Jumat, 30 Juli 2021

(Do'a of the Day) 20 Dzulhijjah 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbanaa laa tu-aa khidz naaa innasiinaaa au akhtha’naa.

 

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.

 

QS. Al Baqarah (2) ayat 286, Juz 1.

(Khotbah of the Day) Kematian itu Pasti, Bersiaplah!

KHUTBAH JUMAT

Kematian itu Pasti, Bersiaplah!


Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ خَلْقِهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ لِقَائِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَلَا شَبِيْهَ وَلَا مِثْلَ وَلَا نِدَّ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ (آل عمران: ١٠٢)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala, dengan senantiasa berupaya melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan.

 

Kaum Muslimin rahimakumullah,

 

Tema khutbah kita pada siang hari ini adalah: “Kematian itu Pasti, Bersiaplah!”

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

 

Data menunjukkan bahwa beberapa minggu terakhir, angka kematian akibat Covid-19 begitu tinggi. Setiap hari kita disuguhi berita duka. Bahkan kita dapat melihat sendiri dengan mata kepala kita kerabat, teman, dan tetangga kita satu demi satu berguguran. Hadirin, sudahkah kematian demi kematian yang ada di sekitar kita menjadi nasihat bagi kita? Sudahkah takziah yang kita lakukan menjadi tausiah bagi kita semua? Maut adalah kepastian yang tidak dapat dimajukan atau pun dimundurkan barang sesaat pun. Malaikat maut tidak permisi kepada orang yang sehat. Malaikat maut juga tidak minta izin kepada seorang anak atau pun remaja. Ajal tidak menunggu kita sakit. Ajal juga tidak menanti masa tua kita. Jika telah datang waktunya, siapa pun pasti akan menemui ajalnya. Oleh karena itu, persiapan menuju kematian semestinya kita lakukan dalam setiap tarikan nafas kita.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Allah ta’ala berfirman:

 

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ (آل عمران:١٨٥ )

 

Maknanya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasan kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya” (QS Ali ‘Imran: 185).

 

Dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ (آل عمران: ١٠٢)

 

Maknanya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim” (QS Ali ‘Imran: 102).

 

Allah ta’ala juga berfirman:

 

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ (الحجر: ٩٩)

 

Maknanya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu” (QS al Hijr: 99).

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Melalui ayat yang pertama, Allah memberitahu kita bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Dalam ayat yang kedua, Allah memerintahkan kita wafat dalam keadaan Muslim. Dan dalam ayat yang ketiga, Allah memerintahkan kita beribadah hingga ajal menjemput.

 

Diriwayatkan dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah bahwa suatu ketika malaikat Izra’il masuk ke ruangan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam rupa seorang manusia. Sang malaikat tiba-tiba memandang lekat-lekat salah seorang yang hadir di majelis Nabi Sulaiman. Setelah malaikat Izra’il keluar ruangan, laki-laki itu bertanya kepada Nabi Sulaiman tentang orang yang memandangnya lekat-lekat. Kemudian Nabi Sulaiman memberitahunya bahwa orang itu adalah malaikat Izra’il. Laki-laki tersebut lalu meminta kepada Nabi Sulaiman agar memerintahkan angin membawanya ke negeri India. Beberapa waktu kemudian, malaikat Izra’il kembali mendatangi Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman bertanya kepadanya: Kenapa engkau memandang laki-laki itu dengan lekat? Malaikat menjawab: Aku heran, kenapa ia berada di ruanganmu pahahal aku diperintahkan oleh Allah mencabut ruhnya di India.

 

Hadirin, di mana pun kita berada, jika sudah tiba ajal, malaikat maut pasti mencabut nyawa kita.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Yang semestinya ditakutkan oleh seorang Muslim bukanlah kematian. Yang seharusnya dikhawatirkan adalah mati dalam keadaan su’ul khatimah. Seseorang yang di masa mudanya ahli ibadah bukan jaminan akhir hayatnya akan husnul khatimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan:

 

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيْمِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

 

Maknanya: “Sesungguhnya yang menjadi penentu adalah perbuatan di akhir hayat” (HR al-Bukhari).

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Janganlah kita menunda-nunda taubat. Saat ini juga kita bertaubat dari semua dosa. Dosa kecil yang dilakukan terus menerus dapat mengantarkan seseorang melakukan dosa besar. Dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus dapat menyebabkan seseorang mati dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzu billahi min dzalik.

 

Diceritakan bahwa seorang ulama salaf yang bernama Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah memiliki seorang murid yang sedang sakit keras. Menjelang kematian sang murid, Imam al Fudhail menjenguknya dan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Si murid tidak mampu mengucapkannya. Beberapa kali dituntun, si murid tetap tidak mampu mengucapkan dua kalimat syahadat. Bahkan sang murid kemudian mengatakan: Saya terbebas dari dua kalimat syahadat. Sang murid pada akhirnya mati dalam keadaan su’ul khatimah, mati kafir.

 

Imam al Fudhail gemetar badannya dan menangis karena takut kepada Allah ta’ala. Beberapa waktu kemudian, Imam al Fudhail bermimpi melihat muridnya sedang diseret dimasukkan ke dalam neraka. Imam al Fudhail bertanya kepadanya: Kenapa hal ini bisa terjadi, apa yang telah engkau lakukan? Sang murid menjawab: Wahai guruku, aku dulu sering membicarakan kejelekan teman-temanku dan hasud kepada mereka hingga aku sampai ke keadaan seperti ini dan mati kafir.

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

 

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

 

Ustadz Nur Rohmad, Anggota Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Yudi Latif: Tata Ulang Negara

Tata Ulang Negara

Oleh: Yudi Latif

 

Pandemi Covid-19 menyingkap kelemahan dan kekuatan sistem sosial-politik kita. Dengan postur dan cakupan intervensi negara yang begitu besar dan luas, kapasitas institusi pemerintahan untuk mengatasi bencana wabah tampak ketidakefektifannya. Sebegitu rupa sehingga Presiden harus bongkar-pasang panitia ad hoc untuk menutupi kelembaman tersebut.

 

Di sisi lain, wabah ini juga memperlihatkan kekuatan modal sosial masyarakat Indonesia. Charity Aid Foundation (CAF), World Giving Index 2021, dengan laporan survei yang terkait erat dengan situasi pandemi, sekali lagi menobatkan Indonesia sebagai negara dengan masyarakat paling dermawan di dunia.

Celakanya, tata kelola politik dan kebijakan negara selama ini terlalu mengandalkan peran negara dengan memubazirkan kekuatan komunitas dan peran pasar yang sehat. Bahkan, dalam situasi pandemi yang memerlukan kecepatan bertindak, penanganannya—seperti program vaksinasi—masih sangat padat birokratisasi; meski setelah situasi kian tak terkendali, ada tendensi memperluas peran komunitas dan pasar.

 

Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi tak membuat postur dan lingkup negara meramping, malahan makin tambun, dengan sumber daya manusia semenjana. Terjadi kerancuan pemahaman antara ”cakupan” dan ”kekuatan” negara; antara ruang lingkup fungsi negara dan kapasitas institusi negara untuk menegakkan aturan dan kebijakan. Padahal, seperti diingatkan Francis Fukuyama, negara dengan lingkup intervensi luas belum tentu memiliki kemampuan, bahkan sering kali tak berdaya, untuk menciptakan serta menegakkan hukum dan kebijakan.

 

Sebaliknya, negara dengan lingkup peran terbatas bisa saja berkemampuan untuk menegakkan hukum dan kebijakan secara optimal dan kuat. Dengan kata lain, lemah-kuatnya negara tidak dilihat dari seberapa luas peran dan fungsinya, melainkan dari kapasitas dan efektivitas institusinya.

 

Kita harus sungguh-sungguh mencermati kelemahan dalam tata kelola kenegaraan ini, karena tak ada negara yang dapat berkembang baik tanpa ketepatan dan kapasitas tata kelola. Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nation Fail menyimpulkan bahwa kunci perbedaan antara negara maju dan terbelakang terletak pada institusi sosial-ekonominya yang memberi perbedaan insentif pada individu dan bisnis, yang pada gilirannya bergantung pada rezim kelembagaan politik, hukum, dan kebijakannya. Stabilitas politik dan kemakmuran berjangka panjang mengharuskan negara terlebih dahulu menata kelembagaan politiknya secara baik.

 

Tata kelola negara yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar, dan komunitas. Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, selayaknya tak dijalankan dengan cara ”mendayung”, yang memerlukan otot aparatur negara yang besar. Cukup secara ”mengemudi” dengan mengaktifkan segala peran, fungsi, dan agensi secara partisipatif dan koordinatif.

 

Obesitas birokrasi negara Indonesia bukan saja membuat anggaran negara banyak terkuras untuk biaya rutin, yang harus dipenuhi oleh utang luar negeri. Namun, juga kurang mampu mendinamisasi daya kreatif komunitas dan pasar. Perlu haluan direktif dan peta jalan perampingan negara yang secara bertahap menuju pemerintahan terbatas tapi kuat.

 

Kuat tidak berarti bersifat tirani, melainkan efektif dalam menegakkan hukum, kebijakan, dan ketertiban. Peran negara lebih terbatas terutama dalam melindungi warga dari ancaman kekerasan dan marabahaya, menegakkan kontrak, membangun kapabilitas warga lewat pendidikan dan kesehatan, mengembangkan pranata inovasi-teknologi, membangun infrastruktur, serta mengusahakan keadilan distributif dan antargenerasi.

 

Tata ulang negara itu tidak mesti melalui perubahan radikal, secara tercerabut dari segala warisan baik dari masa lalu. Setiap inovasi memerlukan stabilitas, dan setiap stabilitas produktif menghendaki kontinuitas unsur-unsur baik dari masa lalu. Persoalan infantilitas politik Indonesia disebabkan ketidakmampuan mengakumulasikan tradisi baik dari setiap pemerintahan.

 

Perlu disadari, penciutan lingkup keterlibatan negara tidaklah otomatis akan membuat tata kelola kenegaraan lebih efektif. Para perancang kebijakan sering tak memiliki daya antisipatif bahwa dalam proses pengurangan lingkup negara itu, kebanyakan negara berkembang bisa menghadapi problem baru yang lebih pelik. Hal ini bisa berupa melemahnya kekuatan negara atau perlunya tipe-tipe baru kapabilitas negara yang justru belum tersedia atau masih sangat lemah. Selain itu, upaya restrukturisasi peran negara juga tidak bisa tambal sulam karena bisa menimbulkan situasi paradoks yang bisa saling menegasikan.

 

Maka dari itu, perlu pilihan terukur dari mana perubahan harus dimulai. Dalam hal ini, ada baiknya mendengar pengakuan Milton Friedman (2002), seorang resi ortodoks ekonomi pasar bebas. Friedman menyebutkan hingga dekade lalu, ia hanya punya tiga kata bagi negara yang sedang transisi dari sosialisme: privatisasi, privatisasi, dan privatisasi. ”Namun, saya keliru,” ujarnya. Ia lalu bertutur, ”Saya berubah pikiran bahwa memperkuat rule of law barangkali lebih mendasar ketimbang privatisasi.”

 

Peningkatan kapasitas negara untuk merencanakan dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum secara tegas, bersih, dan transparan, disertai perbaikan mutu wakil rakyat dan aparatur negara yang mengawalnya, merupakan prasyarat yang diperlukan dalam kerangka perampingan peran negara. []

 

KOMPAS, 15 Juli 2021

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6

 اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

 

Ihdinas shirātal mustaqīma

Artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

 

Kenapa Orang Sembahyang (Hampir Pasti adalah Mukmin) Perlu Minta Hidayah?

 

Imam Ibnu Katsir pernah membuat dialog imajinatif. “Kok bisa orang Mukmin meminta hidayah setiap waktu shalat dan di luar shalat, padahal ia sudah beriman? Bukankah ini kerja sia-sia?”

 

Menurutnya, tanpa meminta hidayah siang dan malam, tidak ada jaminan Allah memberikan petunjuk-Nya. Hamba berhajat kepada Allah pada setiap saat dan keadaan dalam memelihara, memperdalam, membukakan mata, menambah, dan melanggengkan hidayah untuknya. Seorang hamba tidak berkuasa untuk memberikan manfaat dan mudharat untuk dirinya tanpa kehendak Allah.

 

Oleh karenanya, Allah menunjukinya untuk memohon kepada-Nya setiap waktu agar Dia menganugerahkannya pertolongan, keteguhan, dan taufiq. Orang yang bahagia sejati adalah orang yang diberi taufiq untuk meminta kepada-Nya. Pasalnya, Allah menjamin pengabulan permohonan mereka yang berdoa, terutama ia yang terdesak, berhajat, dan faqir kepada-Nya di ujung malam dan sepanjang siang.

 

Dalam Surat An-Nisa ayat 136, Allah memerintahkan orang Mukmin untuk beriman. Artinya, ini bukan bentuk sia-sia dan percuma atau tahshilul hasil karena maksud dari tuntutan keimanan itu adalah keteguhan, keberlanjutan, dan kelanggengan atas amal saleh yang telah ditentukan.

 

Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk berdoa “Rabbanā la tuzigh qulūbanā…” (Tuhan kami, jangan Kausesatkan hati kami setelah Kauberikan petunjuk kepada kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu. Sungguh, Kau maha pemberi) Surat Ali Imran ayat 8.

 

Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq membaca doa ini secara sirr atau perlahan setelah Surat Al-Fatihah pada rakaat ketiga shalat Maghrib. Dengan demikian, arti “Ihdinas shirātal mustaqīma” adalah rawatlah hidayah bagi kami dan jangan palingkan kami kepada selain hidayah. (Ibnu Katsir)

 

Ibnu Katsir mengutip At-Thabarani yang meriwayatkan pandangan Ibnu Abbas perihal Surat Al-Fatihah ayat 6. Ibnu Abbas mengatakan bahwa “As-Shirāthal mustaqīm” adalah ajaran yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW untuk kita. Oleh karena itu, kata Ibnu Jarir At-Thabari, menurut saya takwil paling utama atas Surat Al-Fatihah ayat 6 adalah “anugerahkan taufiq kepada kami untuk teguh pada apa yang Kauridhai dan Kauberikan kepada para hamba-Mu yang mendapat nikmat baik berupa ucapan maupun perilaku. Itulah ‘As-Shirāthal mustaqīm’ karena orang yang menerima taufiq; mereka yang menerima nikmat-Nya, yaitu para nabi, as-shiddiq, syuhada, dan orang saleh, adalah mereka yang diberi taufiq untuk Islam, membenarkan para rasul, berpegang pada Al-Qur’an, mengamalkan perintah-Nya, menahan diri dari larangan-Nya, mengikuti jalan hidup Nabi Muhammad, jalan hidup khulafaur rasyidin, dan jalan hidup semua orang saleh. Semua itu yang disebut ‘As-Shirāthal mustaqīm,’” (Ibnu katsir)

 

Al-Khazin dalam tafsirnya mengatakan bahwa surat Al-Fatihah ayat 6 berarti “Tunjukilah kami,” tetapi ada yang bilang, “Tetapkan kami pada petunjuk” sebagaimana kalimat yang ditujukan kepada orang yang memang sedang berdiri, “Berdirilah hingga aku kembali,” maksudnya tetaplah berdiri seperti ini.

 

Doa untuk mendapat hidayah meski mereka selama ini berada dalam hidayah bermakna permintaan untuk tetap iman dan permohonan tambahan hidayah. Pasalnya, anugerah (biasanya berupa spiritual) dan hidayah Allah tidak terbatas. Ini pandangan Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Shirat sendiri berarti jalan, jalan yang baik. Menurut Ibnu Abbas, “shirat” berarti agama Islam. Ada ulama lain bilang, “shirat” berarti Al-Qur’an. Ada juga ulama yang berpendapat, “shirat” berarti kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Ada juga ulama mengartikannya, “Tunjukilah kami jalan mereka yang berhak menerima surga.”

 

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan Surat Al-Fatihah ayat 6 bahwa jalan untuk mendapatkan hidayah terbagi dua, satu jalan dalil dan hujjah; dan kedua adalah jalan pembersihan batin dan riyadhah. Jalan pencarian dalil banyak tidak terhingga. Tiada satu pun atom di alam raya ini tanpa pembuktian pada kesempurnaan, kebesaran, dan keagungan Ilahi sebagaimana syair, “Pada setiap sesuatu menjadi tanda…yang menunjukkan bahwa Dia esa.” Ar-Razi menjelaskan kerapihan hukum alam yang ditentukan oleh Allah. Menurutnya, bukti di alam raya atas Allah banyak tak terhingga asal mau memikirkannya.

 

Adapun jalan pencarian hidayah melalui pembersihan batin dan riyadhah merupakan laut lepas yang tidak berpantai. Menurut Ar-Razi, semua orang yang berjalan menuju Allah memiliki caranya yang khas dan mempunyai mata airnya sendiri sebagaimana Al-Baqarah ayat 148. Kalangan arifin memperhatikan pembahasan yang dalam dan rahasia yang halus ketika pemahaman orang awam baru mulai menanjak. (Imam Fakhruddin Ar-razi).

 

Serupa dengan penjelasan sebelumnya, Syekh Jamaluddin Al-Qasimi menerangkan bahwa “shirath” secara bahasa berarti jalan terang dan jelas yang tidak berkelok, berbelok, melengkung, dan menikung, dalam pengertian empiris, fisik, material, visual, indrawi. Tetapi kata ini kemudian dipinjam untuk mengungkapkan setiap ucapan dan perbuatan yang dapat mengantarkan seseorang pada tuuan terpuji. Shirath atau jalan secara fisik dipinjam untuk hal yang metafisik, yaitu haq, atau kebenaran. Jika itu dilalui, maka jalan itu dapat mengantar seseorang pada tujuan mulia. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 23).

 

Ulama tafsir mengartikan “shirathal mustaqim” sebagai Al-Qur’an, haq, islam, apa yang diamalkan dan diajarkan rasul serta sahabat dan orang saleh, jalan yang baik, jalan surga, sunnah wal jamaah, jalan haji, petunjuk, taufiq, ilham, dalil.

 

Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami' li Ahkamil Qur'an mengatakan pandangan ulama tafsir atas Surat Al-Fatihah ayat 6 ini saling menguatkan satu sama lain. Orang yang mengikuti Islam, Al-Qur’an, atau Nabi Muhammad SAW, niscaya ia mengikuti haq. Imam At-Thabari juga berpendapat serupa. “Ihdina” adalah doa dan permohonan hamba kepada Allah. “Tunjukilah kami ke jalan lurus. Bimbing dan perlihatkan kami jalan hidayah yang mengantarkan kami pada kesenangan dan kedekatan-Mu.”

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah menjadikan kalimat doa di tengah surat ini sebagian berisi pujian dan berisi permohonan. Doa ini merupakan permintaan paling utama dari segala permintaan para pendoa karena doa ini dikatakan oleh-Nya dan kita berdoa dengan lafal permintaan yang merupakan kalam-Nya sebagaimana hadits, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah selain doa”.

 

Al-Qurthubi juga mengutip Fudhail bin Iyadh yang mengartikan “sirathal mustaqim” sebagai jalan haji. Ini tentu bersifat khusus. Pengertian jalan secara umum tentu lebih utama. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengartikannya sebagai agama Allah (Islam) yang mana agama lain tidak diterima olehnya. Sedangkan Ashim Al-Ahwal dari Abul Aliyah mengartikannya sebagai Rasulullah dan dua sahabat sepeninggalnya. (Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an).

 

Adapun Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir monumentalnya mengatakan bahwa ahli tafsir bersepakat bahwa “shirathal mustaqim” adalah jalan terang yang tidak bengkok.

 

Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasinut Ta’wil, mengartikan “shirathal mustaqim” sebagai jalan syariat. Lindungi dari penyesatan orang yang menyesatkan dan dari jalan syahwat, jalan syubhat. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 18). Hidayah dapat berarti ta’lim dan taskhir penundukkan seperti terhadap alam semesta dan hewan. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 15). Menurut Al-Qasimi, perbedaan pendapat ahli tafsir merupakan perbedaan dalam keragaman (ikhtilaf tanawwu’), bukan perbedaan dalam pertentangan (ikhtilaf tadhadud). (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 20).

 

Qadhil Qudhat Abus Sa‘ud bin Muhammad Al-Imadi Al-Hanafi (wafat 982 H) dalam tafsirnya, Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim, mengambil pengertian yang berbeda dari ahli tafsir pada umumnya. Ia mengartikan kata “al-mustaqīm” secara spesifik, yaitu lurus, maksudnya jalan haq; yaitu agama lurus yang toleran, tawasuth antara ifrath (ekstrem kanan dalam bentuk salafi, jihadi, takfiri) dan tafrith (ekstrem kiri, tasahhul, liberalisme-sekuler). (Abus Sa'ud, Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim, [Riyadh, Maktabatur Riyadh Al-Haditsah: tanpa tahun], juz I, halaman 30).

 

وكل هذه الأقوال صحيحة، وهي متلازمة، فإن من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، واقتدى باللذين من بعده أبي بكر وعمر، فقد اتبع الحق، ومن اتبع الحق فقد اتبع الإسلام، ومن اتبع الإسلام فقد اتبع القرآن، وهو كتاب الله وحبله المتين، وصراطه المستقيم، فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا، ولله الحمد.

 

Artinya, “Semua pendapat ini sahih dan itu lazim. Siapa saja yang mengikuti Nabi Muhammad SAW, dan dua sahabat sepeninggalnya, Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, adalah orang yang mengikuti jalan haq. Orang yang mengikuti jalan haq, ” Ibnu katsir

 

Al-Baghowi meriwayatkan dalam tafsirnya bahwa “As-shirathal mustaqīm” adalah Islam menurut Ibnu Abbas dan Jabir serta pendapat Muqatil; Al-Qur’an menurut Ibnu Mas’ud; kitabullah menurut Sayyidina Ali; jalan surga menurut Said bin Jubair; jalan sunnah wal jamaah menurut Sahal bin Abdullah; jalan Rasulullah menurut Bakar bin Abdullah Al-Muzanni; dan Rasulullah bersama dua sahabatnya menurut Abul Aliyah dan Al-Hasan. Secara bahasa, “As-shirathal mustaqīm” adalah jalan yang terang; jelas.

 

Ragam Pelafalan Ihdinas Shirātal Mustaqīm

 

Imam Al-Baghowi meriwayatkan bahwa “shirathal mustaqīm” dibaca dengan huruf sin, “ihdinas sirath” sebagaimana diriwayatkan oleh Uwais dari Ya’qub. Menurutnya, sirath dengan huruf sin inilah asalnya. Ia dinamai sirath dengan huruf sin karena ada kalimat “yasruthus sābilah” atau melalui jalan yang dilewati.

 

Ada lagi ulama, kata Imam Al-Baghowi, membacanya dengan huruf zai, “ihdinaz zirāthal mustaqīm.” Imam Hamzah membacanya dengan isymam pada huruf zai. Semua jenis bacaan ini shahih. Tentu, pilihan terbaiknya adalah membaca “shirat” dengan huruf shad karena ini bacaan mayoritas imam qiraah, sesuai mushaf. Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Nasaruddin Umar: Lesson Learning dari Covid-19 (8) Ketika Agama Mengalami Desakralisasi

Lesson Learning dari Covid-19 (8)

Ketika Agama Mengalami Desakralisasi

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Islam adalah sistem nilai yang sarat dengan ajaran sakral. Nilai-nilainya bersumber dari Tuhan yang biasanya melalui kitab suci. Nilai-nilainya berisi ajaran tuntunan kehidupan yang harus diikuti. Tuhan menjanjikan surga bagi yang mengikutinya dan menjanjikan neraka bagi yang menentangnya.

 

Ajaran agama bersifat sakral karena tuntunan langsung dari Tuhan. Berbeda dengan tuntunan yang merupakan produk kecerdasan manusia hanya bersifat luhur dan profane tetapi tidak sampai sakral. Desakralisasi ajaran agama, adar atau tidak sadar, akan berdampak pada kelestarian hidup alam semesta.

Setiap agama dapat dibedakan dengan ajaran yang bersumber langsung atau tidak langsung dari Tuhan melalui kitab suci-Nya. Islam mempunyai dua ajaran inti, yakni ajaran yang dasar dan ajaran non dasar. 

 

Ajaran dasar berisi aqidah dan Syari’ah yang mengatur perinnsip-perinsip dasar kehidupan manusia. Sedangkan ajaran non-dasar lebih bersifat kelengkapan dan aksesoris sebagai pengayaan dari ajaran dasar yang tertuang di dalam kitab suci. 

 

Ajaran-ajaran yang bersifat non dasar tidak sepenuhnya bisa disebut sakral karena di antaranya ada yang diadakan sendiri oleh manusia sebagai kelengkapan sistem ajaran. Biasanya diambil dari nilai-nilai kearifan lokal, misalnya tradisi perkawinan. 

 

Ajaran dasar perkawinan menurut syari’ah sangat  simpel: Ada dua calon pengantin laki-laki dan perempuan, ada wali yang mengawinkan, ada dua orang saksi utama, ada mahar yang diperuntukkan kepada calon mempelai perempuan, ada sighat perkawinan yang diucapkan oleh calon pengantin laki-laki.

Ajaran agama yang sakral ialah ajaran yang lansung secara tekstual ditemukan dasarnya di dalam kitab suci atau sabda nabi-Nya. Contohnya, petunjuk Al-Qur’an atau hadis untuk melakukan berbagai kewajiban seperti ibadah mahdhah, berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menghindari larangan-Nya. 

 

Sedangkan contoh ajaran yang dihubungan dengan agama tetapi tidak dianggap sakral ialah ajaran yang lahir sebagai kreasi penganutnya seperti tradisi yang menyertai rukun dan syarat perkawinan. 

Perkawinannya sendiri sakral sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an dengan perjanjian suci (mitsaqan galidhan). Akan tetapi upacara lamaran dan variasi adat yang melekat pada upacara perkawinan hanya merupakan nilai profane, bukan nilai sakral.

 

Upaya untuk melakukan desakralisasi ajaran agama dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Ada desakralisasi ajaran karena kepentingan politik seperti penafian simbol-simbol agama untuk melindungi calon pemimpin di luar garis meanstream agama (Islam). 

 

Contohnya upaya sekelompok orang untuk memisahkan secara total antara urusan agama dan negara yang dalam Islam merupakan satu kesatuan atau sistem yang sulit dipisahkan  dengan keseluruhan nilai-nilai Islam. 

 

Ada juga dengan kepentingan ekonomi misalnya keengganan untuk membicarakan soal riba di dalam sebuah sistem perekonomian hanya lantaran ingin menyedot keuntungan lebih banyak.

 

Ada kepentingan etnik, misalnya lebih mengedepankan kriteria etnik kedaerahan ketimbang nilai-nilai universal keagamaan, hanya karena ingin mengunggulkan etnisitasnya. Yang lainnya karena demi kepentingan sains maka kloning manusia nekat dilakukan sementara urusan bodi manusia itu tabu dalam Islam. 

 

Desakralisasi agama sama bahayanya dengan upaya sekelompok orang untuk melakukan sakralisasi nilai-nilai profan. Sesungguhnya sebuah nilai yang diperjuangkan bukan nilai sakral tetapi diupayakan untuk disakralkan lantaran ada kepentingan tertentu. 

 

Tegasnya, sakralisasi nilai-nilai non sakral sama bahayanya dengan desakralisasi nilai-nilai sakral. Allahu a’lam. []

 

REPUBLIKA, 07 Juli 2021

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) Bagaimana Memandikan Jenazah Pasien Covid-19 dalam Fiqih?

Pertanyaan:


Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, jenazah pasien Covid-19 apakah tetap wajib dimandikan? Kalau wajib, bagaimana caranya? Sedangkan pemandian jenazah juga berisiko tinggi pada penularan menurut medis. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.

 

Hamba AllahSurabaya

 

Jawaban:

 

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Jenazah pasien Covid-19 muslim memiliki kedudukan dan perlakuan sama dengan jenazah muslim pada umumnya, yaitu wajib dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan.

 

Berdasarkan keterangan Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jenazah muslim wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan:

 

وغسل الميت فرض كفاية بإجماع المسلمين, ومعنى فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين, وإن تركوه كلهم أثموا كلهم, واعلم أن غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف

 

Artinya, “(Hukum) pemandian mayit adalah fardhu kifayah berdasarkan ijmak. Makna fardhu kifayah adalah apabila kewajiban itu sudah dilakukan oleh orang/kelompok yang dianggap mencukupi, maka gugurlah tanggungan bagi yang lain. Jika sama sekali tidak ada yang melakukannya, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sungguh pemandian mayit, pengafanannya, penshalatannya, adalah fardhu kifayah tanpa khilaf.” (An-Nawawi, Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, juz V, halaman 128).

 

Adapun cara pemandian jenazah pasien Covid-19 harusnya dilakukan dengan menggunakan peralatan yang dapat mencegah penularan penyakit tersebut. Pemandian dilakukan oleh orang yang profesional atau petugas kesehatan dengan harus melindungi diri dan memastikan keamanannya (menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, masker, dan desinfeksi diri) agar tidak tertular virus dari jenazah.

 

Tetapi, jika menurut ahli pemandian jenazah Covid-19 dengan cara umum tersebut masih membahayakan orang yang memandikan atau penyebaran virusnya, maka jenazah tersebut boleh dimandikan dengan cara penuangan air ke badan jenazah saja, tanpa dalku (digosok). Keterangan ini dapat ditemukan pada Al-Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah sebagai berikut:

 

أَمَّا إِنْ كَانَ لاَ يَنْقَطِعُ بِصُبِّ الْمَاءِ فَلاَ يُتَيَمَّمُ بَلْ يُغْسَلُ بِصُبِّ الْمَاءِ بِدُوْنِ دَلْكٍ

 

Artinya, “Adapun jika (tidak dikhawatirkan) akan rontok bila sekadar dituangi air, maka tidak boleh ditayamumi, namun harus dimandikan dengan cara dituangi air tanpa digosok," (Abdurrahman Al-Juzairi, Al-Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M], jilid I, halaman 476).

 

Demikian jawaban singkat yang kami kutip dari putusan Lembaga Bahtsul Masail PBNU pada 21 Maret 2020, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Kamis, 29 Juli 2021

(Do'a of the Day) 19 Dzulhijjah 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Sami’naa wa atha’naa ghufraa naka rabbanaa wailaikal mashiiru.

 

Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.

 

QS. Al Baqarah (2) ayat 285, Juz 1.

(Khotbah of the Day) Kurban sebagai Perwujudan Takwa

KHUTBAH IDUL ADHA

Kurban sebagai Perwujudan Takwa


Khutbah I

 

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

 

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ اِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

 

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الْقَهَّارِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى نِعَمٍ تَتَوَالَى كَالْأَمْطَارِ وَأَشْكُرُهُ عَلَى مُتَرَادِفِ فَضْلِهِ الْمِدْرَارِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُنْجِيْ قَائِلَهَا مِنَ النَّارِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْمُخْتَارُ. اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ أَفْضَلَ مَنْ حَجَّ وَاعْتَمَرَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الأَبْرَارِ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ عِبَادَ اللهِ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

 

Hadirin yang dimuliakan Allah,

 

Pada pagi yang cerah ini marilah kita panjatkan segala puji dan syukur ke hadirat Allah yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan kenikmatan sehingga kita dapat hadir di tempat ini untuk menunaikan salah satu ibadah yang diperintahkan kepada kita sambil mengumandangkan kalimat-kalimat yang agung, takbir, dan tahmid, yang semuanya kita tujukan kepada keagungan dan kebesaran Allah.

 

Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Besar Muhammad yang telah memberi petunjuk-petunjuk yang benar kepada kita, yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

 

Hadirin kaum Muslimin yang dirahmati Allah,

 

Setiap tahun, dalam suasana menyambut hari raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah, kita mengumandang-kan kalimat-kalimat tauhid, takbir, tahmid, dan tahlil. Mengumandangkan kalimat tauhid menunjukkan suatu pengakuan yang kokoh bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kalimat takbir memberi kesan yang kuat dalam diri kita bahwa Allah Mahabesar dan Mahaagung, tidak ada satu pun yang dapat menyamai kebesaran dan keagungan-Nya. Kalimat tahmid mengandung makna bahwa zat yang patut dipuji hanyalah Allah swt dan pujian seluruhnya hanya diperuntukkan bagi-Nya. Kalimat tahlil menegaskan kalimat tahmîd bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah.

 

Kalimat-kalimat agung itu pada saat kini tengah menggema di mana-mana, dikumandangkan oleh umat Islam di seluruh dunia, baik yang ada di belahan barat, di belahan timur, di belahan utara, dan belahan selatan. Pendek kata, kalimat-kalimat itu sedang dikumandangkan oleh umat Islam di seluruh pelosok dunia. Sementara di tempat nan jauh di sana, di tanah suci Makkah, tempat terpancarnya fajar Islam, umat Islam, tamu Allah, yang sedang menunaikan ibadah haji menyerukan pula kalimat talbiyah, yaitu:

 

لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ

 

Artinya: “Kupenuhi panggilan-Mu ya Allah, kupenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagimu, sesungguhnya puja, limpahan karunia dan kekuasaan hanya pada-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu.”

 

Kalimat takbir, tahmid, dan talbiyah itu ditanamkan ke dalam hati, ditancapkan ke lubuk jiwa yang dalam, sehingga pengaruhnya terpancar dalam wujud nyata yang direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan amal ibadah. Pengakuan kita terhadap kebesaran Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya, pengakuan kita bahwa tidak ada yang patut dipuji melainkan Allah, kepatuhan kita untuk meninggalkan larangan-larangan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan pengakuan mereka dalam memenuhi panggilan-Nya untuk menunaikan ibadah haji itu, merupakan realisasi dari apa yang kita ucapkan dan yakini.

 

Hadirin jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah,

 

Hari raya Idul Adha yang juga disebut hari raya Kurban mengingatkan kita kepada Nabiyullah Ibrahim as bersama putranya, Ismail. Ismail adalah putra tunggal Nabi Ibrahim yang telah bertahun-tahun dirindukan kehadirannya. Sebagai putra tunggal, Ismail sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Dalam suasana saling kasih sayang seperti itu, turunlah perintah dari Allah kepada sang ayah, yaitu Nabi Ibrahim, untuk melakukan kurban dengan menyembelih anak kandungnya sendiri, yaitu Ismail. Nabi Ibrahim as, dengan penuh ketaatan dan kepatuhan bersedia melaksanakan perintah itu, dan ketika diceritakan oleh Ibrahim kepada Ismail tentang adanya perintah dari Allah untuk menyembelihnya, Nabi Ismail tidak gentar sedikit pun juga. Ia rela menerima perintah itu dan meyakinkan ayahnya bahwa ia menerima perintah itu juga dengan penuh ketaatan dan kesabaran.

 

Keduanya dengan jelas telah sama-sama menunjukkan sikap ingin berkorban yang luar biasa besarnya. Kesediaan Nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah itu, dan kerelaan Ismail untuk menerima perintah itu, merupakan perwujudan dari kepatuhan mereka yang tiada taranya terhadap perintah Allah. Kita dapat membayangkan bagaimana kalau kita sendiri yang hanya mempunyai putra satu-satunya, dan anak satu-satunya, rela menyembelihnya demi untuk menjalankan perintah Allah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail telah melaksanakan perintah itu dengan penuh ketaatan, penuh kerelaan, dan ketenangan serta penuh penyerahan diri.

 

Pengorbanan yang dilakukan oleh kedua hamba Allah terebut merupakan ujian dan pengorbanan yang amat besar, yang tiada bandingan dan taranya dalam sejarah umat manusia sampai hari ini. Pengorbanan dan ujian yang beliau berdua lakukan itu kini tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa yang diabadikan sepanjang masa, yang kita namakan Idul Qurban. Pengorbanan dan ujian seperti itu kiranya dapat kita tanamkan dalam hati sebagai pelajaran yang berharga. Sebaliknya, alangkah kecilnya ujian dan pengorbanan kita yang hanya mengorbankan sebagian dari apa yang kita miliki demi memenuhi perintah Allah dalam hari raya Kurban ini.

 

Hadirin jamaah Idul Adha,

 

Pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail patut kita teladani dan ikuti, dalam pengertian bahwa kita, dengan kemampuan yang ada, bersedia mematuhi dan menaati perintah Allah dengan mengorbankan sebagian dari harta yang kita miliki dan mengorbankan apa yang kita lakukan yang dipandang tidak sesuai dengan perintah dan tuntunan Allah. Pada hari raya Idul Adha diperintahkan kepada mereka yang mampu untuk menunjukkan kesediaan berkurban dengan penyembelihan seekor hewan ternak.

 

Penyembelihan terhadap hewan kurban itu mengalirkan darah dan menghasilkan daging yang akan dibagi-bagikan kepada yang berhak. Patut kiranya dicatat bahwa yang dinilai oleh Allah dalam penyembelihan itu bukan darah yang terpancar dan bukan pula daging yang bergelimpangan itu, melainkan kesucian jiwa dan keikhlasan hati serta kesediaan melakukan kurban. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an, Surat Al-Hajj (22) ayat 37:

 

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْ

 

Artinya: “Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darah kurban itu, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah takwamu.”

 

Kesucian jiwa dan keikhlasan hati dalam melaksanakan kurban merupakan satu unsur yang sangat urgen yang harus mendapat perhatian kita. Hal ini merupakan landasan yang menjadi dasar dalam melaksanakan segala perbuatan dan ibadah kita. Pernyataan Allah dalam ayat di atas menunjukkan bahwa pengorbanan yang ditampilkan tidak dilihat dari segi materi, kuantitas, dan bentuk lahiriahnya, tetapi yang dilihat adalah keikhlasan dan niat yang memberi kurban.

 

Perintah berkurban yang ditujukan kepada Nabi Ibrahim dengan menyembelih putranya, Ismail, pada hakikatnya adalah ujian bagi kekuatan iman dan takwa Nabi Ibrahim dan Ismail. Allah ingin melihat sejauh mana kerelaan dan kesediaan keduanya di dalam melaksanakan perintah itu. Akhirnya, keduanya telah lulus dari ujian Allah dan telah sanggup menunjukkan kualitas iman dan takwa mereka, dan dengan kekuasaan Allah Nabi Ismail yang ketika itu hendak disembelih digantikan dengan seekor kibas oleh Allah.

 

Allahu akbar 3X

Hadirin yang berbahagia,

 

Agama kita menetapkan untuk menyembelih kurban binatang, berupa hewan ternak: domba, kambing, kerbau, sapi atau unta. Yang dikurbankan adalah binatang. Ini mengandung setidaknya dua makna, yaitu (1) sifat-sifat kebinatangan yang terdapat dalam jiwa seseorang harus dikurbankan dan disembelih, dan (2) jiwa dan perbuatan seseorang harus dilandasi dengan tauhid, iman, dan takwa.

 

Sangat banyak sifat kebinatangan yang terdapat dalam diri manusia, seperti sifat mementingkan diri sendiri, sifat sombong, sifat yang menganggap bahwa hanya golongannyalah yang selalu benar, serta sifat yang memperlakukan sesamanya atau selain golongannya sebagai mangsa, atau musuh. Sifat kebinatangan yang selalu curiga, menyebarkan isu yang tidak benar, fitnah, rakus, tamak, dan ambisi yang tidak terkendalikan, tidak mau melihat kenyataan hidup, tidak mempan diberi nasihat, tidak mampu mendengar teguran, dll merupakan sifat-sifat yang tercela dalam pandangan Islam. Sifat-sifat yang demikian, jika tetap dipelihara dan bercokol di dalam diri seseorang, akan membawa kepada ketidakstabilan dalam hidupnya, ketidak-harmonisannya dengan lingkungannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sifat-sifat yang demikian ini akan memudahkan jalan bagi terciptanya perpecahan dan ketidaktenteraman dalam kehidupan. Ajaran Islam dengan ajaran kurbannya menghendaki agar seorang Muslim mau mengorbankan sifat-sifat seperti itu dengan tujuan agar kestabilan dan ketenteraman hidup dalam masyarakat dapat diwujudkan dan kedamaian antara sesama manusia dapat direalisir.

 

Ajaran Islam menghendaki agar kurban yang disampaikan harus binatang yang sempurna sifat-sifatnya, jantan, tidak buta, tidak lumpuh, tidak kurus, dan tidak cacat. Ini mengandung makna bahwa di dalam melakukan kurban, beramal, dan berkarya setiap Muslim dituntut untuk berusaha dalam batas-batas kemampuan maksimal, dengan mengerahkan tenaga secara optimal, tidak bermalas-malasan, tidak melakukan sesuatu dengan sembrono. Allah menyatakan dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah (9): 105:

 

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ

 

Katakanlah: Berusaha dan bekerjalah karena Allah dan Rasul-Nya serta orang beriman akan melihat menilai amal kalian itu.

 

Sejalan dengan ayat itu, Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah (2): 148 yang berbunyi:

 

فَاسْتَبِقُوْا الْخَيْرَاتِ

 

“Berlomba-lombalah untuk melakukan kebajikan.”

 

Agama Islam memerintahkan untuk berkurban dan beramal semaksimal kemampuan, karena agama Islam sendiri adalah dinul-udhiyah (agama pengorbanan) dan dinul-‘amal (agama yang mengutamakan karya nyata dan usaha). Iman kepada Allah yang kita yakini harus disertai dengan amal perbuatan nyata dalam kehidupan kita. Dalam pandangan agama, iman saja, tanpa amal, tidaklah cukup dan beramal tanpa dilandasi dengan iman tidaklah bernilai. Itulah sebabnya, maka dalam Islam, iman dan amal merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tidakkah kita perhatikan banyak ayat dalam Al-Qur'an yang menyatakan secara tegas bahwa kata iman yang diungkapkan dalam bentuk آمَنُوْا (orang-orang yang beriman) selalu dirangkaikan dan diikuti oleh kata وَعملوا الصالحات (dan beramal saleh). Salah satu di antaranya adalah ayat-ayat yang terdapat Surat Al-‘Ashr (103) yang menggambarkan bahwa orang-orang yang tidak mengalami kerugian adalah mereka yang beriman dan melakukan amal saleh. Allah menyatakan:

 

وَالْعَصْرِ. إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.

 

Demi waktu. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling menasihati dan menganjurkan kepada kebenaran dan kesabaran.

 

Allahu Akbar 3X

Hadirin yang berbahagia,

 

Pengorbanan sebagai perlambang bahwa jiwa dan perbuatan seseorang harus dilandasi dengan tauhid, iman, dan takwa, dapat memberikan arti bahwa kita dituntut untuk meyakini keesaan Allah, dan apa yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk Allah. Ajaran kurban ini juga mengisyaratkan makna yang mendalam agar kita dapat mengorbankan segala sikap dan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan ajaran Allah. Kita dituntut untuk mengorbankan, menyembelih, mengikis habis kebiasaan-kebiasaan yang dipandang merusak akidah itu, kemudian kita gantikan dengan sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akidah Islam dan ketauhidan yang diajarkannya.

 

Kalau Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk mengorbankan putra tunggalnya, Ismail dan orang-orang yang berkemampuan dan berkecukupan diperintahkan untuk mengorbankan hewan, maka kita pun sebagai orang yang tidak berkecukupan, tetapi memiliki sifat, sikap, dan perbuatan yang mengarah kepada pelanggaran terhadap perintah-perintah Allah, dituntut untuk mengorbankan sifat-sifat itu dan menjauhinya, dan dituntut untuk kembali kepada akidah Islam dan sikap-sikap yang mengarah kepada ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Kalau kita tidak mampu berkurban dengan hewan, kita mampu berkorban dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang agama.

 

Hadirin yang dirahmati Allah,

 

Kita sebagai abdi bangsa, selayaknya memahami dan menghayati semangat kurban itu. Amanat dan tugas kita masing-masing harus dilakukan dengan penuh pengabdian dan tanggung jawab yang tulus dengan mengorbankan sebagian dari waktu dan tenaga kita untuk bekerja dan menekuni pekerjaan dan tugas kita masing-masing semaksimal dan sesempurna mungkin, seperti semangat kesempurnaan yang dituntut bagi hewan kurban itu. Kita harus menanamkan dalam diri kita tekad untuk melakukan semua pekerjaan yang diembankan kepada kita dengan ketulusan dan keikhlasan beramal, agar semua itu mendapat nilai pahala di sisi Allah yang akan dinikmati di hari akhir nanti.

 

Pada masa yang kita alami sekarang ini, pada saat-saat bangsa dan negara kita masih berada dalam suasana krisis, suasana bangsa yang menuntut konsep pemikiran yang tepat dan etos kerja yang lebih tinggi, kita harus rela berkurban, materiil, tenaga, maupun jiwa untuk segera mengembalikan suasana ini kepada suasana yang lebih kondusif, dari suasana keterpurukan ekonomi kepada suasana kestabilan dan ketenteraman. Hal ini semua sudah tentu harus dilakukan secara sungguh-sungguh sesuai tugas dan kewenangan masing-masing.

 

Kita yang berkecimpung dalam bidang pendidikan dan pengajaran sudah barang tentu dituntut pengorbanan untuk meningkatkan pendidikan dan pengajaran bagi generasi bangsa dan menciptakan konsep-konsep pendidikan yang tepat untuk mencapai hasil pendidikan yang lebih optimal dan siap pakai di masa mendatang.

 

Kita tahu bahwa setiap zaman mempunyai karakteristik yang berbeda; zaman yang lalu berbeda dengan zaman sekarang, zaman sekarang berbeda dengan zaman yang akan datang, dan zaman kita sekarang akan berbeda dengan zaman generasi kita berikutnya. Tidakkah kita merenungkan, bahwa suasana zaman ketika kita masih kanak-kanak sangat berbeda keadaannya dengan zaman ketika kita telah dewasa sekarang ini. Keadaan seperti itu sudah cukup menjadi dasar untuk memberikan modal yang terbaik buat generasi dan anak-anak kita. Modal yang paling utama yang harus diberikan kepada mereka, menurut Rasulullah, adalah pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai bagi generasi itu untuk menghadapi kehidupan mereka di masa datang. Suasana kehidupan dunia di masa-masa sesudah kita ini, tantangannya jauh lebih berat dan lebih kompleks. Untuk itu semua, kita sekarang, pada masa kita ini, dituntut untuk mengorbankan segala yang kita miliki untuk menyerahkan yang terbaik dan berharga bagi kemajuan generasi, bangsa, dan negara di masa datang sesuai dengan bidang tugas kita masing-masing. Dengan begitu, kita berharap generasi bangsa kita di masa yang akan datang akan dapat berintegrasi dan beradaptasi dengan lingkungan serta dapat menghadapi tantangan-tantangan hidup dengan bekal pengetahuan yang cukup dan keterampilan yang memadai. Insya Allah.

 

Allahu Akbar 3X

Hadirin yang jamaah shalat Idul Adha,

 

Marilah pada hari raya Idul Adha ini kita melihat kembali pandangan kita tentang Islam, memperbaharui pandangan kita, dan memperbaiki sikap kita yang selama ini dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam yang sebenarnya adalah Islam yang tidak hanya menuntut kita mengucapkan syahadat, mengaku beriman dan bertakwa, tetapi juga lebih dari itu harus berusaha dan beramal, bahkan semaksimal yang dapat dilakukan. Islam tidak hanya menuntut untuk beribadah semata, tidak hanya salat semata, tidak hanya puasa saja, tidak hanya menunaikan zakat saja, dan lain-lainnya, tetapi juga menuntut untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dan kebahagiaan hidup di dunia. Islam tidak hanya menekankan urusan dunia, atau sebaliknya, tetapi menekankan adanya keseimbangan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tidakkah kita perhatikan doa pendek yang amat populer yang kita baca:

 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّيْنَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

 

Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari siksaan api neraka.

 

Marilah kita dengan idul adha ini kita pupuk dan tingkatkan persatuan dan kesatuan, rapatkan barisan, tingkatkan kedisiplinan dan semangat kerja, kobarkan semangat berkurban, karena dengan itu semua pembangunan yang kita canangkan untuk mewujudkan kemaslahatan hidup kita sebagai bangsa dapat kita capai, dengan dilandasi tauhid, iman, dan takwa kepada Allah dan sesuai dengan tuntunan ajaran agama kita.

 

Allahu Akbar 3X wa lillahi al-hamd.

Hadirin yang semoga dirahmati Allah,

 

Untuk sempurnanya rangkaian ibadah Idul Adha kita pada pagi hari ini marilah kita bersama-sama menengadahkan tangan untuk memohon doa kepada Allah.

 

Ya Allah, pada hari ini kami baru saja menunaikan salah satu perintah-Mu, menunaikan salat Idul Adha sambil memuji kebesaran-Mu dan mensyukuri nikmat-Mu.

 

Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami mempunyai kekurangan, kekhilafan, dan dosa terhadap-Mu. Karena itu, ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa kami, yang besar maupun yang kecil, yang disengaja maupun tidak, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang baru maupun yang lama, sehingga kami menjadi orang yang bersih, tanpa dosa, karena Engkaulah Yang Maha Mengetahui apa yang kami lakukan.

 

Ya Allah Yang Mahaperkasa, berilah kami umur panjang dan kekuatan lahir dan batin untuk melaksanakan perintah-Mu dan melaksanakan pembangunan masyarakat dan bangsa kami. Berilah petunjuk kepada pemimpin-pemimpin kami sebagaimana Engkau memberi petunjuk kepada para Nabi-Mu, Rasul-Mu, dan orang-orang saleh sebelum kami agar kami semua dapat hidup sesuai dengan tuntunan-Mu. Jauhkanlah bangsa dan negara kami dari segala ujian dan cobaan yang tidak sanggup kami pikul, dan tunjukkanlah kami dan pemimpin-pemimpin kami jalan terbaik untuk memecahkan berbagai persoalan dan krisis yang dialami oleh bangsa dan negara kami. sehingga kami dapat segera terlepas dari krisis yang memperpuruk ekonomi kami. Karena kami yakin, Engkau, ya Allah, adalah penuntut ke jalan yang benar.

 

Ya Allah yang Maha pengasih, pada saat ini kami sedang ditimpa pandemi Covid 19, yang sudah mewabah di seluruh tanah air kami dan bahkan seluruh dunia. Jika pandemi ini menjadi ujian bagi kami karena dosa dan kesalahan kami, kami memohon kepada-Mu atas semua dosa kami, dan memohon agar Engkau menjauhkan pandemi ini dari kami. Jika pandemi ini menjadi bala’ bagi kami, berilah kekuatan kepada kami untuk menghadapi ini dengan penuh sabar, syukur, dan tawakal kepada-Mu, dan memohon kepada-Mu agar Engkau menolak bala’ ini dari kami semua.

 

Ya Allah tunjukkanlah rahmat-Mu kepada para generasi muda bangsa kami, generasi penerus perjuangan pemimpin kami, untuk tetap mematuhi perintah-Mu dan meninggalkan segala larangan-Mu. Tunjukkanlah jalan kepada mereka yang telah bergelimang dengan narkoba dan segala perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunan-Mu, untuk kembali kepada jalan-Mu, jalan yang Engkau ridai, dan amankanlah serta jauhkanlah mereka yang belum mengalami hal demikian dari segala yang membahayakan, karena merekalah generasi penerus yang diharapkan dapat meneruskan perjuangan bangsa kami di masa mendatang.

 

Ya Allah, perkuatlah iman dan takwa kami, karena kami yakin, tidak ada yang dapat memberi kekuatan kepada kami selain Engkau. Perkenankanlah segala permohonan kami, Ya mujib al-sa'ilin.

 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الأَبْرَارِ يَا عَزِيْزُ بَا غَفَّارُ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ. وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

 

Khutbah II

 

اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ، اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ، اللّٰهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُولُهُ، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ المَيَامِيْنَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاتَّقُوا اللّٰهَ تَعَالَى فِي هٰذَا الْيَوْمِ الْعَظِيمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الصَّالحينَ

 

اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلْ عِيْدَنَا هٰذَا سَعَادَةً وَتَلَاحُمًا، وَمَسَرَّةً وَتَرَاحُمًا، وَزِدْنَا فِيهِ طُمَأْنِينَةً وَأُلْفَةً، وَهَنَاءً وَمَحَبَّةً، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا بِالْخَيْرِ وَالرَّحَمَاتِ، وَالْيُمْنِ وَالْبَرَكَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلِ الْمَوَدَّةَ شِيمَتَنَا، وَبَذْلَ الْخَيْرِ لِلنَّاسِ دَأْبَنَا، اللّٰهُمَّ أَدِمِ السَّعَادَةَ عَلَى وَطَنِنَا، وَانْشُرِ الْبَهْجَةَ فِي بُيُوتِنَا، وَاحْفَظْنَا فِي أَهْلِينَا وَأَرْحَامِنَا، وَأَكْرِمْنَا بِكَرَمِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ، يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ.

 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، عِيْدٌ سَعِيْدٌ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

 

 

Prof Dr KH Ahmad Thib Raya, MA, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta