Persemakmuran
Nusantara
Oleh: Emha Ainun Nadjib.
“Persemakmuran Nusantara” bukan kata atau
bahasa konstitusi. Juga bukan draft formula kenegaraan. Ia lebih merupakan
istilah romantik kebudayaan. Kepala mau pecah mikirin Indonesia, bolehlah iseng
memimpikan kebersamaan namun dengan membuka kemungkinan tafsir baru, sepanjang
bersetia kepada moral kebangsaan dan kesatuan hati seluruh manusia Indonesia.
Persemakmuran
Nusantara bukan Persemakmuran Indonesia. NKRI kabarnya sudah “harga mati”.
Sudah “padat”. Sedangkan Persemakmuran Nusantara itu “cair”. Ia ruh, gairah,
semangat, impian, cita-cita. Bukan pula berassosiasi ke Negara Federasi atau
“commonwealth”. Ibarat menggembalakan kambing, patok kayu penyimpul tali yang
mengikat leher kambing-kambingnya adalah NKRI. Tetapi tali antara patok itu
dengan leher kambing adalah kemerdekaan berpikir, romantisme cita-cita,
dinamika cinta bagi kita kambing-kambing untuk sejauh mungkin mencari
rumput-rumput masa depannya. Kita ulur tali itu sepanjang-panjangnya, tetapi
patok NKRI menjaga batas seberapa panjang tali itu.
Kemerdekaan manusia,
masyarakat dan bangsa, adalah kemerdekaan untuk menemukan batas. Ketepatan
batas itu berpedoman pada titik akurat dari kesejahteraannya, kesehatan dan
keselamatannya. “Terlalu membatasi” atau “tidak terbatas” sama-sama mengandung
ranjau atas kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan. Kemerdekaan adalah punya
pilihan baju sebanyak-banyaknya tetapi membeli hanya beberapa helai. Berdirinya
NKRI menapaki “kemerdekaan” nya dengan mempersyaratkan perdamaian abadi, menuju
keadilan sosial. Punya pakaian sebanyak-banyaknya atau tidak punya pakaian sama
sekali: sama-sama tidak adil. Terlalu kenyang itu tidak adil, sebagaimana tidak
makan juga tidak adil.
Apakah para pendahulu
kita di zaman silam pernah bikin Persemakmuran Nusantara? Dulu saya menyangka
Kesultanan Demak yang merintis itu. Tapi kemudian saya memperoleh wacana bahwa
Persemakmuran Nusantara sudah diselenggarakan oleh Gadjah Mada, Perdana Menteri
Majapahit, yang disempurnakan justru dengan Sumpah Palapa.
Sumpah Palapa 1336
yang diucapkan oleh putra Lamongan itu bukan ikrar penjajahan, tekad kolonisasi
dan imperialisasi. Negeri-negeri yang dimobilisasi tidak dirampok alam dan
hartanya, tidak dijadikan “Provinsi” atau bawahannya. Secara berkala para
pimpinan wilayah berkumpul di Trowulan untuk minum air kendi emas bersama,
dalam posisi melingkar dan sejajar.
Tentu hal itu harus
diuji dengan penelitian yang mendalam untuk lebih memastikan apakah
kepemimpinan Majapahit ketika itu memenuhi “kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial”. Apakah ia menerapkan otoritarianisme-diktatorisme ataukah
semacam demokrasi. Apakah selama Majapahit memerintah, rakyatnya berada dalam
keadaan “adil dan makmur”. Atau, Sumpah Palapa itu sendiri sesungguhnya lahir
dari semangat Persatuan dan Kesatuan, ataukah penguasaan yang kolonialistik dan
imperialistik.
Jendela sejarah perlu
dibuka lebih lebar. Apakah bangsa kita pernah mengalami, misalnya, “simulasi”
transformasi dari sistem kekuasaan “tumpengan” menjadi “ambengan”. Tumpeng itu
nasi dibentuk bulatan kerucut, monolitik. Ambeng itu nasi ditaburkan secara
merata di “tampah”, sehingga mendekati apa yang dimaksud Persemakmuran
Nusantara. Atau pertanyaan mendasarnya begini: NKRI sekarang ini tumpeng
ataukah ambeng? Demokrasi itu cenderung tumpeng ataukah ambeng
Yang pasti tradisi
masyarakat dan Pemerintah kita sampai hari ini adalah tumpengan, dalam berbagai
jenis hajatan. Sisa kesetiaan ambeng justru bisa dijumpai di Tondano, terutama
di kalangan masyarakat Jaton, Jawa-Tondano, anak turun deputinya Pangeran
Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah dan Kiai Mojo.
Sebelum mendengar
wacana tentang Air Kendi Emas Majapahit, saya menyangka ambengan Persemakmuran
Nusantara adalah gagasan Sunan Kalijaga. Saya berpikir begini: “Negara”
Kesatuan Majapahit ditransformasikan menjadi “Negara” Persemakmuran Demak. Atas
perundingan antara Sunan Kalijaga dibantu Sunan Kudus, dengan Prabu BrawijayaV
— Raja Majapahit terakhir — disepakati mengangkat Raden Patah menjadi Sultan
Persemakmuran Demak. Puluhan putra-putri Brawijaya yang lain membantu sistem
persemakmuran ini dengan mendirikan Perdikan-Perdikan dari NTT, NTB, sepanjang
Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dll.
Putra ke-17 Brawijaya
raja terakhir Majapahit memegang pucuk pimpinan pemerintahan Demak terusannya
Majapahit. Cucu beliau (Raden Timbal, Adipati Terung) dari anak pertama (Aryo
Damar, Joko Dilah), menjadi “Pangab” Demak, sesudah menjadi “Pangab” Majapahit.
Putra-putra Brawijaya yang lain (semuanya 117 putra-putri) “ambengan” memimpin
Tanah-Tanah Perdikan: Haryo Jaran Panoleh Adipati Sumenep, Ki Ageng Pengging,
Jaka Peteng di Madura tengah, Raden Jaka Maya di Bali, Haryo Sumanggang di
Gagelang, Haryo Tanuraba di Makasar, Haryo Kuwik di Kalimantan, Jaka Suralegawa
di Blambangan, Retno Bintara di Nusabarong, Retno Kedaton di Pengging, Ayu
Adipati di Jipang, Retno Marlangen di Lowanu, Retno Setaman di Gawang, Haryo
Bangah di Kedu, Joko Piturun alias Batara Katong di Ponorogo, Raden Gugur di
wilayah Gunung Lawu, Retno Keniten di Madura barat, Jaka Dandun di
Parangtritis, Joko Dubruk di Purworejo, Joko Balud di Mangiran, Joko Maluda di
Gunung Kidul, Raden Lacung di Bagelen, Joko Semprung di Brosot, Joko Lambare di
Ngawen, Joko Balado di Pedan, Joko Jenggring di Banjarnegara, Joko Krendha di
Gombong, Joko Delog di Klaten, dst.
Perdikan-Perdikan itu
tidak berposisi bawahan yang “wajib lapor” atau kasih upeti ke pusat. Sebagai
contoh Ki Ageng Mangir di Yogya selatan sampai menantunya yakni Ki Ageng Mangir
Wonoboyo I, bahkan sampai cucu beliau Ki Ageng Mangir Wonoboyo III, sejak
mendirikan Tanah Perdikan Mangir di akhir Majapahit, tidak pernah berhubungan
secara resmi dengan Kesultanan Demak maupun Pajang. Sampai kemudian terjadi
peristiwa sejarah mengerikan di awal Kerajaan Mataram: Ki Ageng Mangir Wanabaya
III alias Ki Ageng Mangir IV yang terlanjur menikahi Retno Pembayun, berkunjung
ke mertuanya, yakni Panembahan Senopati Raja Mataram — kemudian terjadilah
tragedi yang semua orang Yogya dan tlatah Mataram tahu namun saya tidak tega
menuliskannya di sini.
Terbunuhnya Wonoboyo
III pada logika saya kemarin adalah karena semangat Mataram adalah meneruskan
“kesatuan” Majapahit dan menolak “Persemakmuran Nusantara” Demak. Ketika gunung
Merapi meletus tahun 2010, menjelang puncak erupsinya tersebar mitos di
kalangan rakyat Yogya yang ketakutan. Bahwa “Gunung Merapi akan memuncaki
letusannya, mengirim lahar sejauh 30 km sehingga akan menghancurkan Kraton
Yogya. Banyak orang percaya bahwa 500 tahun sesudah kehancuran Majapahit sudah
tiba, maka Sabdo Palon Noyo Genggong balas dendam karena tidak rela atas sirna
ilang kertaning bhumi, yakni hancurnya Majapahit”.
Sabdo Palon dan Noyo
Genggong adalah “faksi” anti Demak yang bersumpah akan membalas dendam. Tetapi
ada dua faktor yang bisa menegasikan balas dendam lewat letusan Merapi itu.
Pertama, 500 tahun sesudah sirnanya Majapahit adalah sekitar 1978, jadi erupsi
Merapi itu sudah lewat 32 tahun. Kedua, Sabdo Palon Noyo Genggong tidak akan
menjadikan Kraton Yogya sebagai sasaran balas dendam, karena Kraton
Hamengkubuwanan Yogya maupun Pakubuwanan Solo adalah metamorphosis dari
kerajaan Mataram, yang secara aspirasi dan ideologi merupakan penerus
Majapahit.
Perhatikan, Majapahit
menggelari rajanya dengan “Prabu”. Demak dan Pajang dengan “Sultan”. Sultan
dari kata “Sulthon” (kekuatan khusus dari Allah). Kalau ini kita identifikasi
sebagai perbedaan antara aspirasi kesatuan dengan persemakmuran, “tumpeng” dan
“ambeng”, maka raja Mataram tidak memakai keduanya. Danang Sutawijaya
menggelari dirinya “Panembahan”. Dalam khasanah budaya dan filosofi Jawa,
Panembahan adalah orang yang sudah menyingkir dari kekuasaan politik menuju
pendalaman spiritual dan kematangan kebudayaan. Jadi gelar Panembahan Senopati
itu tidak lazim. Bisa jadi karena beliau sendiri sudah memeluk Islam sebagai
murid Sunan Kalijaga (bersama Bapaknya Ki Gede Pemanahan), namun mempercayakan
pertimbangan politiknya kepada Ki Juru Martani atau Ki Mondoroko yang beraliran
“Kejawen”.
Di sisi lain,
kekuatan Mataram tidak sesolid Majapahit, sehingga gelar Prabu juga tidak
tepat. Tapi pakai “Sultan” juga tidak mau, karena visi missinya berbeda.
“Keprabon” (ke-Prabu-an) Majapahit melandasi kekuatannya pada penyatuan
Hindu-Budha, ke-Sultan-an Demak merujukkan nilainya pada Walisongo. Kedua
alternatif itu tak mungkin diambil oleh Panembahan Senopati. Mungkin karena itu
kemudian muncul “kreativitas“ baru, yakni mitologi “Nyai Roro Kidul”, yang
relatif masih belum benar-benar ditinggalkan sampai hari ini.
Saya berharap itu
semua tidak benar, dan saya bergembira mendengar Gadjah Mada pun sudah
menggelar Persemakmuran Nusantara.
Memang mungkin tidak
terlalu salah bahwa wajah sosiologi politik Indonesia modern hari ini
sebenarnya dimulai sejak Panembahan Senopati. Konstelasi sosial keagamaan yang
tercermin pada peta kekuatan politik Indonesia modern sudah dimulai sejak
berdirinya Mataram: kalau Anda salami sejak itu muncul PPP, Golkar dan PDI —
kalau seakan-akan ada banyak sekali parpol, pada substansinya hanya
variable-variabel dalam bingkai pemetaan yang sama.
Sultan Agung
Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati mencoba men-Sultan-kan kembali, tapi
kemudian ambigu dan kabur pada anak dan cucunya. Pencarian bangsa Indonesia
menjadi makin tak kunjung ketemu ketika kemudian hadir VOC, yang semakin
memecah belah pemikiran dan aliran politik bangsa kita.
Tetapi sesungguhnya
itu semua bisa tidak penting bagi kita sekarang. Mungkin tak perlu
mempertentangkan antara kesatuan dengan persemakmuran. Kita universalkan saja:
biarin ini Negara atau Kerajaan atau Kesultanan, EGP presidennya siapa saja:
yang penting seluruh rakyat Indonesia sama-sama makmur secara berkeadilan.
Pakai bahasa sastra saja: persemakmuran harus mempersatukan, kesatuan harus
mensemakmurkan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar