Agar
Demokrasi Kita tidak Mati
Oleh:
Luthfi Assyaukanie
PERGELARAN
pemilihan umum (pemilu) sejatinya bukan hanya medium untuk memilih presiden
atau wakil-wakil rakyat. Yang lebih penting lagi, pemilu ialah peristiwa
politik yang akan menentukan nasib demokrasi kita. Baik-buruknya masa depan
Indonesia tergantung siapa yang kita pilih dalam pemilu ini.
Pilihan
yang salah dalam pemilu bisa berpengaruh pada masa depan kehidupan politik kita
dan demokrasi kita. Dahulu, di era 1960-an, tentara dan militer bisa dianggap
sebagai pembunuh utama demokrasi. Namun kini, kebanyakan demokrasi mati di
tangan rakyatnya sendiri, salah satunya lewat pemilu.
Steven
Levitsky dalam bukunya yang terkenal How Democracies Die, secara gamblang
menjelaskan, ‘demokrasi tidak akan mati di tangan seorang jenderal, tapi di
tangan para pemimpin terpilih--presiden atau perdana menteri yang memenangi
kontes kekuasaan’.
Para
pemimpin terpilih itu bukan hanya presiden, melainkan juga wakil-wakil rakyat
yang akan bekerja di parlemen. Di tangan merekalah masa depan suatu negara
dipertaruhkan. Jika rakyat memilih kandidat yang benar, negeri ini akan aman.
Sebaliknya, jika mereka memilih calon yang salah, demokrasi taruhannya.
Tebar
ketakutan
Proses pembunuhan demokrasi lewat pemilu bisa berlangsung lama, tapi bisa juga berlangsung singkat. Jika kita salah memilih calon presiden, demokrasi bisa terbunuh seketika, dalam waktu singkat. Levitsky merujuk Jerman sebagai contoh bagaimana demokrasi dibunuh dengan cepat, ketika rakyat Jerman memilih Adolf Hitler sebagai pemimpin mereka. Kesalahan memilih dalam pemilu bisa berakibat fatal.
Hitler
merupakan contoh ekstrem bagaimana demokrasi dibunuh lewat pemilu. Proses
pemilunya cukup terbuka dan fair. Namun, situasi politik dan bagaimana para
politikus memainkan situasi, itu yang krusial.
Jerman
pada awal 1930-an ialah negara yang tengah memulihkan diri akibat Perang Dunia
I dan berusaha menangkal dampak great depression yang melanda dunia ketika itu.
Ada dua sikap yang diambil para politikus Jerman menghadapi situasi tersebut;
pesimistis dan optimistis. Mereka yang pesimistis menggunakan retorika
ketakutan dan ancaman asing. Sementara itu, yang optimistis menebar harapan dan
membuka kerja sama dengan dunia luar.
Hitler
berkampanye dengan retorika penuh pesimisme. Dia menebar ketakutan bahwa Jerman
sedang terkepung dan akan bubar dalam waktu dekat. Malangnya, rakyat Jerman
terpukau dengan retorika Hitler yang berapi-api. Mereka datang ke bilik suara
dan memilih laki-laki itu. The rest is history.
Dalam
banyak kasus, demokrasi mati perlahan-lahan, lewat proses panjang yang
menyakitkan. Salah satu contohnya ialah Venezuela. Lewat pemilu, rakyat
Venezuela memilih pemimpin yang salah. Hal tersebut yang membuat negeri itu
kini terpuruk dalam resesi dan krisis besar. Pada 30 tahun lalu, Venezuela
ialah salah satu negara demokratis di Amerika Latin.
Dekonsolidasi
demokrasi
Kesalahan memilih pemimpin dalam pemilu ialah akar dari apa yang para akademisi sebut sebagai 'dekonsolidasi demokrasi'. Dekonsolidasi ialah proses demokrasi mengalami penurunan kualitas, baik pada aspek-apsek prosedural maupun aspek-aspek yang bersifat substansial.
Aspek-aspek
prosedural terkait dengan penyelenggaraan negara, seperti kelancaran birokrasi
dan kemudahan pengurusan administrasi. Sementara itu, aspek-aspek substansial
terkait dengan hak-hak dasar warga negara, seperti jaminan kebebasan beragama,
berpendapat, dan berekspresi.
Pemilu
sejatinya menghasilkan pemimpin yang bisa melaksanakan dua aspek demokrasi itu.
Setiap kali pemilih memasuki ruang pencoblosan, hal dasar yang mereka harus
pertanyakan ialah apakah capres atau caleg yang akan mereka coblos mampu
mengelola pemerintahan dan mampu menjamin hak-hak dasar mereka.
Kegagalan
dalam memilih pemimpin ialah awal dari proses memburuknya demokrasi. Memilih
pemimpin yang salah akan menciptakan banyak persoalan, dari ketidakpercayaan
masyarakat karena pngelolaan negara yang kacau hingga frustrasi dan sikap-sikap
agresif yang bisa berujung pada konflik sosial.
Gejala
paling awal dekonsolidasi ialah ketidakpercayaan masyarakat terhadap para
pemimpinnya. Gejala itu tengah dihadapi negara-negara maju yang selama ini
dikenal sebagai negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan
Australia.
Penelitian Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk (The Democratic Disconnect, 2016) terhadap negara-negara demokratis di dunia, mengungkapkan faktor ketidakpercayaan masyarakat pada elite dan institusi politik sebagai prekursor dari kepercayaan mereka terhadap demokrasi.
Mulanya,
masyarakat atau warga bersikap kritis pada pemerintah dan elite politik. Namun
lama-kelamaan, sikap kritis itu meningkat menjadi sikap apatis, bukan hanya
pada institusi politik, melainkan juga pada demokrasi. Masyarakat mulai
kehilangan kepercayaan pada demokrasi sebagai sistem politik yang ideal.
Amerika
Serikat merupakan contoh paling fenomenal dalam studi tentang dekonsolidasi.
Ketidakpercayaan masyarakat pada partai politik dan sikap apatis mereka pada
politisi menjadi salah satu sebab kemenangan Donald Trump. Pria ini menang
bukan karena didukung banyak orang, melainkan karena orang yang membencinya tak
peduli politik dan tak mau datang ke bilik suara.
Apa yang
terjadi di Amerika Serikat bisa terulang di Indonesia atau di mana saja. Itu
terjadi jika para pemilih tidak peduli dengan politik dan tak peduli siapa yang
akan menjadi pemimpin di negeri ini. []
MEDIA
INDONESIA, 16 April 2019
Luthfi
Assyaukanie | Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Dosen di
Universitas Paramadina, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar