama punya klaim ontologis dan teologis
datang dari Tuhan, sedangkan negara adalah hasil konsensus politik, institusi
negara lebih percaya pada pergaulan global ketimbang agama. Berbagai perjanjian
bisnis dilakukan atas nama negara, bukan agama.
Mengingat
agama dan negara sama-sama hidup dan diperlukan keberadaannya, sering kali
terjadi konflik antara agama dan negara. Dengan menganut sistem sekularisme
politik, di Barat agama jadi urusan privat. Negara tak boleh mencampuri urusan
agama yang bersifat pribadi.
Tetapi,
di kalangan masyarakat Islam, hubungan agama dan negara masih belum selesai,
atau jangan-jangan tak akan pernah selesai. Orang beragama masih sering
memperhadapkan antara konstitusi dan kitab suci sebagai rujukan hidupnya.
Sebelum
Indonesia merdeka, kekuatan sosial digenggam oleh tokoh-tokoh agama, tokoh
adat, dan pemimpin organisasi massa. Begitu merdeka, terjadi perubahan
paradigma sosial-politik, negara dengan aparat pemerintahannya yang lebih
berkuasa mengatur rakyat, sekalipun agama memperoleh tempat khusus di struktur
pemerintahan dan ideologi negara.
Di
Indonesia, negara tak menghalangi umat beragama mengamalkan ritual dan ajaran
agamanya. Tetapi, kekuasaan tertinggi tetap di institusi negara. Kenyataan
politik ini yang belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat. Sekelompok
radikalis memandang negara itu thaghut
(berhala) yang mesti dilawan karena tak berpegang pada kitab suci sebagai
pedoman dasar.
Dalam
sistem demokrasi, posisi negara dan pemerintah semakin kokoh karena memperoleh
legitimasi rakyat melalui sistem pemilu yang memilih wakil rakyat dan presiden,
sekalipun proses dan prosedurnya tak selalu sehat karena kecurangan dan politik
uang.
Di era
reformasi ini, sangat menarik dan sekaligus memprihatinkan mengamati hubungan
antara negara, agama, parpol, dan korporasi. Berbagai kasus menunjukkan, agama
dan tokoh-tokohnya terjebak jadi instrumen dalam perebutan kekuasaan politik.
Insentif
yang ditawarkan negara lebih menarik dan langsung bisa dinikmati ketimbang
insentif yang ditawarkan agama berupa surga di akhirat kelak. Sanksi dan
ancaman Tuhan dijanjikan baru terlaksana setelah kematian, maka orang lebih
takut ancaman negara ketimbang ancaman agama. Sanksi agama kalah efektif
mencegah korupsi dibanding ancaman negara.
Mengingat
di Indonesia peran agama sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan, ditambah
jumlah umat Islam mayoritas tetapi secara ekonomi merasa kalah bersaing, sering
muncul ketegangan antara agama dan negara. Pemerintah sebagai pengendali agama
sering dituduh lupa diri pada jasa agama, bahkan lebih memberi ruang besar pada
kekuatan korporasi yang memperlemah ekonomi umat Islam.
Kalau di
sana-sini muncul radikalisme dengan wajah agama, akar masalah pokoknya bukan di
ajaran agamanya, melainkan ketidakadilan ekonomi dan akses politik yang membuat
mereka marah. Agama memberikan pembenaran dan semangat jihad melawan kezaliman
menurut pandangan dan keyakinan mereka.
Seabad kemerdekaan
Hanya
tinggal satu generasi lagi Indonesia merayakan seabad kemerdekaan pada 2045.
Jika sistem dan budaya politik serta ekonomi yang berlangsung hari ini tak
diubah, saya pesimistis seabad kemerdekaan nanti kita akan berhasil mewujudkan
cita-cita para pendiri bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang cerdas, adil,
dan sejahtera.
Kita
telah mengalami tiga orde: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Dari
ketiga orde itu, selalu saja para elite pemerintahan dan parpol mengulangi
kesalahan sama dan sangat fatal, yaitu masuk jebakan korupsi.
Masuk
jajaran pemerintah dan parpol bukan didorong keinginan kuat mengabdi membangun
bangsa dan menyejahterakan rakyat, tetapi meraih kesenangan dan kepuasan pribadi,
keluarga, dan kelompok. Tanpa belajar ilmu politik sampai tingkat doktor, siapa
pun bisa melihat dan merasakan telah terjadi proses pembusukan budaya dan
sistem politik di negeri ini.
Tiga
pilar: negara, korporasi, dan masyarakat sipil tak berjalan seimbang dan
produktif sehingga perjalanan bangsa ini timpang, goyah, oleng. Negara
mengooptasi kekuatan sipil, sementara kekuatan modal selalu berusaha
mengooptasi negara.
Parpol
yang mestinya memihak rakyat, posisi dan perannya mengambang (floating). Ke bawah tak
berakar kuat, ke atas sibuk berebut jabatan dan kekuasaan, tetapi tak dikukung
SDM andal. Lebih menyedihkan lagi, parpol tidak memiliki sumber dana yang kuat
sehingga akhirnya parpol terjebak pada cengkeraman oligarki yang memiliki modal
besar.
Kekuatan
pemersatu sosial lain adalah pasar yang sudah tumbuh sebelum negara. Peran
sentral pasar adalah memberikan ruang dan fasilitas bagi anggota masyarakat
untuk penuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan cara saling tukar-menukar
kebutuhan pokok, utamanya pangan.
Kolaborasi
negara dan pasar sangat erat. Pasar dalam pengertian luas merupakan pusat uang,
sementara negara memberikan legitimasi dan regulasi perputaran serta
penyimpanan uang sebagai alat tukar, yaitu institusi keuangan, khususnya
perbankan.
Hubungan
negara dan uang kadang terjadi pembusukan akibat perselingkuhan tak sehat. Para
pelaku pasar butuh tangan negara untuk melancarkan dan menggelembungkan
bisnisnya, sementara para politisi pemegang kekuasaan menjual atau memanfaatkan
posisinya untuk mengejar dan menumpuk kekayaan.
Dengan
kata lain, hubungan penguasa dan pengusaha telah bermetamorfosis menjadi sebuah
bisnis baru. Telah menyimpang dari awal mula pasar terlahir. Situasi kian kacau
dan membusuk ketika parpol yang sering mengatasnamakan suara rakyat ikut
bermain lalu berubah tak ubahnya sebuah lembaga bisnis kekuasaan dan uang.
Lalu di
mana agama? Mulanya agama berada di hati orang yang beriman. Agama menyertai
ketika mereka beraktivitas baik dalam ranah pasar maupun ranah negara.
Kontribusi terbesar agama adalah memberikan bisikan dan bimbingan moral agar
seseorang memilih jalan kebaikan dan menghindari jalan keburukan yang akan
merugikan diri dan orang lain.
Agama
menawarkan jalan kebaikan dan keselamatan eskatologis, yaitu kebahagiaan hidup setelah
kematian, yang dijemput dengan perbanyak amal kebajikan selama hidupnya. Agama
menekankan pentingnya akhlak, budi pekerti, moralitas, dan integritas yang
muncul dari lubuk hati. Bukan dipaksakan dari luar. Pada urutannya, agama
menjelma sebagai institusi, organisasi, dan identitas sosial yang diabadikan di
berbagai dokumen pribadi, misalnya KTP.
Sekarang
ini, dalam ranah sosial-politik hubungan antara negara, agama, dan pasar, yang
mengemuka dan paling berpengaruh adalah kekuatan uang yang disangga oleh bisnis
dan kekuasaan politik, lalu agama dilibatkan sebagai kosmetik dan topeng untuk
menutupi wajah politisi dan pelaku bisnis yang kotor. Mereka tak ubahnya ikan
lele, lebih senang hidup di air keruh yang tak tembus sinar matahari.
Ke depan,
mestinya agama jadi kekuatan sipil dan pilar peradaban yang kokoh dan mandiri
sehingga berwibawa di hadapan kekuatan korporasi, partai politik dan negara. []
KOMPAS,
18 September 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia.