Kamis, 22 Desember 2022

(Ngaji of the Day) Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an di Masa Rasulullah SAW

Upaya kodifikasi Al-Qur’an dilakukan pada zaman Rasulullah SAW dan zaman para khalifah. Setiap upaya kodifikasi memiliki keistimewaan dan kekhasannya masing-masing. (Syekh M Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Mawahib Al-Islamiyyah: 2016 M], halaman 49).


Menurut As-Shabuni, upaya kodifikasi Al-Qur’an dilakukan di masa Nabi Muhammad SAW dengan menempuh dua jalan. Pertama, kodifikasi Al-Qur’an dalam batin dengan jalan hafalan dan ingatan. Kedua, kodifikasi Al-Qur’an dalam catatan dengan jalan penulisan dan goresan.


Kodifikasi Al-Qur’an dibicarakan secara detail dalam kajian ulumul qur'an untuk menunjukkan besarnya perhatian kita pada Al-Qur’an, pencatatan dan kodifikasinya. Besarnya perhatian terhadap Al-Qur’an berikut pencatatan dan kodifikasinya ini, menurut As-Shabuni, melebihi perhatian orang terhadap kitab samawi sebelumnya.


Adapun Al-Qur’an diturunkan kepada seorang nabi yang tumbuh dalam kultur masyarakat yang ummi sehingga ia mengerahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur’an untuk mengingatnya sebagaimana diturunkan kepadanya. Ia kemudian membacakannya dengan tenang kepada para sahabatnya agar mereka menghafalnya sebagaimana keterangan Surat Al-Jumuah ayat 2.


Dalam kultur masyarakat ummi, Rasulullah mengandalkan daya hafal dan daya ingatnya karena tidak membaca dan menulis. Demikian kondisi bangsa Arab secara umum ketika Al-Qur’an diturunkan. Bangsa Arab ketika itu menikmati betul kekhasan bangsanya, yaitu mempunyai daya ingat yang baik dan mempunyai kecepatan hafalan atas sesuatu. (As-Shabuni, 2016 M: 50).


Bangsa Arab sanggup menghafal ratusan ribu syair. Mereka dapat mengenali secara urut nasab dan keturunan seseorang atau suatu klan di luar kepala. Mereka sanggup memahami sejarah. Jarang sekali mereka yang tidak memahami keturunan dan nasab keluarganya atau tidak menghafal syair-syair terbaik karya para sastrawan Arab hebat yang digantung di Ka’bah.


Rasulullah SAW memberikan perhatian luar biasa kepada Al-Qur’an. Rasulullah SAW menghidupkan malam dengan membaca Al-Qur’an di dalam ibadah sembahyang, membacanya di luar sembahyang, dan merenungkan maknanya sehingga kedua kakinya memar karena terlalu lama berdiri dalam shalat malam untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil. Tentu tidak heran kalau Rasulullah SAW bergelar sayyidul huffazh. Ia memeliharan Al-Qur;an dalam hatinya dan menjadi rujukan umat Islam di masanya perihal Al-Qur’an. (As-Shabuni, 2016 M: 50).


Para sahabat juga memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an. Mereka berlomba untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Mereka mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghafal Al-Qur’an. Mereka mengajari istri dan anaknya Al-Qur’an di rumah-rumah. Bila melewati rumah para sahabat di tengah kegelapan malam, niscaya kita akan mendengar suara orang membaca Al-Qur’an sebagaimana dengung lebah.


Rasulullah SAW pernah melewati sebagian rumah sahabat Anshor di kegelapan malam. Beliau lalu berhenti sejenak untuk mendengarkan mereka membaca AL-Qur’an dari luar. (As-Shabuni, 2016 M: 50-51).


Rasulullah SAW mengobarkan semangat untuk menghafalkan Al-Qur’an. Dari sini lahirnya banyak sahabat penghafal Al-Qur’an. mereka ditugaskan ke berbagai penjuru daerah dan kota untuk mengajarkan Al-Qur’an untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk setempat. Sebelum peristiwa hijrah, Rasulullah SAW mengutus sahabat Mush’ab bin Umair dan Abdullah bin Ummi Maktum ke Madinah. Rasulullah SAW juga pernah mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Makkah setelah peristiwa hijrah.


"Setiap kali ada orang yang berhijrah, Rasulullah akan membelokkan orang tersebut kepada kami untuk diajari Islam dan Al-Qur’an," kata Ubadah bin Shamit. (HR Ahmad dan Al-Hakim). (M Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2017 M/1438 H], halaman 194-195).


Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menyebut tujuh sahabat terkemuka penghafal Al-Qur’an. Mereka adalah Abdullah bin Mus’ud, Salim bin Ma’qil budak Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid (Qais) bin Sakan, dan Abud Darda. (Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Ilmi wal Iman: tanpa tahun], halaman 115).


Abu Ubadi dalam Kitab Al-Qira’at menyebutkan sejumlah ahli Al-Qur’an di kalangan sahabat. Mereka (kalangan muhajirin) adalah empat khalifah rasul, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin Sa’ib, abadilah arba’ah atau empat Abdullah (yang terdiri atas Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair), Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah. (Al-Qaththan, tanpa tahun: 117-118).


Adapun ahli Al-Qur’an dari kalangan sahabat Ansor adalah Ubadah bin Shamit, Mu’adz, Majma’ bin Jariyah, Fadhalah bin Ubaid, Maslamah bin Makhlad, dan banyak sahabat lainnya. (Al-Qaththan, tanpa tahun: 118). Wallahu a’lam.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar