Jumat, 30 Desember 2022

(Do'a of the Day) 06 Jumadil Akhir 1444H

اَللَّهُمَ ارْزُقْنَى لَذَّةَ النَّظَرِ اِلَى وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَالشَّوْقِ إِلَى لِقَائِكَ.

 

Yaa gusti Allah... Anugerahkanlah kepada kami kenikmatan memandang Dzat-Mu Yang Maha Mulia dan kenikmatan berjumpa dengan-Mu.

 

Al Faatihah...

(Khotbah of the Day) Manfaat Introspeksi Diri di Akhir Tahun

KHUTBAH JUMAT

Manfaat Introspeksi Diri di Akhir Tahun

 

Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ نَوَّرَ قُلُوْبَ أَوْلِيَائِهِ بِأَنْوَارِ الْوِفَاقِ، وَرَفَعَ قَدْرَ أَصْفِيَائِهِ فِيْ الْأَفَاقِ، وَطَيَّبَ أَسْرَارَ الْقَاصِدِيْنَ بِطِيْبِ ثَنَائِهِ فِيْ الدِّيْنِ وَفَاقَ، وَسَقَى أَرْبَابَ مُعَامَلَاتِهِ مِنْ لَذِيْذِ مُنَاجَتِهِ شَرَابًا عَذْبَ الْمَذَاقِ، فَأَقْبَلُوْا لِطَلَبِ مَرَاضِيْهِ عَلَى أَقْدَامِ السَّبَاقِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْبَرَرَةِ السَّبَاقِ، صَلَاةً وَسَلَامًا اِلَى يَوْمِ التَّلَاقِ


أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً صَفَا مَوْرِدُهَا وَرَاقَ، نَرْجُوْ بِهَا النَّجَاَةَ مِنْ نَارٍ شَدِيْدَةِ الْإِحْرَاقِ، وَأَنْ يَهُوْنَ بِهَا عَلَيْنَا كُرْبُ السِّيَاقِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَشْرَفُ الْخَلْقِ عَلَى الْاِطْلَاقِ، اَلَّذِيْ أُسْرِيَ بِهِ عَلَى الْبُرَاقِ، حَتَّى جَاوَزَ السَّبْعَ الطِبَاقَ


أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَقَالَ أَيْضًا: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

 

Memanjatkan puji syukur kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw merupakan kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap khatib dalam khutbahnya. Selain itu khatib juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan dan mengingatkan jamaah tentang wasiat ketakwaan. Oleh karenanya pada momentum khutbah kali ini, khatib mengajak kepada seluruh jamaah untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah dan menyampaikan shalawat pada Rasulullah sekaligus meningkatkan ketakwaan kepada Allah. 


Bagaimana cara meningkatkan takwa? Yakni dengan senantiasa lebih semangat lagi menjalankan segala perintah Allah dan sekuat tenaga meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. Dengan upaya inilah, kita akan mampu terus berada pada jalur yang telah ditentukan oleh agama sehingga tidak melenceng dan tersesat ke jalan yang tidak benar.


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

 

Memang kehidupan kita di dunia ini seperti melewati sebuah jalan dengan lintasan penuh dengan dinamika dan tantangan. Medan terjal yang harus terus kita daki, hingga medan menurun dan mendatar, tak boleh membuat kita terlena. Perjalanan kita menyisakan masa lalu sebagai pengalaman, masa kini sebagai kenyataan, dan masa yang akan datang sebagai harapan. Sehingga kita butuh rambu-rambu agar kita senantiasa lancar dan selamat sampai ke tujuan dan ketakwaan lah rambu-rambu yang mampu memandu kita berada pada jalan yang benar dan bekal yang paling baik dalam perjalanan.


وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ


Artinya: “Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat,” (QS Al-Baqarah: 197)


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

 

Dalam sebuah perjalanan panjang, kita haruslah menyempatkan diri berhenti istirahat untuk mengumpulkan kembali semangat dan tenaga guna melanjutkan perjalanan. Begitu juga dalam kehidupan di dunia, kita mesti harus menyediakan waktu untuk melakukan introspeksi, evaluasi, menghitung, sekaligus kontemplasi yang dalam bahwa Arab disebut dengan muhasabah. Pentingnya muhasabah ini, Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur:


حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا 


Artinya: “Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”


Dalam sebuah hadits riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda:


الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ 


Artinya: “Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.”


Sementara dalam Al-Qur’an Allah juga telah mengingatkan pentingnya melakukan introspeksi diri dengan melihat apa yang telah kita lakukan pada masa lalu untuk mengahadapi masa depan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

 

Dari perintah Allah dan Rasul serta nasihat dari para sahabat, kita bisa mengambil beberapa catatan penting tentang manfaat dari introspeksi diri ini. Setidaknya, ada 5 manfaat yang bisa kita rasakan dari upaya melakukan ‘charging’ (mengecas) semangat hidup melalui introspeksi diri ini. 


Pertama adalah sebagai wahana mengoreksi diri. Dengan introspeksi diri, kita akan mampu melihat kembali perjalanan hidup sekaligus mengoreksi manakah yang paling dominan dari perjalanan selama ini. Apakah kebaikan atau keburukan, apakah manfaat atau mudharat, atau apakah semakin mendekat atau malah menjauh dari Allah swt. Kita harus menyadari bahwa semua yang kita lakukan ini harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:


الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ 


Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (Q.S. Yasin: 65)


Kedua adalah upaya memperbaiki diri. Dengan introspeksi diri, kita akan mampu melihat kelebihan dan kekurangan diri yang kemudian harus diperbaiki di masa yang akan datang. Dengan memperbaiki diri, maka kualitas kehidupan akan lebih baik dan waktu yang dilewati juga akan senantiasa penuh dengan manfaat dan maslahat bagi diri dan orang lain.


Ketiga adalah momentum mawas diri. Diibaratkan ketika kita pernah memiliki pengalaman melewati jalan yang penuh lika-liku, maka kita bisa lebih berhati-hati ketika akan melewatinya lagi. Mawas diri akan mampu menyelamatkan kita dari terjerumus ke jurang yang dalam sepanjang jalan. Allah berfirman:


وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا عَلٰى رَسُوْلِنَا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ 


Artinya: “Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul serta berhati-hatilah! Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (ajaran Allah) dengan jelas.”


Keempat adalah memperkuat komitmen diri. Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Oleh karenanya, introspeksi diri menjadi waktu untuk memperbaiki diri dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kembali kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu. Jangan jatuh di lubang yang sama. Buang masa lalu yang negatif, lakukan hal positif hari ini dan hari yang akan datang. Rasulullah bersabda:


مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
 

Artinya: “Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim).


Kelima sebagai sarana meningkatkan rasa syukur dan tahu diri. Kita harus sadar se-sadar-sadarnya bahwa keberadaan kita sampai dengan saat ini sama sekali tak bisa lepas dari nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan Allah. Oleh karenanya, introspeksi diri akan membawa kita mengingat nikmat yang tak bisa dihitung satu persatu. Jangan sampai kita menjagi golongan orang-orang yang tak tahu diri dan kufur kepada nikmat Allah. Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7: 


لَئِنْ شَكَرْتُمْ لاَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ  


Artinya: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

 

Dari uraian ini, mari kita senantiasa melakukan introspeksi diri setiap saat. Terlebih saat ini kita berada pada ujung tahun dan akan memasuki tahun baru yang menjadi waktu ideal untuk melakukan introspeksi diri. Semoga kita senantiasa mendapatkan petunjuk yang terbaik dari Allah dan mampu melihat perjalanan tahun lalu untuk menjalani tahun yang akan datang. Amin.


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْاَنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِلَهٌ لَمْ يَزَلْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ، اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُمْ مِنَ التَّابِعِيْنَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِيْنَ


أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ. وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالصَّوْمِ وَجَمِيْعِ الْمَأْمُوْرَاتِ وَالْوَاجِبَاتِ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلَائِكَةِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً


اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ العَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَن، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ


عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 


H Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Kabupaten Pringsewu

(Hikmah of the Day) Kewafatan Ulama Penyebab Alam Menjadi Sakit dan Solusinya

Akhir-akhir ini kabar kewafatan ulama sering kita dengar, dari mulut ke mulut, dari media ke media lainnya. Seolah bumi sedang mempersiapkan diri untuk mengakhiri keberadaannya. Orang-orang saleh dipanggil satu persatu dan hanya menyisakan kisah-kisah terbaik mereka di dunia.

 

Keberadaan ulama dan orang-orang saleh menjaga keberlangsungan dunia, mereka penuntun menuju kebenaran dan pengarah menuju kebaikan. Kehilangan salah satu dari mereka menunjukkan berkurangnya penuntun dan pengarah perihal bagaimana hidup di dunia secara semestinya. Saat ini, dunia sudah mengambil hiasan-hiasan yang sangat berharga dan diistirahatkan di alam yang berbeda, yaitu alam keabadian bersama dengan Tuhan.

 

Kehilangan mereka menjadi musibah luar biasa yang perlu ditangisi dengan hati ikhlas dan penuh rasa takut, sebab dengan kewafatan mereka, manusia tidak memiliki orang-orang yang menjadi sandaran untuk mengadukan keluh kesah yang ia alami, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan tatanan keagamaan, sosial, keilmuan dan lainnya.

 

Kewafatan Ulama dan Keberlangsungan Dunia

 

Ulama dan orang saleh tak ubahnya sebagai penyelamat dari kesalahan dan kerusakan di dunia. Mereka adalah pengemban amanah terberat selama keberadaannya di dunia. Karenanya, tidak heran ketika Allah menjadikan mereka sebagai khalifah untuk mengurus keberlangsungan dan eksistensi dunia. Allah berfirman:

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً، قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ، قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا  لَا تَعْلَمُونَ

 

Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana sebagai khalifah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Allah berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-Baqarah ayat 30).

 

Dalam ayat di atas secara tegas Allah hendak menciptakan khalifah di muka bumi agar mengurus dunia dan isinya. Allah sangat paham dan tahu akan kebiasaan dan watak manusia seperti apa dan bagaimana jadinya. Karenanya, tujuan inti penciptaan itu adalah agar mereka menjadi orang-orang yang mengurusi dunia secara turun-temurun.


Sayyid Thantawi dalam salah satu masterpiece-nya, Tafsîrul Wasîth, menegaskan bahwa pertanyaan para malaikat kepada Allah bukan bermaksud menentang atau menyangkal dan mengingkari kehendak-Nya, namun murni ingin menanyakan apa hikmah dari kehendak itu. Karena menurut para malaikat perbuatan manusia di muka bumi lebih dominan dalam membuat kerusakan dan kesalahan, sedangkan para malaikat sudah terbiasa melakukan tasbih dan menyucikan asmâ’ Allah. kemudian Allah menjawab  yang lebih tahu maslahah dan mafsadahnya hanya Allah semata, bukan lainnya.

 

Menurut Sayyid Thanthawi penciptaan manusia di muka bumi akan menjadi dua bagian. Ada yang hanya melakukan kerusakan dan perpecahan, dan ada juga yang sangat menjaga kebaikan dan perdamaian. Poin yang terakhir inilah yang diperankan oleh orang-orang saleh, hamba-hamba Allah yang bertakwa, para kekasih Allah, orang-orang istimewa di sisi-Nya, para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan orang-orang yang mencintai para ulama, serta yang mengikuti semua teladannya. (Sayyid Muhammad Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Bairut, Dârul Fikr: 2004], halaman 55).

 

Dari penjelasan di atas sangat tampak bahwa para ulama menempati posisi yang sangat inti dalam urusan keberlangsungan dunia. Bahkan hakikatnya, merekalah yang menjaga bumi dan isinya. Mereka pula yang merawat dan mempertahankannya. Kehilangan mereka menunjukkan kurangnya kebaikan dalam tatanan hidup yang berlangsung.

 

Tidak hanya, itu keberadaan para ulama merupakan ruh dari keberadaan dunia. Layaknya badan, jika salah satu anggotanya tidak berfungsi karena sakit atau sesamanya, maka kenyamanan badan akan terganggu dan tidak bisa melakukan aktivitas normal sebagaimana biasanya. Hal ini sebagaimana penjelasan ulama ahli tafsir terkemuka, Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah Al-Husaini Al-Alusi:

 

مَتَى فَارَقَ هَذَا الْإِنْسَانُ الْعَالِمُ مَاتَ الْعَالَمُ لِأَنَّهُ الرُّوْحُ الذِيْ بِهِ قِوَامُهُ، فَهُوَ الْعِمَادُ الْمَعْنَوِي لِلسَّمَاءِ، وَالدَّارُ الدُّنْيَا جَارِحَةٌ مِنْ جَوَارِحِ جَسَدِ الْعَالَمِ الَّذِي الْإِنْسَانُ رُوْحُهُ

 

Artinya, “Ketika manusia yang alim berpisah dari dunia atau wafat, maka seolah alam mati, karena ia adalah ruh dunia, yang keberadaannya menjadi tiang ma’nawi bagi langit. Dunia merupakan salah satu anggota dari berbagai anggota alam semesta, di mana manusia (yang alim) adalah ruhnya.” (Syihabuddin Al-Alusi, Tafsîr Al-Âlusi, [Bairut, Dârul Kutub: 2001], juz I, halaman 257).

 

Penjelasan Syekh Al-Alusi ini memberi warning kepada umat manusia, khususnya yang beragama Islam, bahwa kehilangan para ulama sangat berdampak besar bagi kehidupan dunia dan keberlangsungannya. Kehilangan mereka menyebabkan alam semesta kehilangan ruhnya, sementara kehilangan ruh, niscaya menunjukkan dunia sedang tidak baik-baik saja.

 

Melanjutkan Peran Ulama yang Telah Wafat

 

Lantas bagaimana cara mengobati alam semesta yang sedang sakit? Apa cara terbaik untuk menggantikan posisi para ulama yang wafat? 

 

Hujjatul Islâm Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali mengutip perkataan Sayyidina Ali karamallâhu wajhah dalam kitabnya, Ihyâ’ Ulûmiddîn:

 

وَقَالَ عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلْعَالِمُ أَفْضَلُ مِنَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْمُجَاهِدِ، وَإِذَا مَاتَ الْعَالِمُ ثُلَّمَ فِي الْإِسْلاَمِ ثُلْمَةً لَا يَسُدُّهَا إِلَّا خَلْفٌ مِنْهُ

 

Artinya, “Sayyidina Ali radhiyallâhu ‘anhu berkata: ‘Sungguh orang alim lebih utama daripada orang yang berpuasa, tidak tidur malam dan berjihad. Jika orang alim wafat, maka akan ada celah (kekurangan) dalam Islam yang tidak bisa ditutupi kecuali oleh generasi-generasi penerusnya.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, [Bairut, Dârul Ma’rifah: 2000], juz I, halaman 7).

 

Melihat penjelasan di atas, tidak ada cara yang lebih baik ketika para ulama satu persatu meninggalkan dunia kecuali dengan cara menggantikan posisinya. Yaitu dengan berupaya semaksimal mungkin untuk bisa menjadi penerus yang lebih baik darinya, atau setidaknya bisa mengimbangi peran-peran para ulama yang telah wafat. Sebab, kehilangan satu ulama merupakan musibah terbesar bagi Islam dan pemeluknya. Kepergiannya menjadi kekurangan yang perlu segera diperbaiki, dan untuk memperbaikinya adalah dengan menjadi generasi yang siap untuk menggantikan perang ulama yang sudah tiada.

 

Adapun untuk menjadi penerus para ulama tidak ada cara lain kecuali dengan belajar dan belajar. Sebab, kehilangan para ulama menunjukkan kehilangan ilmu yang ada pada dirinya. Hal ini tidak akan pernah terpenuhi jika para generasi penerus perjuangannya tidak cinta ilmu, meremehkan ilmu, dan lebih cinta akan dunia. Karena itu, mempertahankan jasa para ulama adalah dengan cara terus mempelajari ilmu para ulama.

 

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bâri mengatakan:

 

فَإِنَّهُ لَا يُرْفَعُ اِلَّا بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، وَمَا دَامَ مَنْ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مَوْجُوْدًا لَا يَحْصُلُ الرَّفْعُ

 

Artinya, “Maka sungguh ilmu tidak akan diangkat kecuali dengan diangkatnya (kewafatan) para ulama, dan selagi masih ada orang yang belajar ilmu, maka tidak akan berlangsung pengangkatan (ilmu).” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri, [Bairut, Dârul Ma’rifah, 2007], juz I, halaman 178).

 

Harus diakui, generasi penerus ulama tidak bisa disamakan dengan para ulama sebelumnya. Mereka hanya sebagai penerus perjuangannya, dan mungkin bukan sosok ulama sejati sebagaimana yang diganti. Maka tidak heran jika langkah, dakwah dan pengajarannya tidak sama dengan ulama yang digantinya.

 

Hanya saja, betapa pun semua itu merupakan kekurangan, langkah terbaik untuk menjadi penerusnya hanyalah dengan belajar ilmu pengetahuan, meniru semua teladannya, serta berusaha berperan menjadi lebih baik daripada peran ulama yang digantinya. Atau setidaknya setara dalam menyebarkan ilmu dan keislaman sebagaimana yang dicontohkan ulama sebelumnya. Wallahu a'lam. []

 

Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Kokop, Bangkalan.