Rabu, 30 September 2020

(Do'a of the Day) 13 Safar 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma rabbas samaawaati wa rabbal ardhi wa rabbal 'arsyil adliim. Rabbanaa wa rabba kulli syai'in, faalikal habbi wan nawaa, munzilat tauraati wal injiili wal qur'aan. A'uudzubika min syarri kulli dzii syarrin anta aakhidzun bi naashiyatihaa. Antal awwalu fa laisa qablaka syai'un wa antal aakhiru fa laisa ba'daka syai'un, wa antadl dlaahiru fa laisa fauqaka syai'un, wa antal baathinu fa laisa duunaka syai'. Iqdhi 'annad daina wa aghninaa minal faqri.

 

Ya Allah, Tuhan Pemelihara kerajaan langit. Tuhan Pemelihara bumi dan Tuhan Pemelihara arsy yang agung. Tuhan kami, Tuhan Pemelihara segala sesuatu. Tuhan yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Tuhan yang menurunkan Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Aku berlindung kepada-Mu dari tiap-tiap kejahatan orang yang jahat. Engkau juga yang memegang ubun-ubunnya. Engkau Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu yang mendahului-Mu. Engkau Yang Maha Akhir, maka tidak ada sesuatu yang kekal di belakang-Mu. Engkau Yang Maha Zhahir, maka tiada sesuatu yang nampak di atas-Mu. Dan Engkau Yang Maha Batin, maka tiada sesuatu yang lebih lembut dan halus daripada-Mu. Maka tunaikanlah hutang dan kewajiban kami dan kayakan kami dari kefakiran jiwa.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 60.

(Hikmah of the Day) Sayyidah Aisyah binti Ja’far As-Shadiq, Sufi Perempuan Penagih Janji Allah

Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam hagiografinya At-Thabaqatul Kubra: Lawaqihul Anwar fi Thabaqatil Akhyar menyebutkan seorang sufi perempuan bernama Sayyidah Aisyah binti Ja’far As-Shadiq. As-Sya’rani tidak menyebutkan panjang lebar riwayat Sayyidah Aisyah.


As-Sya’rani tidak mencatat tahun lahirnya. Ia hanya mencatat tahun wafat Sayyidah Aisyah yang wafat pada tahun 145 H. (As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 66). Tetapi kita dapat pastikan Sayyidah Aisyah hidup sebelum itu. Kita dapat memperkirakan kehidupannya dari masa kehidupan ayahnya, Sayyid Ja'far As-Shadiq.


Sayyidah Aisyah memiliki beberapa saudara kandung. Di antaranya adalah Musa Al-Kazhim, Yahya Al-Mu’taman, Ali Al-Uraidhi, dan lain-lain.


Sayyidah Aisyah adalah putri seorang ulama besar yang menguasai ilmu agama dan peletak dasar Mazhab Ja‘fari, yaitu Sayyid Ja’far As-Shadiq atau Abu Abdillah (702 M/83 H-765 M/148 H) bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.

 

Sayyidah Aisyah tumbuh dalam didikan beragama yang kuat dari ayahnya. Ia menjadi perempuan yang shalehah. Akhlaknya yang mulia disaksikan banyak orang. Ia dikenal sebagai perempuan yang pemurah dan penyayang terhadap orang-orang miskin dan anak-anak yatim. 


As-Sya’rani mengutip sebuah perkataan Sayyidah Aisyah yang cukup jujur dan berani. Perkataan ini berasal dari keyakinan Sayyidah Aisyah atas janji Allah.

 

“Demi keagungan dan kebesaran-Mu ya Allah, jika Kau memasukkanku ke dalam neraka, niscaya kugenggam tauhidku, dan kubawa keliling neraka, lalu kukatakan kepada penghuni neraka, ‘Aku mengesakan-Nya, lalu Dia mengazabku.’” (As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 66).


Jenazah Aisyah dimakamkan di Babu Qurafah, Mesir. Makamnya dikunjungi banyak orang. (As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 66). Wallahu a’lam. []

 

(Alhafiz Kurniawan)

Satrawi: Pesantren Bebas Covid-19

Pesantren Bebas Covid-19

Oleh: Hasibullah Satrawi


ADANYA santri aktif di beberapa pondok pesantren (seperti di Jawa Timur) yang dinyatakan positif Covid-19 harus diperhatikan secara serius oleh para pihak, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pesantren itu sendiri. Bagi pemerintah, klaster pesantren menjadi bukti terbaru betapa upaya-upaya untuk menghentikan penularan Covid-19 masih jauh panggang dari api. Sedangkan bagi pihak pesantren, keberadaan santri aktif yang positif Covid-19 menunjukkan betapa rentan pesantren dari serangan virus ini.


Pada tahap tertentu dapat dikatakan, ancaman penyebaran Covid-19 di kalangan pesantren ibarat penyakit yang bergerak di area “saluran pernafasan”. Setidak-tidaknya karena dua hal berikut ini.


Pertama, pesantren selama ini identik dengan tradisi berjamaah yang meniscayakan adanya perkumpulan, perjumpaan bahkan persentuhan secara fisik. Tradisi berjamaah ini berlangsung hampir di semua lini kehidupan pesantren, mulai dari ibadah (seperti shalat berjamaah), belajar-mengajar (baik di kelas maupun di aula) hingga dalam urusan makan-minum. Bahkan tempat-tempat yang sejatinya privat seperti toilet ataupun kamar mandi masih berpotensi menimbulkan kerumunan akibat keterbatasan fasilitas yang ada (tidak sebanding dengan banyaknya jumlah santri yang bisa mencapai ribuan). Tentu kondisi terakhir ini tidak sama di semua pesantren.


Kedua, tradisi penghormatan dan pemuliaan (at-ta’dzim wal ikrom) yang sampai pada tahap mencium tangan, khususnya kepada para guru dan lebih khusus lagi kepada pak kiai sebagai sosok teladan di lingkungan pesantren. Tradisi penghormatan ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan santri dengan guru maupun kiai, melainkan juga dalam hubungan kiai dengan masyarakat sekitar, khususnya keluarga besar para santri.


Padahal, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 justru mensyaratkan adanya hal-hal yang bersifat menjaga jarak atau social distancing dan tidak adanya persentuhan secara fisik, khususnya tangan dan area wajah. Di sinilah terlihat jelas apa yang penulis sampaikan di atas; bahwa ancaman Covid-19 bergerak di wilayah “pernafasan pesantren”.


Walaupun sangat berat, sebagian pesantren mengatur ulang tradisi “kejamaahan” yang ada, sesuai dengan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid-19. Tapi rasanya tidak mungkin para santri “dijauhkan dan dipisahkan” dari gurunya, khususnya pak kiai. Karena guru dan kiai merupakan mata air pengetahuan sekaligus keteladanan (manba’ul ma’rifah wal uswah), mata air keilmuan sekaligus kebijaksanaan (manba’ul ‘ilmi wal hikmah).


Dalam konteks seperti ini, penyebaran Covid-19 menjadi ujian yang sangat berat bagi semua pihak, tak terkecuali dunia pesantren. Sejauh ini dunia pesantren cukup beragam dalam menyikapi penyebaran Covid-19. Sebagian pesantren memilih sikap ketat sekaligus hati-hati (dengan menerapkan protokol kesehatan). Sedangkan sebagian pesantren mungkin cenderung acuh terhadap ancaman penyebaran Covid-19. Terlebih lagi Covid-19 tak selalu mematikan (bagi sebagian orang).


Hal yang harus diperhatikan adalah pesantren tak hanya berfungsi sebagai tempat mencari ilmu, melainkan juga sebagai kiblat masyarakat sekitar, khususnya dalam hal-hal yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, apabila pesantren bersikap acuh terhadap ancaman seperti penyebaran Covid-19 sesungguhnya hal tersebut tak hanya membahayakan warga pesantren, melainkan juga membahayakan masyarakat sekitar. Mengingat masyarakat sekitar bisa meniru sikap pesantren. Padahal ancaman dari Covid-19 bisa sangat fatal, bahkan tak jarang berakhir dengan kematian.


Bebas Covid-19


Oleh karenanya, dalam konteks ancaman seperti penyebaran Covid-19, menurut hemat penulis, lebih baik salah karena terlalu berhati-hati daripada salah karena terlalu melonggarkan, terlebih lagi mengabaikan. Meminjam kandungan salah satu Hadis Nabi Muhammad Saw yang dijadikan sebagai salah satu prinsip kehati-hatian dalam penerapan hukum kisas, lebih baik salah karena memaafkan daripada salah dalam menjatuhkan hukuman. Dalam hukum kisas, salah karena memaafkan masih bisa diperbaiki mengingat orang yang dihukum masih hidup. Tapi salah dalam memberikan hukuman (mati) tak akan pernah bisa diperbaiki karena yang bersangkutan sudah meninggal.


Semangat ini sangat penting untuk dikembangkan dalam konteks menyikapi ancaman Covid-19. Daripada salah karena mengabaikan (ancaman Covid-19) lebih baik salah karena terlalu hati-hati. Salah karena mengabaikan bisa berakibat fatal terhadap hidup seseorang yang bisa berujung dengan kematian. Tapi salah karena terlalu hati-hati masih bisa diperbaiki. Hal terpenting semuanya selamat dan sehat.


Oleh karenanya, dalam hemat penulis, dunia pesantren sejatinya memilih sikap hati-hati terkait ancaman Covid-19, termasuk bila harus melangsungkan aktivitas belajar-mengajar. Tentu pilihannya sangat berat mengingat keterbatasan fasilitas yang ada, khususnya di wilayah pelosok yang mungkin justru belum terpasang listrik atau keberadaan jaringan komunikasi yang masih sangat terbatas. Namun dibanding kematian, kondisi sesulit apa pun tetap menjadi pilihan yang lebih baik.


Sikap kehati-hatian dari pesantren seperti di atas akan sangat membantu masyarakat luas dalam menghadapi ancaman penyebaran Covid-19, tak hanya dalam konteks Indonesia melainkan juga dalam konteks global. Mengingat Covid-19 sudah menjadi masalah global. Hingga masyarakat lebih bersikap hati-hati daripada mengabaikan ancaman penyebaran Covid-19.


Dengan demikian, peran pesantren tidak hanya terbatas dengan warga pesantren ataupun masyarakat sekitar, melainkan juga mencakup wilayah lebih luas bahkan berskala global; bahwa pesantren bisa memastikan dirinya bebas dari penyebaran Covid-19. Bahkan pesantren juga bisa turut serta dalam mengedukasi masyarakat untuk mewaspadai ancaman penyebaran Covid-19. Hingga pesantren bersama masyarakat masyarakat global sama-sama berjuang untuk menghadapi ancaman penyebaran Covid-19 sekaligus menyelamatkan masyarakat luas dari ancaman virus paling mematikan ini. []

 

KORAN SINDO, 18 September 2020

Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam

(Ngaji of the Day) Apakah Kotoran Kuku Mencegah Sahnya Wudhu?

Orang yang ingin melaksanakan shalat diwajibkan untuk bersuci dari hadats kecil melalui wudhu. Ia diharuskan membasuh kedua tangan dengan air secara merata sebagai salah satu rukun wudhu.

 

Ketentuan perihal rukun wudhu disebutkan secara jelas pada Surat Al-Maidah ayat 6. Dari sini, kemudian ulama memasukkan pembasuhan kedua tangan ke dalam salah satu rukun wudhu.

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajah dan tanganmu sampai siku. Sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki,” (Surat Al-Maidah ayat 6).

 

Ketentuan wudhu ini diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW. Ulama mendapatkan keterangan wudhu Rasulullah SAW dari praktik wudhu yang dicontohkan oleh sahabat Abu Hurairah RA sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut ini:

 

ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأ

 

Artinya, “(Setelah menyelasaikan praktik wudhu) Abu Hurairah RA berkata, ‘Demikianlah aku melihat Rasulullah SAW berwudhu,’” (HR Muslim).

 

Ulama dari mazhab Syafi’i mewajibkan seseorang yang berwudhu untuk membasuh dalam hal ini kedua tangan secara merata. Ulama juga mewajibkan membersihkan sedapat mungkin kotoran yang menghalangi air wudhu dan kulit organ wudhu, dalam hal ini kedua tangan, termasuk kotoran yang melekat pada kuku tangan sebagaimana keterangan berikut ini:

 

(و) الثالث (غسل اليدين إلى المرفقين) ويجب إزالة ما على اليدين من الحائل كالوسخ المتراكم من خارج إلا إذا تعذر فصله ويعفى عن قليل وسخ تحت الأظافير

 

Artinya, “Ketiga (membasuh dua tangan sampai dua siku). (Kita) wajib menghilangkan segala penghalang yang ada di atas permukaan kedua tangan seperti kotoran yang menumpuk dari luar kecuali jika uzur untuk memisahkannya. Sedikit kotoran di bawah kuku dima’fu,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-As’adiyyah: 2014 M/1434 H], halaman 13).

 

Adapun sedikit kotoran yang melekat pada kuku dan sulit untuk dihilangkan secara total dima’fu dalam konteks bersuci atau wudhu dalam hal ini. Dengan demikian, orang yang bersuci tidak perlu mengkhawatirkan keabsahan wudhunya dengan sisa kotoran pada kuku setelah ia berusaha menghilangkannya. Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Kang Komar: Negara, Pasar, dan Agama

Negara, Pasar, dan Agama

Oleh: Komaruddin Hidayat

 

Dalam masyarakat modern, jika disebut negara, di sana terdapat tiga pilar utama yang masing-masing berdiri sejajar dan saling memperkuat. Pilar itu: pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil.

 

Namun, dalam praktiknya, ketiganya tak selalu berdiri sejajar dan sama kuat. Dalam konteks Indonesia, di era reformasi ini yang terjadi peran korporasi cenderung mengooptasi pemerintah melalui pintu parpol, sementara masyarakat sipil posisinya lemah, baik di hadapan negara maupun kekuatan korporasi.

 

Dari sisi historis dan konstitusional, mestinya berbagai korporasi pelat merah yang mendominasi perekonomian. Ketika Indonesia merdeka, berbagai lembaga keuangan dan korporasi warisan Belanda diambil alih negara. Lalu diperkuat lagi oleh UUD 1945 bahwa semua kekayaan alam yang menjadi hajat rakyat banyak dikuasai negara. Jadi, jika kini korporasi swasta lebih besar, bahkan berkembang jadi konglomerasi, ada kebijakan pemerintah yang salah dan mesti ditinjau ulang.

 

Dalam sejarahnya, agama dan pasar lebih dulu muncul sebelum kehadiran negara. Agama memiliki daya tarik untuk mempertemukan dan menyatukan orang sekalipun mereka datang dari latar belakang etnis, bangsa, dan strata sosial berbeda.

 

Khususnya Kristen dan Islam, keduanya merupakan agama misionaris yang memiliki kekuatan pemersatu yang solid dalam menciptakan kohesi sosial pemeluknya berdasarkan kesamaan keyakinan iman. Kedua agama itu jangkauannya menerobos batas bangsa, negara, dan profesi.

 

Meski agama hadir dan berkembang mendahului negara, dalam perjalanan sejarahnya negara tampil berkuasa dan menyaingi kekuatan agama dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat. Dalam kehidupan bernegara, konstitusi diposisikan sebagai pedoman tertinggi. Sementara beragama, rujukan tertingginya adalah kitab suci.

 

Sebelum berkembang menjadi korporasi dan konglomerasi yang mengendalikan proses produksi tingkat nasional, pada mulanya kegiatan ekonomi berpusat di pasar-pasar tradisional dalam skala aset yang kecil. Bahkan dulu berlaku model barter, barang ditukar barang, sebelum ditemukan alat tukar berupa mata uang.

 

Sekarang mata uang logam dan kertas kian menyusut, transaksi bisnis menggunakan uang elektronik. Bagaikan kredo agama, uang mampu membangun komunitas berdasarkan kepercayaan (trust), padahal di antara mereka tak saling kenal dan tak pernah jumpa.

 

Inklusivisme pasar dan agama

 

Pada awal kemunculannya, pasar dan agama bersifat inklusif. Terbuka untuk siapa saja yang mau datang dan bergabung. Keduanya mempertemukan orang-orang asing yang tak saling kenal, datang dengan kepentingan dan tujuan sama, memenuhi hajat hidup sehari-hari, terutama sandang dan pangan. Ke mana pun kita pergi akan menjumpai pasar yang dijaga masyarakat karena pasar telah memberikan jasa riil bagi kehidupan bersama.

 

Inklusivisme pasar ini pun sesungguhnya dimiliki oleh agama di awal kemunculannya. Orang beda suku bisa bertemu di forum dan festival keagamaan untuk bersama-sama berdoa pada Tuhan minta kemakmuran dan keselamatan. Mereka bergotong royong dan rela berkurban karena dorongan iman.

 

Namun, inklusivisme pasar dan agama di tingkat global dan nasional belakangan ini berkembang menjadi eksklusif. Terjadi persaingan dan perebutan sumber ekonomi yang melibatkan sentimen dan identitas negara, etnis, dan agama.

 

Muncul perang dagang antara AS dan China. AS bersikap proteksionis, sangat melindungi kepentingan negaranya, yang kemudian dilawan balik oleh China. Peran negara pun mendatangkan pengaruh sangat signifikan terhadap eksistensi pasar dan agama.

 

Negara memiliki legalitas dan otoritas dalam mengendalikan sumber daya alam dan aset produksi. Di samping berkewajiban melindungi warganya, negara juga memiliki kewenangan menghukum warga yang dianggap melawan.

 

Negara juga berhak memungut pajak dan gaji sebagai kompensasi dari kewajibannya untuk mengendalikan dan memajukan kesejahteraan warganya meski hak dan kewajibannya tak selalu seimbang. Jadi, sekalipun agama punya klaim ontologis dan teologis datang dari Tuhan, sedangkan negara adalah hasil konsensus politik, institusi negara lebih percaya pada pergaulan global ketimbang agama. Berbagai perjanjian bisnis dilakukan atas nama negara, bukan agama.

 

Mengingat agama dan negara sama-sama hidup dan diperlukan keberadaannya, sering kali terjadi konflik antara agama dan negara. Dengan menganut sistem sekularisme politik, di Barat agama jadi urusan privat. Negara tak boleh mencampuri urusan agama yang bersifat pribadi.

 

Tetapi, di kalangan masyarakat Islam, hubungan agama dan negara masih belum selesai, atau jangan-jangan tak akan pernah selesai. Orang beragama masih sering memperhadapkan antara konstitusi dan kitab suci sebagai rujukan hidupnya.

 

Sebelum Indonesia merdeka, kekuatan sosial digenggam oleh tokoh-tokoh agama, tokoh adat, dan pemimpin organisasi massa. Begitu merdeka, terjadi perubahan paradigma sosial-politik, negara dengan aparat pemerintahannya yang lebih berkuasa mengatur rakyat, sekalipun agama memperoleh tempat khusus di struktur pemerintahan dan ideologi negara.

 

Di Indonesia, negara tak menghalangi umat beragama mengamalkan ritual dan ajaran agamanya. Tetapi, kekuasaan tertinggi tetap di institusi negara. Kenyataan politik ini yang belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat. Sekelompok radikalis memandang negara itu thaghut (berhala) yang mesti dilawan karena tak berpegang pada kitab suci sebagai pedoman dasar.

 

Dalam sistem demokrasi, posisi negara dan pemerintah semakin kokoh karena memperoleh legitimasi rakyat melalui sistem pemilu yang memilih wakil rakyat dan presiden, sekalipun proses dan prosedurnya tak selalu sehat karena kecurangan dan politik uang.

 

Di era reformasi ini, sangat menarik dan sekaligus memprihatinkan mengamati hubungan antara negara, agama, parpol, dan korporasi. Berbagai kasus menunjukkan, agama dan tokoh-tokohnya terjebak jadi instrumen dalam perebutan kekuasaan politik.

 

Insentif yang ditawarkan negara lebih menarik dan langsung bisa dinikmati ketimbang insentif yang ditawarkan agama berupa surga di akhirat kelak. Sanksi dan ancaman Tuhan dijanjikan baru terlaksana setelah kematian, maka orang lebih takut ancaman negara ketimbang ancaman agama. Sanksi agama kalah efektif mencegah korupsi dibanding ancaman negara.

 

Mengingat di Indonesia peran agama sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan, ditambah jumlah umat Islam mayoritas tetapi secara ekonomi merasa kalah bersaing, sering muncul ketegangan antara agama dan negara. Pemerintah sebagai pengendali agama sering dituduh lupa diri pada jasa agama, bahkan lebih memberi ruang besar pada kekuatan korporasi yang memperlemah ekonomi umat Islam.

 

Kalau di sana-sini muncul radikalisme dengan wajah agama, akar masalah pokoknya bukan di ajaran agamanya, melainkan ketidakadilan ekonomi dan akses politik yang membuat mereka marah. Agama memberikan pembenaran dan semangat jihad melawan kezaliman menurut pandangan dan keyakinan mereka.

 

Seabad kemerdekaan

 

Hanya tinggal satu generasi lagi Indonesia merayakan seabad kemerdekaan pada 2045. Jika sistem dan budaya politik serta ekonomi yang berlangsung hari ini tak diubah, saya pesimistis seabad kemerdekaan nanti kita akan berhasil mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang cerdas, adil, dan sejahtera.

 

Kita telah mengalami tiga orde: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Dari ketiga orde itu, selalu saja para elite pemerintahan dan parpol mengulangi kesalahan sama dan sangat fatal, yaitu masuk jebakan korupsi.

 

Masuk jajaran pemerintah dan parpol bukan didorong keinginan kuat mengabdi membangun bangsa dan menyejahterakan rakyat, tetapi meraih kesenangan dan kepuasan pribadi, keluarga, dan kelompok. Tanpa belajar ilmu politik sampai tingkat doktor, siapa pun bisa melihat dan merasakan telah terjadi proses pembusukan budaya dan sistem politik di negeri ini.

 

Tiga pilar: negara, korporasi, dan masyarakat sipil tak berjalan seimbang dan produktif sehingga perjalanan bangsa ini timpang, goyah, oleng. Negara mengooptasi kekuatan sipil, sementara kekuatan modal selalu berusaha mengooptasi negara.

 

Parpol yang mestinya memihak rakyat, posisi dan perannya mengambang (floating). Ke bawah tak berakar kuat, ke atas sibuk berebut jabatan dan kekuasaan, tetapi tak dikukung SDM andal. Lebih menyedihkan lagi, parpol tidak memiliki sumber dana yang kuat sehingga akhirnya parpol terjebak pada cengkeraman oligarki yang memiliki modal besar.

 

Kekuatan pemersatu sosial lain adalah pasar yang sudah tumbuh sebelum negara. Peran sentral pasar adalah memberikan ruang dan fasilitas bagi anggota masyarakat untuk penuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan cara saling tukar-menukar kebutuhan pokok, utamanya pangan.

 

Kolaborasi negara dan pasar sangat erat. Pasar dalam pengertian luas merupakan pusat uang, sementara negara memberikan legitimasi dan regulasi perputaran serta penyimpanan uang sebagai alat tukar, yaitu institusi keuangan, khususnya perbankan.

 

Hubungan negara dan uang kadang terjadi pembusukan akibat perselingkuhan tak sehat. Para pelaku pasar butuh tangan negara untuk melancarkan dan menggelembungkan bisnisnya, sementara para politisi pemegang kekuasaan menjual atau memanfaatkan posisinya untuk mengejar dan menumpuk kekayaan.

 

Dengan kata lain, hubungan penguasa dan pengusaha telah bermetamorfosis menjadi sebuah bisnis baru. Telah menyimpang dari awal mula pasar terlahir. Situasi kian kacau dan membusuk ketika parpol yang sering mengatasnamakan suara rakyat ikut bermain lalu berubah tak ubahnya sebuah lembaga bisnis kekuasaan dan uang.

 

Lalu di mana agama? Mulanya agama berada di hati orang yang beriman. Agama menyertai ketika mereka beraktivitas baik dalam ranah pasar maupun ranah negara. Kontribusi terbesar agama adalah memberikan bisikan dan bimbingan moral agar seseorang memilih jalan kebaikan dan menghindari jalan keburukan yang akan merugikan diri dan orang lain.

 

Agama menawarkan jalan kebaikan dan keselamatan eskatologis, yaitu kebahagiaan hidup setelah kematian, yang dijemput dengan perbanyak amal kebajikan selama hidupnya. Agama menekankan pentingnya akhlak, budi pekerti, moralitas, dan integritas yang muncul dari lubuk hati. Bukan dipaksakan dari luar. Pada urutannya, agama menjelma sebagai institusi, organisasi, dan identitas sosial yang diabadikan di berbagai dokumen pribadi, misalnya KTP.

 

Sekarang ini, dalam ranah sosial-politik hubungan antara negara, agama, dan pasar, yang mengemuka dan paling berpengaruh adalah kekuatan uang yang disangga oleh bisnis dan kekuasaan politik, lalu agama dilibatkan sebagai kosmetik dan topeng untuk menutupi wajah politisi dan pelaku bisnis yang kotor. Mereka tak ubahnya ikan lele, lebih senang hidup di air keruh yang tak tembus sinar matahari.

 

Ke depan, mestinya agama jadi kekuatan sipil dan pilar peradaban yang kokoh dan mandiri sehingga berwibawa di hadapan kekuatan korporasi, partai politik dan negara. []

 

KOMPAS, 18 September 2020

Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia.

(Ngaji of he Day) Larangan Memasung dan Mengasingkan Penyandang Disabilitas

Masalah pemasungan orang dengan gangguan mental di Indonesia masih dapat ditemui di berbagai daerah, atau mungkin di lingkungan dekat kita. Human Right Watch (HRW) menyatakan dalam rilisnya, meski jumlahnya menurun, pemasungan penyandang disabilitas mental ini masih merupakan pilihan yang dilakukan kebanyakan masyarakat.

 

HRW mengutip keterangan dari Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, bahwa orang yang dipasung dan dibelenggu dalam ruang terbatas telah mengalami penurunan jumlah kejadian. Per Juli 2018, angka pemasungan di 32 provinisi di Indonesia berada pada angka 12.832 kejadian, menurun dibandingkan 13.528 per Desember 2017.

 

Agaknya, pemasungan atau pembelengguan di ruang terbatas ini tidak terjadi pada orang dengan disabilitas mental saja. Bahkan masih bisa ditemui di sekitar kita, orang dengan disabilitas fisik dikungkung di rumah dan kurang mendapat respek dari keluarga. Diskriminasi disabilitas fisik, juga dapat memicu keputusasaan yang depresif bagi penyandangnya.

 

Pemasungan dan pembelengguan di ruang terbatas ini mencakup perawatan di panti sosial, rumah sakit jiwa, serta pusat rehabilitasi berbasis agama yang membatasi ruang ekspresi dan sosialisasi para penyandang disabilitas mental maupun fisik. Sebenarnya, bagaimana sudut pandang hukum atau ajaran Islam atas pemasungan dan pembelengguan tersebut?

 

Dalam Al-Qur’an, salah satu ayat yang menjadi ajakan pemenuhan hak sosial penyandang disabilitas tercantum dalam Surat An-Nur ayat 61:

 

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا...

 

Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang buta tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit; dan tidak (pula) bagi diri kamu makan di rumah kamu, atau di rumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudara-saudara kamu yang laki-laki, di rumah saudara kamu yang perempuan, di rumah saudara bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara bapak kamu yang perempuan, di rumah saudara ibu kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibu kamu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau kawan kamu; Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau berpisah-pisah...”

 

Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an yang dikenal dengan Tafsir ath-Thabari, menyebutkan bahwa asbabun nuzul ayat tersebut adalah dahulu orang-orang Anshor di Madinah sebelum hadirnya Nabi Muhammad, sering merasa risih dengan orang-orang buta dan lumpuh, yang hemat mereka tidak akan bisa ikut menikmati makanan sebagaimana mereka lakukan. 

 

Mereka berpikir akan lebih baik untuk menyendirikan makanan orang-orang cacat itu dibanding makan bersama. Dari sikap diskriminatif inilah, Allah menurunkan Surat An-Nur ayat 61, menyatakan bahwa tidak ada masalah untuk orang-orang buta dan lainnya untuk makan bersama mereka (Imam at Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran [Beirut: Muassasah ar-Risalah], jilid 19, hal. 219 – keterangan serupa dapat ditemukan dalam tafsir-tafsir yang lebih belakangan, seperti kitab tafsir karya Imam al-Mawardi, al-Qurthubi atau Ibnu Katsir).

 

Ada juga pendapat ulama dengan sudut pandang objek bicara – yaitu orang sakit, lumpuh dan buta tersebut. Ayat di atas dinilai menegur para penyandang disabilitas agar berbesar hati dan tidak enggan makan bersama orang lain atau berkunjung ke rumah saudara kaum muslimin.

 

Keterangan tafsir Surat An-Nur ayat 61 di atas yang juga menyinggung tentang “rumah-rumah” keluarga dan orang-orang terdekat, menunjukkan bahwa menghapuskan stigma dan diskriminasi untuk penyandang disabilitas – apalagi diikuti pengasingan dan pemasungan – hendaknya dimulai dari keluarga, tetangga serta orang-orang terdekat.

 

Dengan demikian, dari sudut pandang ajaran Islam, pemasungan dan pembelengguan adalah bentuk diskriminasi dan pengasingan sosial yang tidak boleh dilakukan atas penyandang disabilitas. Memberikan respek dan kesamaan hak adalah hal yang mesti dipenuhi, baik untuk penyandang disabilitas mental maupun fisik. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Nasaruddin Umar: Al-Ta'lim al-Muta'allim (13) Ontologi Alam Syahadah Mutlak

Al-Ta'lim al-Muta'allim (13)

Ontologi Alam Syahadah Mutlak

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Alam syahadah mutlak ialah alam raya yang secara visual sepenuhnya dapat diindera dengan panca indera, seperti mineral, tanah, batu, air, gunung. Alam syahadah mutlak ini biasa disebut benda mati, meskipun dalam perspektif Islam tidak dikenal adanya istilah benda mati, karena semua makhluk, termasuk alam syahadah mutlak juga bertasbih kepada Allah Swt, sebagaimana dalam firman-Nya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Q.S. al-Isra'/17:44).

 

Alam syahadah mutlak merupakan struktur makhluk paling sederhana dan simpel di bandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya. Mereka memiliki zat yang dapat diindera dan relatif tidak berubah. Mereka memiliki eksistensi yang permanen. Berbeda dengan makhluk lainnya seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia, yang kemudian disebut alam syahadah gairu muthlaq dan karena itu disebut sering disebut makhluk hidup (bilogi).


Meskipun alam syahadah mutlak memilki wujud paling standar namun mereka juga bisa bereksistensi menjadi sesuatu yang lebih tinggi dari martabat awalnya jika mengalami proses. Perhatikan logam kasar dengan nilai dan harga lebih rendah bisa melonjak nilai dan harganya jika diproses penjadi logam mulia (emas 24 karat), apa lagi jika sudah diproses menjadi kalung. Mineral atau bebatuan yang tidak punya nilai dan harga tiba-tiba melonjak nilai dan harganya setelah diproses menjadi intan berlian, apalagi jika sudah diproses menjadi permata.


Untuk mengubah logam kasar menjadi logam mulia dan mineral menjadi intan diperlukan penempaan yang luar biasa. Mereka harus dihancurkan, dipukul, dibakar, dan dibentuk sedemikian rupa, untuk mencapai nilai dan harga yang lebih tinggi. Ini pelajaran berharga kepada kita, jika kita ingin memiliki nilai lebih tinggi maka harus melalui proses penempaan diri yang sempurna. Semakin sempurna penempaan diri itu maka semakin tinggi pula nilai martabat itu.


Seperti hukum alam, ornag-orang yang tidak pernah mengalami penempaan diri jangan pernah bermimpi akan memiliki nilai keutamaan hidup lebih tinggi. Kalaupun itu diperoleh, maka biasanya itu hanya sesaat dan tidak akan memuaskan banyak orang. Sama dengan emas atau belian imitasi, hanya akan menyenangkan sesaat, lama kelamaan warna dan bentuknya akan luntur dan cahayanya juga pudar.


Dunia pendidikan perlu diarahkan bagaimana membentuk emas dan berlian murni, bukan logam kasar atau mineral standar. Menempa peserta didik menjadi orang yang bernilai tinggi diperlukan penempaan yang proses yang sempurna. Tidak bisa asal-asalan jika kita menghendaki kulatis sumber daya manusia yang lebuh handal. Di sinilah peran agama, menuntun kita untuk menjadi "logam mulia" dan "berlian asli".


Alam syahadah mutlak merupakan pelajaran kearifan di dalam menjalani kehidupan. Hendaknya alam syahadah mutlak ini tidak semata-mata dijadikan obyek pembelajaran, tetapi sesekali menjadi subyek pembelajaran guna meraih kemuliaan hidup. Bagi umat beragama, tentu bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. []

 

DETIK, 02 Juli 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) Nilai Ibadah Pakai Masker di Masa Pandemi

Nilai Ibadah Pakai Masker di Masa Pandemi


Sejak Corona dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai virus yang membahayakan jiwa manusia, banyak pihak seperti para dokter, ulama dan umara mengimbau agar masyarakat senantiasa memakai masker dalam beraktivitas sehari-hari di luar rumah. Namun, imbauan ini tampaknya diikuti dengan baik hanya oleh sebagian orang yang mau memahami bahwa virus ini memang berbahaya. Selain itu, mereka ingin menunjukkan ketataannya terhadap perintah agama yang mewajibkan untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafs).

 

Beberapa ulama seperti KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Said Aqi Siroj, dan sebagainya telah mengimbau masyarakat khususnya warga Nahdliyin untuk senantiasa memakai masker. Artinya memakai masker itu sebetulnya ibadah dan karenanya mendapatkan pahala dengan beberapa alasan sebagai berikut:

 

Pertama, memakai masker merupakan salah satu cara yang amat ditekankan oleh para ahli kesehatan dalam rangka menjaga keselamatan jiwa dari ancaman wabah virus Corona. Dilaporkan bahwa memakai masker sama efektifnya atau bahkan lebih efektif daripada menjaga jarak. Pernyataan ini sebagaimana dilontarkan penasihat Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) Prof David Heymann CBE sebagai berikut:

 

"It might be that wearing a mask is equally as effective or more effective than distancing." (bbc.com, 2 April 2020).

 

Kedua, menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafs) hukumnya wajib. Kewajiban ini merupakan perintah langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana termaktub di dalam Al- dalam surat Annisa’, ayat 29 sebagai berikut:

 

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

 

Artinya: "Dan janganlah kamu membunuh (membahayakan keselamatan) jiwamu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."

 

Ketiga, sebagai implikasi dari alasan kedua di atas, maka memakai masker hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih sebagai berikut:

 

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

 

Artinya: “Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”

 

Menjaga keselamatan jiwa hukumnya wajib dan memakai masker sebagai cara berlindung dari ancaman wabah virus Corona merupakan keharusan, maka berdasarkan kaidah fiqih ini hukum memakai masker adalah wajib. Masker merupakan sarana atau perantara yang amat penting dalam rangka mencegah penularan wabah virus Corona dari orang satu ke orang lain.

 

Keempat, jika suatu perbuatan hukumnya wajib, maka menjalankan perbuatan itu diganjar dengan pahala oleh Allah subhanu wa ta’ala. Dr. Musa Syahin Lasyin dalam kitabnya berjudul Fathu al-Mun’im Syarh ٍhahih Muslim, (Dar al-Syuruq, Kairo, Cetakan I, 2002, Juz 8, hal. 195) menjelaskan tentang pahala dalam hubungannya dengan hukum wajib sebagai berikut:

 

الواجب الذي يثاب على فعله ويعاقب على تركه

 

Artinya: “Sesuatu yang hukumnya wajib akan diganjar dengan pahala ketika dilakukan dan diganjar dosa ketika meninggalkannya.”

 

Jadi sangat jelas bahwa memakai masker dalam rangka menjaga keselamatan jiwa akan diganjar dengan pahala sebagai implikasi dari hukum wajib yang melatarbelakanginya. Namun demikian banyak orang kurang memperhatikan masalah ini. Bahkan terkesan mereka mengabaikan pahala dari memakai masker ini.

 

Banyaknya orang tidak memakai masker berakibat tingginya angka terinfeksi virus Corona. Setidaknya hal ini terjadi di beberapa kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Sidoarjo dan Gresik sebagaimana dikemukakan oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa dalam suatu kesempatan di Surabaya (Okezone, 27 Juni 2020). Dikemukakannya bahwa di tempat-tempat ibadah termasuk masjid, gereja, dan pura masih ada 70 persen orang tidak menggunakan masker dan 84 persen tidak melakukan physical distancing.

 

Tentu saja fenomena tersebut menjadi aneh karena lazimnya orang-orang beragama cukup peduli terhadap hal-hal yang mendatangkan pahala dan berusaha meninggalkan hal-hal yang menimbulkan dosa. Apakah mereka telah mengabaikan hukum agama? Ataukah mereka tidak tahu bahwa hukum memakai masker sebagai bagian dari protokol ksesehatan adalah wajib selama masih ada wabah Covid-19 sebagaimana dikemukakan oleh KH Said Aqil Siraj? (NU Online, 15 Juli, 2020)

 

Salah satu alasan yang dikemukakan Ketua Umum PBNU tersebut adalah “Jika tidak mengikuti protokol kesehatan akan mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Hal itu jelas bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam” yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

 

وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ

 

Artinya: “Kamu jangan menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang kecelakaan.” (QS: al-Baqarah, 195).

 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

 

Artinya: ”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).

 

Kesimpulannya, memakai masker adalah wajib dan barang siapa memakainya akan mendapat pahala sebab hal ini merupakan ibadah dalam rangka menaati perintah Allah, Rasulullah, para ulama dan umara. Sebaliknya barang siapa sengaja menolak memakai masker dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, pasti Allah akan memperhitungkannya sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya berbunyi:

 

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ

 

Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS: al-Zalzalah, 7).

 

وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ

 

Artinya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS: al-Zalzalah, 8).

 

[]

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.