Jumat, 28 November 2014

(Do'a of the Day) 05 Shafar 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma inni a'uudzu bika min ghala batid daini wa minal juu'I fa innahuu bi'sadh dhajii'u.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hutang yang tidak terbayar dan dari kelaparan, karena ia adalah sejahat-jahatnya suatu kejatuhan.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 60.

Mbah Sahal: Pendidikan Sosial Keagamaan



Pendidikan Sosial Keagamaan
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau sekurang-kuraangnya mempunyai nilai Islamiah.

Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.

***

Ajaran Islam atau lebih khusus syari'at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syari'at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu'amalah dan mu'asyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah). Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah al-mutlaqah).

Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.

Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari.

Dari sisi struktur sosial yang menyangkut setratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik antara ulama, umara' (pemerintah), aghniya' (orang kaya) dan kelompok fuqara’ (orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu'asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masing-masing.

***

Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai "ketertiban umum". Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu'asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama.

Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan timbul sikap-sikap sebagai berikut:

Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima'i), toleransi (al-tasamuh), mutualitas/kerjasama (al-ta’awun), tengah-tengah (al-i'tidal), dan stabilitas (al-tsabat).

Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal).

Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial.

Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek 'aqidah), Islam (aspek syari'ah), dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial. []

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS).

(Khotbah of the Day) Lima Perkara Penghalang Kesalehan



KHOTBAH JUMAT
Lima Perkara Penghalang Kesalehan

Sahabat Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata “andaikan tidak ada lima keburukan di dunia ini, tentunya manusia menjadi orang saleh semua. Kelima keburukan itu adalah 1) merasa senang dengan kebodohan. 2) tamak dengan dunia. 3) bakhil dengan kelebihan harta. 4) beramal disertai riya’ dan 5) selalu merasa bangga diri di atas yang lainnya”.

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ مَنْ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ بِصِدْقِ نِيَّةٍ كَفَاهُ وَمَنْ تَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِاتِّبَاعِ شَرِيْعَتِهِ قَرَّبَهُ وَأَدْنَاهُ وَمَنِ اسْتَنْصَرَهُ عَلَى أَعْدَائِهِ وَحَسَدَتِهِ نَصَرَهُ وَتَوَلاَّهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ حَافَظَ دِيْنَهُ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ (أَمَّا بَعْدُ) فَقَالَ تَعَالَى وما أمروا الاليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلوة ويؤتوا الزكوة وذلك دين القيمة  

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Marilah di hari ini kita mempertebal ketaqwaan kita kepada Allah dengan menghindarkan diri dari kecurangan,kebohongan dan berbagai sifat tercela lainnya. Karena dengan demikian kita dapat istiqamah berusaha menjadi orang yang saleh

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah

Apa yang hendak disampaikan khatib pada khutbah kali ini sebenarnya berasal dari satu pertanyaan asasi. Manakah sebenarnya yang lebih dulu ada di dunia ini, kegegelapan  lantas disusul dengan terang. Ataukah terang yang kemudian dinodai dengan kegegelapan?

Dalam sebuah perkataanya sahabat Ali Karaamallhu Wajhah pernah berkata “andaikan tidak ada lima keburukan didunia ini, tentunya manusia menjadi orang saleh semua. Kelima keburukan itu adalah 1) merasa senang dengan kebodohan. 2) tamadk dengan dunia. 3) bakhil dengan kelebihan harta. 4) riya’ dalam beramal dan 5) membanggakan diri”. Dalam teks arabnya berbunyi demikian:

عَنْ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْلَا خَمْسَ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ اَوَّلُهَا اَلْقَنَاعَة ُبِالجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ بِالْفَضْلِ وَالرِّياَ فِى الْعَمَلِ وَالْإعْجَابُ بِالرّأيِ

Demikian keterangan Sayyidina Ali tentang lima hal yang merusak susunan masyarakat muslim sehingga terjebaklah mereka dalam kenistaan. Sebagaimana akan diterangkan satu persatu dibawah ini.

Pertama, merasa senang dengan kebodohan, artinya adalah membiarkan diri bahkan merasa nyaman dengan ketidak tahuan dalam masalah agama. Sebagaimana banyak terjadi pada muslim masa kini di perkotaan yang tiap harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bermacam pekerjaan demi mencapai cita-citanya. Sedangkan masalah ke-islaman cukup dipasrahkan saja kepada para ustadz yang dipanggil ketika dibutuhkan. Entah untuk berdoa, untuk ditanya ataupun sekedar dijadikan teman curhatnya.

Tidak ada dalam dirinya keinginan belajar dengan sungguh-sungguh apa itu Islam dan bagaimana seharusnya menjadi muslim yang baik. Tidak pernah ingin tahu cara shalat dan wudhu yang benar. Mereka sudah puas dengan pengetahuan yang didapatnya dari teman atupun dari meniru tetangga. Paling-paling belajar keislamannya didapat dari tayangan televisi pada kuliah subuh dan dalam broadcast- broadcast semacamnya.

Memang itu tidak salah, tapi semua itu menunjukkan ketidak seriusan keislaman mereka dibandingkan dengan keseriusannya belajar ilmu pengetahuan atupun kesibukannya mengurus berbagai urusan dunia. Orang seperti ini seharusnya mengingat pesan Rasulullah saw:

اللهُ يَبْغَضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِاْلأَخِرَةِ رواه الحاكم

Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tetapi bodoh dalam urusan akhirat.

Ma’asyiral Mukminin Rahimakumullah

 Kedua, tamak dengan dunia dan ketiga bakhil dengan kelebihan harta, kedunya merupakan pasangan yang selalu terkait bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karena siapapun yang tamak dan merasa kurang dengan berbagai kepemilikan hartanya pastilah dia akan berlaku bakhil dan sangat sayang dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.

Dalam kesempaatan lain Rasulullah saw pernah menyinggung tentang ketamakan. Beliau berkata yang artinya bahwa mencintai harta adalah sumber segala kecelakaan dan keburukan. Baik keburukan fisik maupun mental. Mari kita bersama-sama berintropeksi diri mengapa diri ini seringkali masuk angin gara-gara terlalu sering di jalan demi mengejar satu pekerjaan. Betapa para pebisnis itu sering kali keuar masuk rumah sakit berganti-ganti penyakit karena komplikasi yang disebabkan kurangnya perhatian dalam mengurus diri dan lebih suka mengejar materi. Meskipun ini bukanlah hukum universal yang dapat diterapkan pada semua orang, tetapi minimal menjadi pelajaan bagi kita yang mengerti. Betapa kecintaan dan ketamakan dunia selalu membawa petaka. Belum lagi petaka mental yang merusak negeri ini. Korupsi, kolusi dan juga kebiasaan berbohong demi citra diri semua bermuara pada satu kata ‘tamak terhadap dunia’. Untuk hal ini khatib lebih baik tidak banyak komentar karena semua jam’ah telah mafhum adanya.

Rasulullah saw pernah bersabda:

الزّهْدُ فِى الدُّنْيَا يُرِيْحُ الْقَلْبَ وَالبَدَنَ وَالرُّغْبَةُ فِيْهَا تُتْعِبُ اْلقَلبَ وَاْلبَدَنَ رواه الطبرانى

Zuhud (tidak suka) dunia sangat menyenangkan hati dan badan. Sedangkan cinta dunia sangat melelahkan hati dan badan.

Demikianlah bahwa kebakhilan ataupun kepelitan merupakan dampak sistemik yang tidak terhindarkan dari ketamakan dunia. Dan kebakhilan pasti akan menjauhkan seseorang dari Allah, surga dan sesama manusia. Itu artinya kesalehan bagi orang yang bakhil adalah angan-angan belaka. Dan jikalau ada keselahan di sana pastilah itu hanya kesalehan yang semu. Karena hadits Rasulullah tentang kebakhilan yang menjauhkan seseorang dari Allah dan surga serta manusia sesama adalah hadits Shahih.

Para Jama’ah yang Dirahmati Allah

Keempat, riya dalam beramal. Riya’ adalah pamer yaitu melakukan satu amal ibadah (agama) dengan maksud mendapatkan pujian dari manusia. Atau dengan bahasa yang agak kasar riya dapat juga dikatakan dengan mengharapkan nilai dunia dengan pekerjaan akhirat. Rasulullah saw menegaskan bahwa riya termasuk dalam kategori syirik kecil (as-syirikul asyghar) dalam salah satu sabdanya “sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan atas dirimu adalah syirik kecil, yaitu riya” (HR.Ahmad).

Disebut demikian karena perwujudan riya yang sangat halus dan tidak kentara. Adanya hanya dalam hati. Tidak ketahuan di dalam tindakan diri. Para sufi mengibaratkan halusnya riya seperti semut hitam yang merayap di atas batu keras warna hitam di tengah pekat malam. Begitu halusnya riya hingga seringkali mereka yang terjangkit penyakit ini seringkali tidak sadar.

Fudhail bin Iyadh seorang sufi pernah mencoba menjabakan tentang riya dengan bahasa keseharian katanya: ”jika datang seorang pejabat kepadaku, kemudian aku merapikan jenggotku dengan kedua belah tanganku, maka aku benar-benar merasa khawatir kalau dicatat dalam kategori orang-orang munafik”

Demikianlah hendaknya segala apa yang dilakukan manusia disandarkan kepada Allah swt. Tidak hanya semata mempertimbangkan kepentingan manusia. Apalagi jika berhubungan dengan amal ibadah murni seperti shalat, baca al-qur’an, zakat dan lainnya maka Allah swt mengancam mereka yang mendustainya dengan neraka Rasulullah saw bersabda:

اِنَّ اللهَ حَرَّمَ الْجَنَّةَ عَلَى كُلِّ مُرَاءٍ

Sesungguhnya Allah swt mengharamkan surga bagi orang yang riya.

Dan kelima, adalah ujub atau membanggakan diri. Yaitu merasa diri paling sempurna dibandingkan dengan yang lain. Ketidak bolehan perasaan ujub ini dikhawatirkan pada lahirnya kesombongan, dan kesombongan itu sendiri merupakan sifat Allah yang tidak boleh ada dalam diri manusia.

Demikianlah lima hal yang menurut Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah dapat menghalangi seseorang menjadai seorang yang saleh.

Demikianlah khotbah singkat kali ini, semoga hal ini dapat menjadi bahan renungan yang mendalam, bagi kita semua amin.

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ


Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Fasal Zakat Profesi



Fasal Zakat Profesi

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum. Ustadz saya mau bertanya. Saya bekerja tiap bulan gajian. Apakah ada zakatnya? Ketentuaannya bagaimana? Kalau ada zakatnya dikasihkan kemana?

(Ahmad Fathoni, Jakarta)

Jawaban:

Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya yang terhormat, semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat Allah swt dan selalu mendapatkan hidayah-Nya. Bahwa persoalan zakat gaji memang tidak diketemukan penjelasannya dalam ketentuan fiqih klasik. Ketiadaan keterangan dalam ketentuan fiqh klasik bukan berarti bahwa gaji tidak wajib dizakati. Para ulama seperti Syekh Muhammad al-Ghazali, Dr. Yusuf al-Qaradlawi telah melakukan upaya untuk memecahkan persoalan ini dengan mencari cantolan atau rujukan dalam fiqh klasik.

Misalnya, ijtihad yang dilakukan Syaikh Muhammad al-Ghazali bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.

إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛ فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ --محمد الغزالي، الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118

“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”. (Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah)

Pandangan ini setidaknya didasari atas dua alasan. Pertama adalah keumumam firman Allah swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ -- البقرة:267

“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 267)

Kedua, secara rasional, Islam telah mewajibkan zakat atas petani. Jika petani saja yang penghasilannya lebih rendah dari mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih tinggi dari petani.

Sedangkan Dr. Yusuf al-Qardlawi sampai pada kesimpulan bahwa gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu yang halal wajib dizakati. Hal ini disamakan dengan zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal).

 فَالتَّكْيِيْفُ الفِقْهِيُّ الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ --يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 490

“Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya. Sedang cantolan fiqhnya yang sahih terhadap penghasilan ini adalah mal mustafad (harta perolehan)” (Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 490)

Sedangkan mengenai nishab gaji adalah sama dengan nishabnya uang. Demikian ini karena banyak orang yang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, karenanya yang paling baik adalah menentapkan nishab gaji berdasarkan nishab uang yang setara dengan nilai 85 gram emas. Dan zakat tersebut diambil dari gaji atau pendapat bersih. Dalam soal zakat gaji tidak disyaratkan adanya haul, tetapi zakatnya harus ditunaikan ketika gaji itu diterima sebesar 2,5 %.

وَأَوْلَى مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ نِصَابُ النُّقُودِ هُوَ الْمُعْتَبَرُ هُنَا, وَقَدْ حَدَّدْنَاهُ بِمَا قِيْمَتُهُ 85 جِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ...وَإِذَا كُنَّا قَدِ اخْتَرْنَا القَوْلَ بِزَكَاةِ الرَّوَاتِبِ وَالأُجُورِ وَنَحْوِهَا فَالَّذِي نُرَجِّحُهُ أَلَّا تُأْخَذَ الزَّكَاةُ إِلَّا مِنَ "الصَّافِي" ... فَالَّذِي إِخْتَارَهُ أَنَّ الْمَالَ الْمُسْتَفَادَ كَرَاتِبِ الْمُوَظَّفَ وَأَجْرِ الْعَامِلِ وَالْمُهَنْدِسِ وَدَخْلِ الطَّبِيبِ وَالْمَحَامِي وَغَيْرِهِمْ مِنْ ذَوِي الْمِهَنِ الْحُرَّةِ وَكَإِيرَادِ رَأْسِ الْمَالِ الْمُسْتَغَلِ فِى غَيْرِ التِّجَارَةِ كَالسَّيَّارَاتِ وَالسُّفُنِ وَالطَّائِرَاتِ وَالْمَطَابِعِ وَالْفَنَادِقِ وَدُوَرِ الْلَهْوِ وَنَحْوِهَا لَا يُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ مُرُورُ حَوْلٍ بَلْ يُزَكِّيهِ حِيْنَ يَقْبِضُهُ ((يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 513، 517، 505

“Yang paling utama dari semua itu adalah bahwa nishab uang merupakan yang mu’tabar (yang dijadikan patokan) dalam konteks ini (nishab gaji atau pendapatan). Dan kami telah menentukan nilainya setara dengan nilai 85 gram emas…..Dan ketika kami telah memilih pendapat (yang mewajibkan) zakar gaji, upah dan sejenisnya, maka pendapat yang kami kuatkan adalah bahwa zakatnya tidak diambil kecuali dari pendapatan bersih…. Maka pendapat yang saya pilih bahwa harta perolehan seperti gaji pegawai, gaji karyawan, insyinyur, dokter, pengacara dan yang lainnya yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh modal yang investasikan di luar sektor perdangan seperti kendaraan, kapal laut, kapal terbang, percetakan, perhotelan, tempat hiburan dan yang lain, itu tidak disyaratkan bagi kewajiabn zakatnya adanya haul, tetapi zakat dikeluarkan ketika ia menerimanya (gaji)” (Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu’assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 513, 517, 505)

Kenyataan yang ada para pemerintah dan perusahaan mengatur gaji pegawainya beradasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itu zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih mencapai satu nishab.

Dari penjelasan di atas setidak dapat ditarik gambaran sebagai berikut. Jika pendapatan bersih seorang pekerja selama setahun seperti dokter atau karyawan sebuah perusahaan atau pegawai pemerintahan mencapai nishab yang telah ditentukan maka ia wajib mengeluarkan zakatnya. Sedang zakatnya dikeluarkan ketika menerima pendapatan tersebut. Contohnya jika seseorang selama setahun memperoleh pendapatan bersih sekitar 48 juta, dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap bulan 4 juta. Maka ia harus mengeluarkan zakat setiap bulannya 2,5 % dari 4 juta tersebut, yaitu sebesar 100 ribu. Jadi selama setahun ia mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.

Selanjutnya mengenai zakat gaji tersebut bisa langsung diberikan kepada golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana firman Allah swt:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ--التوبة: 60

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. At-Taubah [9]: 60)

Atau bisa melalui lembaga zakat yang terpecaya seperti LAZISNU (Lembaga Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama). Dan semoga dengan berzakat, harta anda menjadi bersih dan barakah. Amin. []

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)