Jumat, 29 Januari 2021

(Do'a of the Day) 16 Jumadil Akhir 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahumma hawwin 'alainaa safaranaa haadzaa wathwi 'annaa bu'dahu.

 

Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini dan dekatkanlah bagi kami kejauhannya.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 11, Bab 7.

Ma’ruf Amin: Transformasi Wakaf Indonesia Menuju Wakaf Produktif

Transformasi Wakaf Indonesia Menuju Wakaf Produktif

Oleh: Ma’ruf Amin

 

Tanggal 16 Juni 1948, hari Rabu, siang hari di Lapangan Blangpadang, Kota Raja, kini Banda Aceh, Presiden Soekarno menyampaikan pidato di depan ratusan ribu anggota masyarakat dari seluruh pelosok Aceh.

 

Seperti pidato-pidato lainnya, pidato Presiden Soekarno penuh semangat menggelegar. Pada hari yang sama, di depan para pengusaha dan saudagar Aceh, Presiden Soekarno menyampaikan pidato singkat mengenai pentingnya diplomasi politik sehingga membutuhkan alat transportasi pesawat terbang. Para saudagar dan rakyat Aceh tergerak membantu Presiden Soekarno dan negara Republik Indonesia yang masih bayi.

 

Itulah awal dari sebuah gerakan wakaf masyarakat Aceh yang berhasil mengumpulkan uang 130.000 straits dollar untuk membeli pesawat pertama Seulawah RI-01. Pesawat tersebut digunakan oleh Pemerintah RI dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

 

Berbagai misi penerbangan berbahaya dilalui oleh Seulawah untuk membantu menjaga hubungan diplomatik ataupun hubungan dagang Indonesia dengan negara tetangga. Seulawah juga kemudian menjadi cikal bakal BUMN Garuda Indonesia.

 

Selain gerakan wakaf masyarakat Aceh tersebut, sejarah juga mencatat bahwa lapisan emas Tugu Monumen Nasional (Monas), lingkaran Stadion Gelora Bung Karno, serta bangunan utama Gedung DPR/MPR juga hasil gerakan wakaf yang sampai saat ini masih dimanfaatkan.

 

Wakaf merupakan salah satu ajaran Islam yang punya nilai kepedulian, berbagi, dan upaya melakukan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Selain memiliki dimensi ibadah, wakaf juga memiliki dimensi sosial, mengingat wakaf dapat dijadikan instrumen dalam mengatasi kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

 

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi SAW bersabda: ”Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.”

 

Para ulama menyebutkan, yang dimaksud sedekah jariah pada hadis itu adalah wakaf. Wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah, tetapi berbeda dengan sedekah umum. Wakaf lebih berorientasi pada pemanfaatan atau pembiayaan untuk keperluan jangka panjang, semisal penyediaan tanah dan bangunan.

Disebut sedekah jariah, maksudnya adalah amal sedekah yang pahalanya akan terus mengalir kepada pelakunya (wakif), selama pokok harta benda yang disedekahkan masih ada dan hasilnya dimanfaatkan untuk perbuatan kebajikan.

 

Sudah sejak lama umat Islam di Indonesia mempraktikkan wakaf dalam kehidupan sehari-hari. Pada kurun sejarah masa lalu, masyarakat Islam pada era kesultanan sebelum menjadi negara Republik Indonesia telah mempraktikkan wakaf untuk keperluan pembangunan masjid dan madrasah serta penyediaan makam serta fasilitas sosial lain.

 

Namun, dalam perkembangannya di Indonesia, semakin disadari bahwa harta wakaf bukan hanya semata-mata untuk keperluan pendidikan dan peribadatan, tetapi juga untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Wakaf diharapkan memiliki manfaat dalam menggerakkan ekonomi, sekaligus memberikan hasil yang dapat digunakan untuk membantu kegiatan sosial dan kegiatan kebajikan lainnya (mauquf alaih).

 

Kesadaran ini mendorong kemunculan pengembangan wakaf yang bersifat produktif, yaitu pemanfaatan wakaf yang memiliki dimensi usaha atau investasi, di mana hasil usaha atau investasinya disalurkan untuk membantu kegiatan amal kebajikan.

 

Pada masa lalu, saat wakaf masih berorientasi sosial, semua harta wakaf, baik berupa tanah, bangunan, mesin, maupun peralatan, semuanya digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan. Bahkan, saat pewakaf menyerahkan wakafnya dalam bentuk uang, uang tersebut akan digunakan untuk membeli tanah, bangunan, mesin, dan peralatan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kegiatan sosial keagamaan. Praktik seperti ini kemudian dikenal sebagai wakaf melalui uang setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

 

UU ini menyebutkan pengertian wakaf: ”wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah”.

 

Pentingnya transformasi

 

Pada 2018, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyebutkan, potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun. Selain karena populasi Muslim yang terbesar di dunia, Indonesia juga negara dengan tingkat kedermawanan masyarakat yang cukup tinggi.

 

Dalam laporan World Giving Index 2019, Indonesia ditetapkan sebagai salah satu negara paling dermawan di dunia. Artinya, potensi kedermawanan masyarakat Indonesia untuk berwakaf uang dapat dikatakan tinggi. Meski demikian, potensi tersebut belum dapat dioptimalkan sehingga manfaatnya belum signifikan dirasakan masyarakat.

 

Besarnya potensi wakaf uang belum dapat dioptimalkan sepenuhnya. Padahal, saat ini mobilisasi dan pemanfaatan wakaf uang sangat diperlukan. Wakaf uang memiliki kelebihan dibandingkan wakaf dalam bentuk lain karena wakaf uang berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis dan investasi.

 

Apabila wakaf dalam bentuk aset lain, masih memiliki kemungkinan hanya dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, kebajikan, dan peribadatan. Akan tetapi, wakaf uang pemanfaatannya harus melalui kegiatan pengembangan ekonomi produktif.

 

Dalam Fatwa MUI No 2/2002 tentang Wakaf Uang disebutkan bahwa wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Pengertian uang juga termasuk surat-surat berharga.

 

Dalam fatwa itu disebutkan, wakaf uang hukumnya jawaz (boleh) dan hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Selain itu juga disebutkan nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.

 

Sejalan dengan fatwa MUI itu, UU No 41/2004 menjelaskan perihal wakaf benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk menteri. Wakaf benda bergerak itu dilaksanakan wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.

 

Wakaf benda bergerak berupa uang itu diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan nazir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Selanjutnya, lembaga keuangan syariah atas nama nazir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang.

 

Wakaf uang yang dikumpulkan dari wakif akan dimanfaatkan melalui instrumen investasi. Investasi yang dipilih bisa investasi pada sektor riil atau sektor keuangan yang menghasilkan profit atau imbal hasil. Hasil investasi wakaf uang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Menurut UU Wakaf, apabila uang wakaf diinvestasikan, hasil investasinya 10 persen untuk nazir dan 90 persen untuk disalurkan kepada mauquf ’alaih (kegiatan sosial atau peribadatan).

 

Model pengelolaan wakaf uang sebagaimana direkomendasikan UU Wakaf, dan berbagai bentuk eksperimen implementasi wakaf uang, dirasakan masih belum optimal. Masyarakat belum tergerak untuk berbondong-bondong berwakaf uang, sementara nazir juga belum mengelola dan memanfaatkan wakaf secara maksimal. Hasilnya masih belum dirasakan secara nyata di masyarakat.

 

Perlu ada sudut pandang dan langkah-langkah baru untuk meningkatkan optimalisasi wakaf uang di Indonesia. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) sebagai lembaga negara untuk koordinasi dan sinergi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia menyadari perlunya upaya perbaikan pengelolaan wakaf uang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan wakaf di Indonesia.

 

KNEKS menginisiasi program kerja transformasi pengelolaan wakaf nasional sebagai program bersama kementerian/lembaga terkait untuk menjawab tantangan pengembangan wakaf uang di Indonesia.

 

Transformasi pengelolaan wakaf uang nasional bertujuan untuk mendukung percepatan penumbuhan aset wakaf serta kebermanfaatan wakaf bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Transformasi wakaf uang juga bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat sehingga terdorong untuk melakukan wakaf uang.

 

Dalam jangka panjang, melalui transformasi ini, wakaf uang dapat terhimpun secara signifikan. Selain itu, dalam aspek penguatan data dan informasi, transformasi pengelolaan wakaf uang nasional ditargetkan dapat menghadirkan informasi kinerja pengelolaan wakaf nasional yang lebih komprehensif.

 

Transformasi wakaf uang nasional perlu dukungan regulasi, tata kelola, dan kelembagaan wakaf yang efektif. Dukungan ini sangat penting dikarenakan elemen-elemen itu bisa mempercepat implementasi pengelolaan wakaf, khususnya wakaf produktif yang baik.

 

Pengelolaan wakaf yang produktif juga membutuhkan sistem informasi dan data wakaf yang baik untuk jadi salah satu enabler utama guna meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan wakaf uang. Sistem informasi ini dapat bermanfaat bagi terwujudnya basis data wakaf yang akurat dan mutakhir sehingga bisa digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Langkah transformasi wakaf uang

 

Pada transformasi pengelolaan wakaf uang nasional, setidaknya diperlukan tiga langkah besar yang sangat fundamental. Langkah pertama adalah melakukan business process reengineering (rekayasa ulang proses bisnis) wakaf uang. Unsur-unsur rekayasa ulang proses bisnis wakaf uang mencakup keseluruhan alur proses pengelolaan wakaf uang.

 

Dimulai dari tahap edukasi, sosialisasi atau pemasaran kepada calon wakif, metode pembayaran kepada nazir, pemberian sertifikat, pengelolaan dan pengembangan (investasi), penyaluran dan pendayagunaan hasil manfaat, hingga pelaporan rutin kepada pengawas dan juga wakif.

 

Tak kalah penting ialah melakukan digitalisasi pada setiap tahapan proses pengelolaan wakaf uang itu, yang sekaligus terkoneksi dengan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah nasional. Rekayasa ulang proses bisnis wakaf uang ini bermuara pada terwujudnya suatu platform pengelolaan wakaf uang nasional, yang akan mendukung terwujudnya pusat data wakaf nasional.

 

Langkah kedua adalah menetapkan program strategis wakaf nasional. Di antara sekian banyak program pemanfaatan wakaf yang dikembangkan oleh para nazir, menjadi penting untuk menghadirkan suatu program strategis wakaf yang merupakan program sinergi bersama segenap nazir di Indonesia.

 

Program strategis ini bisa terdiri dari satu atau beberapa program besar yang dianggap sangat diperlukan masyarakat Indonesia saat ini, yang pendanaannya melibatkan investasi wakaf atau penyaluran alokasi mauquf ’alaih dari banyak nazir di Indonesia. Pengelolaan program strategis wakaf nasional ini dapat dikoordinasikan oleh BWI bekerja sama dengan beberapa nazir dalam bentuk konsorsium nazir.

 

Program strategis nasional ini juga perlu didukung banyak tokoh, ulama, dan berbagai ormas Islam Indonesia. Dengan demikian, ada dorongan bersama untuk memobilisasi dan berbagi bersama dalam mengupayakan terwujudnya suatu pencapaian program wakaf yang dipandang sebagai kepentingan bersama masyarakat secara nasional.

 

Langkah ketiga, melakukan gerakan kampanye bersama dalam mengumpulkan wakaf uang, sekaligus melakukan literasi dan edukasi agar masyarakat secara bersama-sama berwakaf dengan menyerahkan uangnya untuk dikelola, dan hasilnya akan digunakan untuk mendanai program strategis wakaf nasional.

 

Gerakan kampanye ini selanjutnya diperluas di sejumlah daerah, pada berbagai kelompok profesi, berbagai organisasi dan asosiasi di masyarakat. Gerakan kampanye ini akhirnya bertujuan menyentuh kesadaran sebanyak mungkin masyarakat untuk berwakaf. Pada tahap ini, menjadi penting untuk memfasilitasi kemudahan pembayaran wakaf masyarakat secara massal dan berbasis digital.

 

Apabila semua langkah kunci dan faktor pendukungnya dapat diimplementasikan dengan baik, transformasi wakaf uang akan berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Hasilnya adalah pengelolaan yang mampu memobilisasi wakaf uang secara maksimal, investasi yang optimal, dan hasil manfaatnya untuk mendukung kegiatan sosial yang semakin luas. Pada kondisi ini, pengelolaan wakaf uang nasional akan berkontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. []

 

KOMPAS, 20 Januari 2021

Ma’ruf Amin | Wakil Presiden Repubik Indonesia

(Khotbah of the Day) Bencana, Ujian ataukah Azab?

KHUTBAH JUMAT

Bencana, Ujian ataukah Azab?


Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ.

 

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْقَدِيْرِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر: ١٠)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Dari atas mimbar khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan. Kaum Muslimin rahimakumullah, Dalam kesempatan khutbah pada siang hari ini, khatib akan menyampaikan khutbah dengan tema “Bencana: Ujian ataukah Azab?”.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Mengutip dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di awal tahun 2021 ini terjadi sebanyak 197 bencana di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar kejadian merupakan bencana alam. Bencana banjir mendominasi dengan 134 kejadian, disusul tanah longsor 31 kejadian, dan puting beliung sebanyak 24 kejadian.

 

Serangkaian bencana di awal 2021 itu menyebabkan 184 orang meninggal, lebih dari 2.700 orang mengalami luka-luka. Sebanyak 9 orang dinyatakan hilang dan mereka yang menderita serta mengungsi mencapai 1,9 juta orang.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Sederet bencana yang menimpa rakyat Indonesia di awal tahun ini memunculkan sebuah pertanyaan: apakah bencana itu ujian ataukah azab yang Allah timpakan kepada bangsa Indonesia?

 

Hadirin rahimakumullah,

 

Bencana atau musibah adakalanya ujian dan adakalanya merupakan azab yang disegerakan di dunia. Dari mana kita mengetahui bahwa sebuah bencana dan musibah adalah ujian ataukah azab? Apabila musibah itu ditimpakan kepada orang-orang shalih yang taat kepada Allah ta’ala maka ia adalah ujian yang meninggikan derajat mereka dan melipatgandakan pahala mereka di akhirat. Musibah yang berupa ujian ini ditimpakan oleh Allah kepada orang-orang yang dikehendaki kebaikan pada dirinya, seperti para nabi, para wali, para ulama yang mengamalkan ilmunya dan orang-orang shalih lainnya.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

 

Maknanya: “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya” (HR al-Bukhari).

 

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seseorang yang dikehendaki kebaikan dan derajat yang tinggi pada dirinya maka Allah melindunginya dari musibah agama dan menimpakan berbagai musibah dunia pada dirinya, anaknya, hartanya atau orang yang ia cintai. Musibah agama adalah seperti meninggalkan shalat limat waktu, berjudi, berzina, mencuri, dan lain sebagainya.

 

Sedangkan musibah dunia sangat banyak bentuknya. Di antaranya kemiskinan, sakit, ditinggal mati orang yang dicintai, diperlakukan buruk orang lain, dan lain sebagainya. Semakin taat seseorang dan semakin banyak ia melakukan kebaikan maka semakin besar dan berat ujian yang Allah timpakan kepadanya. Sebagaiman kita tahu, manusia yang paling taat adalah para nabi. Musibah yang menimpa mereka tentu lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan manusia pada umumnya.

 

Nabi Nuh diuji dengan anak dan istrinya yang tidak mau beriman. Beliau juga dicaci dan seringkali dipukuli sampai pingsan ketika menyampaikan dakwah kepada umatnya. Nabi Ibrahim diuji dengan dilemparkan ke api yang berkobar-kobar dan tidak dikarunia anak sampai usia lanjut. Nabi Zakariyya meninggal digergaji. Nabi Yahya kepalanya dipenggal. Banyak nabi di kalangan Bani Israil yang mati dibunuh sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 87 dan surat al ‘Imran ayat 181. Nabi Ayyub diuji dengan sakit selama 18 tahun dan dimatikan seluruh anaknya dan dilenyapkan seluruh hartanya.

 

Nabi Muhammad diuji dengan cacian dari kaumnya, dijatuhkan kotoran dan jeroan unta pada kepala dan badannya saat sujud, dilempari batu sampai berdarah, ditinggal mati oleh istri tercintanya, ditinggal mati oleh putranya saat masih bayi, meninggalkan kampung halaman yang sangat beliau cintai, mengalami demam tinggi dua kali lipat dari demam paling tinggi yang dialami manusia pada umumnya dan lain sebagainya.

 

Oleh karena itu semua, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَحْمَدُ وَغَيْرُهُمَا)

 

Maknanya: “Manusia yang paling berat musibahnya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang di bawah derajat mereka, kemudian orang-orang yang di bawah derajat mereka. Seseorang diuji berdasarkan sekuat apa ia pegangteguh agamanya” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ)

 

Maknanya: “Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui musibah yang besar pula. Apabila Allah ta’ala mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah meridhainya. Dan barangsiapa yang tidak ridha maka Allah murka kepadanya (HR at-Tirmidzi).

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Sedangkan bencana dan musibah yang merupakan azab adalah yang ditimpakan kepada para pelaku dosa dan maksiat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (الشورى: ٣٠)

 

Maknanya: “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan dosa kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (QS asy-syura: 30).

 

Imam at-Thabari menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:

 

وَمَا يُصِيْبُكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الدُّنْيَا فِي أَنْفُسِكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ (فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ) يَقُوْلُ: فَإِنَّمَا يُصِيْبُكُمْ ذلِكّ عُقُوْبَةً مِنَ اللهِ لَكُمْ بِمَا اجْتَرَمْتُمْ مِنَ الْآثَامِ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ وَيَعْفُوْ لَكُمْ رَبُّكُمْ عَنْ كَثِيْرٍ مِنْ إِجْرَامِكُمْ، فَلَا يُعَاقِبُكُمْ بِهَا.

 

“Bencana dan musibah yang menimpa kalian di dunia wahai manusia, pada diri, keluarga dan harta kalian tiada lain adalah azab dari Allah kepada kalian yang disebabkan dosa-dosa yang kalian lakukan kepada sesama kalian dan dosa yang kalian perbuat kepada Allah. Dan Allah mengampuni banyak dosa kalian yang lain sehingga tidak menurunkan azab (yang lain) kepada kalian.”

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ).

 

Maknanya: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambanya maka Allah menyegerakan baginya azab di dunia. Dan jika Allah menghendaki keburukan pada hambanya maka Allah menahan azab kepadanya di dunia meski ia terus berbuat dosa sehingga azab itu akan ditimpakan kepadanya pada hari kiamat” (HR at-Tirmidzi)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Kemudian yang penting sekali untuk diperhatikan bahwa ada sebuah hadits yang berbunyi:

 

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوهُ يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ (رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ)

 

Maknanya: “Sesungguhnya manusia apabila mengetahui kemungkaran lalu mereka tidak mau mengubahnya maka hampir saja (tunggulah saatnya) Allah akan mengazab mereka seluruhnya” (HR Ibnu Hibban).

 

Hadits ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa jika di suatu daerah terdapat kemungkaran yang merajalela dilakukan, tapi tidak ada satu pun yang mengubahnya dengan amar makruf dan nahi mungkar maka azab Allah akan menimpa mereka semua. Azab Allah tidak hanya dikenakan kepada mereka yang berbuat kemungkaran, tapi juga ditimpakan kepada orang-orang shalih yang enggan beramar makruf dan bernahi mungkar dengan mencegah kemungkaran tersebut. Kemungkaran adalah seperti paham-paham yang menyimpang dari ajaran para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, zina, judi, meminum minuman keras, korupsi, mengganggu kerukunan masyarakat, berbuat kekacauan, dan lain sebagainya.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:

 

Pertama, bagi seorang Mukmin, musibah yang menimpanya, baik musibah itu ujian ataupun azab, adalah kebaikan baginya apabila dihadapi dengan sabar dan ridha. Jika berupa ujian maka musibah itu akan meninggikan derajatnya dan melipatgandakan pahalanya di akhirat. Dan jika berupa azab maka azab di dunia itu akan menggugurkan azab baginya di akhirat kelak. Dan hal itu lebih baik baginya. Karena azab di akhirat jauh lebih berat dan lebih pedih dibandingkan azab dunia.

 

Kedua, sedangkan bagi orang kafir, bencana dan musibah apa pun yang menimpanya di dunia tidaklah bermanfaat sama sekali baginya di akhirat.

 

Ketiga, jika seseorang mulai berbuat taat dan mulai meninggalkan hal-hal yang diharamkan lalu ditimpa berbagai musibah maka itu adalah ujian baginya. Apakah ia akan terus melanjutkan ketaatan ataukah ia kendor semangat lalu meninggalkan ketaatan itu.

 

Keempat, jika seseorang ditimpa musibah dan bencana setelah ia berbuat maksiat dan dosa maka yang semestinya dia lakukan adalah menyegerakan tobat dengan sungguh-sungguh dari semua dosa yang pernah ia lakukan. Baginda Nabi bersabda:

 

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه وَالطَّبَرَانِيُّ وَغَيْرُهُمَا)

 

Maknanya: “Seseorang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa” (HR Ibnu Majah, ath-Thabarani dan lain-lain).

 

Kelima, kemungkaran jika sudah merajalela dan tidak ada satu pun yang berupaya mencegahnya maka tunggulah saatnya Allah akan menurunkan azab kepada semuanya. Yang shalih maupun yang fasik, semuanya terkena azab.

 

Hadirin jama’ah shalat Jumat rahimakumullah,

 

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

 

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Bidang Peribadatan & Hukum, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (2) Adakah Sistem Politik dalam Al-Qur'an?

Etika Politik dalam Al-Qur'an (2)

Adakah Sistem Politik dalam Al-Qur'an?

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Dalam artikel terdahulu dijelaskan bahwa ayat-ayat yang berhubungan dengan urusan kenegaraan tidak lebih dari 10 ayat. Jika yang dimaksudkan sistem politik di dalam Al-Qur'an adalah keseluruhan rancang-bangun politik berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an maka jelas tidak cukup mamadai untuk mengatakan ada sistem politik dalam Al-Qur'an. Sekalipun digabungkan dengan 70 ayat yang berbicara tentang urusan perdagangan, perekonomian, jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, perseroan, kontrak, tetap masih belum mamadai untuk disebut sistem politik menurut Al-Qur'an.

 

Jika demikian kenyataannya, bagaimana menjelaskan maksud ayat-ayat sebagai berikut: Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, Aku lengkapkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku ridha menjadikan Islam sebagai agamamu (Q.S. al-Maidah/5:3), Tidak Kami lupakan suatu apapun dalam Kitab itu (Q.S. al-An'am/6:38), dan Dan Kami turunkan Kitab itu kepadamu untuk menjelaskan segala-galanya (Q.S. al-Nahl/16:89). Menurut Ibn Katsir dan Ibn Abbas yang dimaksud "Aku sempurnakan bagimu agamamu" ialah urusan keimanan telah telah disempurnakan, tidak perlu lagi lagi ada tambahan. Memang setelah ayat ini turun tidak ada lagi ayat turun mengenai urusan halal dan haram. Menurut Rasyid Ridha, yang dimaksud oleh ayat itu ialah penyempurnaan iman, hukum, budi pekerti, ibadat, dengan terperinci dan muamalat dalam garis besar. Sedangkan menurut al-Zamakhsyari yang dimaksud dengan kata akmala (Aku sempurnakan) di dalam ayat pertama di atas ialah melindungi yaitu: Aku lindungi kamu dari musuh, sehingga kamu mencapai kemenangan dan musuh mengalami kekalahan, bukannya berarti keselurusan urusan manusia sepanjang masa sudah diurus scara keseluruhan dalam Al-Qur'an. Yang dimaksud dengan penyempurnaan agama bukanlah penyempurnaan dalam arti seluruh aspek kehidupan tetapi perinsip-perinsip ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem hidup kemasyarakatan manusia dalam segala seginya. Jika mau diartikan dengan segala hal mungkin dalam arti penyempurnaan hukum, ajaran dasar agama, atau halal dan haram.

 

Dalam konteks ayat kedua (Tidak Kami lupakan suatu apapun dalam Kitab itu), menurut Ibn Katsir Tuhan mengetahui semua binatang, sesuai dengan konteks (munasabah) ayat yang berbicara tentang komunitas bintanag. Maksudnya Allah Swt tidak pernah lupa memberikan rezeki kepada suatu binatang pun. Menurut al-Zamakhsyari yang dimaksud dengan al-Kitab dalam ayat kedua di atas ialah bukanlah al-Qur'an, tetapi al-Lauh al-Mahfudz yang ada di langit. Pada ayat kedua, yang dimaksud kata al-Kitab dalam ayat-ayat tersebut tidak mesti berarti al-Qur'an, tetapi boleh al-Lauh al-Mahfuz atau Umm al-Kitab atau ilmu Tuhan. Dalam arti ini al-Kitab mengandung segala-galanya dan memberi penjelasan tentang segala-galanya. Tetapi kalau al-Kitab diartikan al-Qur'an, maka kata-kata: "Tidak Kami lupakan suatu apapun" berarti "tidak suatu apapun mengenai soal-soal keagamaan." Tidak Kami lupakan didalamnya soal-soal hidayah, yaitu dasar-dasar agama, pegangan-pegangan, hukum-hukum, petunjuk tentang pemakaian daya jasmani serta daya akal untuk kemaslahatan manusia." Ulama tafsir lain mengatakan al-Kitab itu mengandung semua ilmu pengetahuan yang ada di jagat raya ini, namun pendapat ini tidak pernah ditemukan dari kalangan sahabat dan tabi'in ataupun dari ulama salaf.

 

Sedangkan ayat ketiga yang menyatakan: "Kitab itu menjelaskan segala-galanya" menurut Mujahid berarti menjelaskan semua urusan yang berhubungan dengan halal dan haram. Dan menurut al-Zamakhsyari yaitu menerangkan segala-galanya mengenai soal agama, dan itu pun dengan bantuan sunnah Nabi, ijma', qias, dan ijtihad. Dari keterangan ayat dan mufassir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tidak cukup dasar untuk bisa menyebut ada sistem politik dalam Al-Qur'an. Mungkin yang dapat kita katakan bahwa yang ada dalam Al-Qur'an adalah dasar-dasar politik atau etika politik di dalam Al-Qur'an. []

 

DETIK, 23 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) Apakah Najis Hukmiyyah Berlaku pada Najis Mughallazhah?

Pertanyaan:


Assalamu 'alikum wr. wb.

Redaksi NU Online, lantai rumah kami terinjak anjing. Jejak kakinya sudah mengering dan terhapus di lantai rumah. Apakah cara menyucikannya dapat disamakan cara menyucikan najis hukmiyyah (najis yang sudah tidak tampak)? Mohon jawabannya sehingga menghilangkan keragu-raguan tersebut. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

 

Wahyu

 

Jawaban:

 

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Najis pada benda suci karena kontak langsung dengan anjing terbilang najis mughallazhah dalam pandangan mazhab Syafi’i.

 

المغلظة نجاسة الكلب والخنزير والمتولد منهما أو من أحدهما ولا يطهر محلها حتى يغسل سبع مرات إحداهن مخلوطة بالتراب الطهور ولا يكتفي بالسبعة إلا إن زالت عين النجاسة بالمرة الأولى. فإن زالت بغير الأولى فجميع الغسلات السابقة على زوالها يحسب مرة واحدة

 

Artinya, "Mughallazhah adalah najis anjing, babi, turunan keduanya, atau turunan salah satu dari keduanya. Tempat najis mughallazhah tidak menjadi suci sebelum dibasuh sebanyak 7 kali yang salah satunya dicampur dengan debu yang suci. tujuh basuhan tidak cukup jika zat najisnya tidak hilang pada basuhan pertama. Tetapi jika zat najisnya hilang bukan pada basuhan pertama, maka semua basuhan sebelumnya dalam menghilangkan najis tersebut dihitung satu basuhan," (Syekh M Hasbullah, Riyadhul Badi’ah, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 27).

 

Adapun benda suci yang terkontaminasi dengan najis anjing yang sudah tidak tampak bekasnya tetap dihukumi najis mughallazhah yang mengharuskan tujuh kali pembasuhan. Ia tidak dapat dihukumi sebagai najis hukmiyyah karena najis hukmiyyah berlaku untuk tingkatan najis mutawassithah, satu tingkat di bawah najis mughallazah, yang menuntut penanganan berbeda.

 

والمتوسطة تنقسم على قسمين عينية وحكمية. العينية التي لها لون وريح وطعم فلا بد من إزالة لونها وريحها وطعمها. والحكمية التي لا لون ولا ريح ولا طعم يكفيك جري الماء عليها

 

Artinya, “Najis mutawassithah terdiri atas dua jenis, ‘ainiyyah dan hukmiyyah. Najis ainiyyah adalah najis yang memiliki warna, aroma, dan rasa sehingga warna, aroma, dan rasanya harus dihilangkan. Sedangkan najis hukmiyyah adalah najis yang tidak mengandung warna, aroma, dan rasa. Kamu cukup menyiram air di atasnya,” (Syekh Salim bin Sumair, Safinatun Naja pada hamisy Kasyifatus Saja, [Indonesia, Maktabah Al-Aidrus: tanpa tahun], halaman 45).

 

Terkait pertanyaan di atas, penanya harus memperlakukan najis mughallazhah pada lantai yang terinjak kaki anjing yang dan bekasnya telah terhapus dengan cara penyucian pada najis mughallazhah pada umumnya, yaitu tujuh pembasuhan dalam pandangan mazhab Syafi'i, mazhab kebanyakan orang Indonesia.

 

المغلظة تطهر بسبع غسلات بعد إزالة عينها إحداهن بتراب

 

Artinya, “Najis Mughallazhah dapat menjadi suci dengan tujuh basuhan setelah menghilangkan zat najisnya yang salah satu basuhannya dengan tanah,” (Syekh Salim bin Sumair: 44).

 

Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Kamis, 28 Januari 2021

(Do'a of the Day) 15 Jumadil Akhir 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahumma innaa nas'aluka fii safarinaa haadzal birra wat taqwaa, wa minal 'amali maa tardhaa.

 

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu agar perjalanan kami ini perjalanan bakti dan takwa, dan kami mohon kepada-Mu usaha kami ini Engkau ridhai.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 11, Bab 7.

(Hikmah of the Day) Berkaca pada Kisah Tobatnya Kaum Nabi Yunus

Allah mengabarkan bahwa Nabi Yunus ‘alaisissalam pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah, sebagaimana dalam ayat, “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah,” (QS al-Anbiyâ’ [21]: 87). Kemudian ia lari menuju kapal yang penuh muatan, Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh dengan muatan, (QS Ash-Shaffat [37]: 139-140).

 

Sementara itu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan dalam haditsnya bahwa Nabi Yunus ‘alaisissalam menjanjikan kepada kaumnya akan turun azab karena sekian lama mereka mendustakan sang rasul. Disampaikan Nabi Yunus ‘alaisissalam, tiga hari lagi azab akan turun kepada mereka. Namun, setelah meyakini akan turunnya azab, mereka kemudian bertobat dan kembali kepada perintah Allah. Mereka pun menyesal karena telah mendustakan rasul yang diutus di tengah mereka.

 

Ketika bertobat, mereka memisahkan anak-anak dari ibunya, baik manusia maupun binatang. Sehingga terdengar jelas suara gemuruh mereka seraya berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah di tengah rintihan suara anak-anak yang tengah mencari ibunya. Dan berkat doa dan usaha mereka, Allah pun berkenan dan mengurungkan azab yang akan menimpa mereka.

 

Ibnu Katsîr, Ibnu Mas‘ud, Mujahid, Sa‘id ibn Jubair, dan lebih dari ulama salaf dan khalaf menjelaskan bahwa sewaktu Nabi Yunus ‘alaisissalam pergi meninggalkan mereka, azab itu benar-benar akan turun kepada mereka. Namun, Allah membuka pintu tobat dan ampunan kepada mereka. Mereka menyesali apa yang telah mereka perbuat terhadap nabi mereka. Salah satu bentuk penyesalan mereka adalah memisahkan setiap hewan dari induknya, lalu berteriak, bermunjat, dan berpulang kepada Allah. Setiap orang pun menangis, baik anak-anak maupun dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, baik bayi maupun ibu-ibu. Tak terkecuali binatang dan hewan ternak. Mereka seakan turut berteriak dan berdoa. Sampai tibalah saatnya Allah memberikan pertolongan, kasih-sayang dan rahmat-Nya, serta mengangkat azab yang akan menimpa mereka. (Lihat: Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan--Nihâyah, jilid 1, hal. 231).

 

Kejadian itu kemudian diabadikan Allah dalam Al-Quran:

 

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ

 

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu,” (QS Yunus [10]: 98).

 

Allah juga menginformasikan bahwa setelah azab akan turun, keimanan mereka benar-benar bermanfaat bagi kaum Nabi Yunus ‘alaisissalam. Dia mengangkat azab itu setelah melihat keadaan dan tobat mereka.

 

Tiga hari yang dijanjikan Nabi Yunus ‘alaisissalam kepada kaumnya pun berlalu. Ia menanti janji Allah terhadap mereka. Namun, karena menjauh dari mereka, Nabi Yunus ‘alaisissalam pun tidak mengetahui tobat dan permintaan ampun yang mereka lakukan. Tahu-tahu ia menemui lagi mereka dalam keadaan selamat. Karena itu, tak heran jika ia merasa kesal karena Allah tak jadi menurunkan azab. Disebutkan, jika ada yang berbohong pada saat itu, maka hukumannya adalah dibunuh. Konon, Nabi Yunus ‘alaisissalam pun pergi dari kaumnya karena menghindari hukuman tersebut.

 

Dari kisah di atas, dapat dipetik pelajaran penting bahwa keimanan dan pertobatan suatu kaum berpengaruh besar dalam menghapus murka Allah dan menolak petaka yang akan ditimpakan-Nya. Buktinya, keimanan dan pertobatan kaum Nabi Yunus ‘alaisissalam yang mampu mengangkat azab yang hendak ditimpakan kepada mereka. Padahal, Nabi Yunus menyampaikan, tentunya berdasarkan wahyu, bahwa tiga hari lagi azab kepada mereka. Sungguh Allah adalah Dzat yang maha pemurah lagi maha penyayang.

 

Demikian kisah yang disarikan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, jilid 11, hal. 541, nomor hadis 1195, dari Abdullah ibn Mas‘ud, tepatnya dalam “Kitâb Fadhâ’il Yûnus.” Wallahu a’lam. []

 

(M. Tatam)