Mari Kembali Bersatu
Oleh: Yenny Zannuba Wahid
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, dalam bukunya, Identity
and Violence: The Illusion of Destiny, memberikan narasi yang bagus tentang
kekerasan yang dipantik oleh perbedaan identitas.
Menurut Amartya Sen, di satu sisi identitas berperan memberikan
kekuatan dan kehangatan dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi di sisi lain ia
bisa juga sebagai pedang pemecah yang menghancurkan. Berdasarkan pengalaman
hidupnya sendiri, Sen menjadi saksi kerusuhan antara penganut Hindu dan Muslim
pada 1940-an.
Konflik yang dipicu perbedaan identitas ini terjadi cukup cepat.
Mereka yang sebelumnya hidup rukun tiba-tiba berhadap-hadapan untuk saling
memusnahkan satu dengan yang lain seolah-olah tak saling mengenal sebelumnya.
Saat ini, bahaya politik identitas yang diingatkan oleh Sen patut menjadi
perhatian kita.
Bangsa kita tidak hanya berbeda dalam identitas agama, tetapi juga
suku, ras, bahasa, dan budaya. Sejak awal, jika kita membaca karya-karya
klasik, seperti Pararaton, Sutasoma, dan Nagarakertagama, nenek moyang kita
sudah berusaha merajut perbedaan identitas tersebut lewat benang persatuan.
Kenyataan ini memperlihatkan, perbedaan telah disadari
keberadaannya sejak mula dan sering kali menjadi sumber perpecahan serta
konflik sehingga perlu dicarikan jalan untuk menyatukannya. Salah satu pemicu
konflik dan perpecahan adalah politik untuk merebutkan ruang-ruang kekuasaan.
Problem pemilu era ”post-truth”
Politik memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Alam demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk berpolitik. Siapa pun mempunyai hak untuk menyalurkan aspirasi politik seluas-luasnya. Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan suara politik rakyat. Kita pun sudah berulang kali menghadapi gegap gempita pemilu dan bisa menyelesaikan setiap prosesnya dengan baik.
Namun, Pemilu 2019 patut mendapatkan catatan tebal karena
berlangsung pada era post-truth. Dalam era ini, politik bukan lagi
memperdebatkan substansi masalah, melainkan lebih berpegang pada emosi yang
melepaskan diri dari kebenaran. Di sinilah kenapa hoaks lebih laku dibandingkan
dengan penjelasan yang argumentatif dan ilmiah karena kebenaran dalam politik
post-truth tidak penting lagi.
Apa yang penting bagi politikus adalah mengaduk emosi massa dengan
berbagai cara, salah satunya melalui berita-berita hoaks yang sengaja
diproduksi secara sistematis dan masif. Semburan-semburan berita bohong yang
memenuhi ruang hidup kita inilah yang menenggelamkan kebenaran.
Apabila kita berpatokan pada teori Jean Baudrillard tentang
simulacra, hoaks yang banyak bertebaran dalam Pemilu 2019 dibuat dengan tidak
memedulikan lagi fakta, benar-salah, dan nalar. Lewat berbagai cara, kebenaran
bisa menjadi salah dan berlaku sebaliknya. Inilah yang menyebabkan ketegangan
dan titik didih dalam masyarakat menjadi tinggi.
Akibat selanjutnya adalah terjadi pembelahan yang tajam. Kelompok
yang berbeda pilihan politik dianggap sebagai liyan yang harus diberangus walau
itu keluarga dan tetangga kita sendiri. Seperti yang kita lihat, dampaknya
sudah merembet pada persoalan sehari-hari yang sebetulnya tidak berkaitan
dengan politik.
Dari berita kita mendapatkan kabar sebuah keluarga harus
memindahkan kuburan keluarganya karena berbeda politik dengan pemilik lahan
pekuburan. Pun perkelahian yang mengakibatkan korban jiwa gara-gara perdebatan
tentang jagoan yang didukungnya. Belum lagi saling ejek dan risak di media
sosial.
Fakta-fakta ini memperlihatkan politik post-truth, dengan alat
utamanya hoaks, terbukti telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Selama proses pemilihan umum, kita kehilangan kegembiraan, humor,
kehangatan, dan kebahagiaan karena terus-menerus dipancing untuk bersitegang.
Pemilihan umum bukan lagi sebagai pesta, melainkan telah berubah sebagai ajang
peperangan.
Kita melupakan diri kita sebagai satu bangsa. Kita dikoyak-koyak
oleh politik identitas yang terus-menerus dieksploitasi secara habis-habisan demi
kepentingan politik sesaat.
Politik sebenarnya tidak kotor, tetapi politikuslah yang
mengotorinya. Saya teringat ucapan John F Kennedy, ”Apabila politik kotor, maka
puisi yang akan membersihkannya.” Puisi dihasilkan oleh hati yang jernih untuk
menyuarakan nurani terdalam. Semestinya politik juga seperti itu. Akan tetapi,
hari-hari ini yang terjadi sebaliknya: politik dilahirkan oleh hati yang kotor.
Satu zat dan satu urat
Ada satu petikan puisi Chairil Anwar yang bisa kita renungkan: ”Kau dan aku satu zat, satu urat/Di zatmu, di zatku, kapal kapal kita berlayar/Di uratmu, di uratku, kapal kapal kita bertolak & berlabuh.” Puisi berjudul ”Perdjanjian Dengan Bung Karno” tersebut menyuratkan bahwa bangsa Indonesia merupakan ”satu zat” dan ”satu urat” yang hidup dalam kapal yang sama. Inilah mengapa kita perlu kembali menyatukan diri. Apabila dibiarkan terpisah, kehancuran yang akan terjadi.
Kini, Pemilu 2019 telah usai. Baik yang menang maupun yang kalah
tetap ”satu zat” dan ”satu urat” yang bernaung dalam kapal Indonesia Raya. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya jika persahabatan dan persaudaraan yang sempat
terkoyak sewaktu pemilu kita rajut kembali dengan tenun kebersamaan,
persaudaraan, dan persatuan. Kita hanya berbeda dalam pilihan politik dan sekarang
sudah usai. Kita tidak berbeda dalam mencintai bangsa ini.
Setelah pemilu berakhir, yang liyan tidak semestinya dijadikan
ancaman lagi. Kita mesti mempunyai keberanian untuk memeluk siapa saja yang
selama ini kita anggap sebagai liyan. Agar ini terwujud, meminjam metafora
James Baldwin, perbedaan serupa dengan ”kain yang menutupi ketelanjangan
seseorang”, maka ”sebaiknya kain itu longgar”.
Artinya, dengan kelonggaran tersebut ada ruang dan kebesaran jiwa
untuk menerima bahwa orang lain yang berbeda dengan kita bukan sebagai ancaman.
Sikap inklusif inilah yang bisa kita pakai sebagai fondasi untuk kembali
bersatu.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, jika kita ingin dewasa dalam
berdemokrasi, politik identitas harus kita tinggalkan, digantikan dengan
politik kebangsaan. Landasan politik kebangsaan adalah kemanusiaan. Apabila
kemanusiaan menjadi pegangan, ujung yang hendak diraih adalah persamaan dan
persaudaraan.
Selama ini kita masih terjebak pada politik antagonisme yang
menyebabkan satu sama lain berhadap-hadapan dan terkotak-kotak untuk mencari
menang- kalah sehingga tujuan politik untuk mencapai tujuan kesejahteraan
bersama menjadi terabaikan.
Dari sinilah muncul anggapan bahwa politik adalah permusuhan.
Belum terlambat untuk mengubah perspektif dan haluan politik kita. Kita bisa
memulainya hari ini dengan merangkul seluruh lapisan masyarakat.
Kalau ada sayatan-sayatan akibat pemilu, marilah kita sembuhkan
dengan kasih sayang. Kata-kata keras dan tajam, saling sindir dan menyerang,
kita gantikan dengan kata-kata yang menyejukkan. Kita kembali mencari titik
temu, bukan titik pisah.
Petuah orang tua kita tentang falsafah sebatang lidi masih relevan
hingga saat ini. Lidi akan kuat jika bersatu, bukan lidi yang sendirian.
Marilah kita kembali bersatu. []
KOMPAS, 20 April 2019
Yenny Zannuba Wahid | Direktur
Wahid Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar