Konflik
Politik dan Sektarianisme Arab Muslim (Mungkinkah Keluar dari Kotak?)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Jika
ditinjau dari sisi ajaran Alquran tentang merebaknya konflik politik dan
sektarianisme berkepanjangan di dunia Muslim dalam skala kecil atau skala
besar, kita akan gagal menemukan satu ayat pun dalam Kitab Suci ini yang dapat
digunakan sebagai alasan pembenaran. Tetapi mengapa umat Muslim hampir
sepanjang sejarah tidak pernah bosan bertikai dan bahkan berperang antara satu
sama lain? Akarnya bisa dicari tidak lama pasca wafatnya nabi Muhammad SAW saat
kader-kader inti beliau terlibat dalam konflik itu, sebagaimana yang akan
dibicarakan nanti. Telah muncul semacam Arabisme salah jalan (misguided
Arabism) di masa awal itu yang ironisnya berlangsung sampai hari ini.
Artikel
penulis Turki kontemporer Mustafa Akyol dalam The New York Times¸ 3 Feb. 2016, menguatkan
pernyataan di atas: “Agama sesungguhnya bukanlah menjadi pokok utama dari
konflik-konflik ini—selalu saja, politik yang mesti disalahkan. Tetapi
penyalahgunaan Islam dan sejarahnya menyebabkan konflik politik ini menjadi
semakin buruk, saat partai-partai, pemerintah, dan milisia mengklaim bahwa
mereka berperang bukan untuk kekuasaan atau wilayah tetapi atas nama Tuhan. Dan
ketika musuh dikatakan sebagai kelompok yang menyimpang (heretics) bukan hanya
sebagai lawan, maka perdamaian menjadi sukar untuk dicapai.” Sebagian besar
bangsa Arab sekarang sedang berada dalam iklim yang serba rentan ini. Konflik
politik dan sektarianisme menjadi pemicu utamanya. Perasaan kita pastilah
sangat prihatin dengan fenomena ini. Jika demikian, di mana Alquran?
Akibat
penempatan lawan bukan sekadar musuh, tetapi sebagai orang yang telah keluar
dari rel agama berdasarkan doktrin fanatisme subjektif satu pihak, maka radius
permusuhan sesama Muslim tidak diragukan lagi akan sulit dibendung dan
dikendalikan. Orang tega saja “menyeret” Tuhan ke pihaknya dengan cara nista
dan tidak bertanggung jawab. Inilah doktrin faksi khawarij yang mencuat ke
permukaan sejarah sejak 657 masehi sebagai salah satu akibat Perang Shiffin
yang melibatkan elite Arab Muslim masa awal dengan aktor utamanya ‘Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keduanya dari suku Quraisy.
Ajaibnya,
doktrin destruktif ini dibiarkan bertahan selama ratusan tahun sampai detik
ini. Mengapa? Analisis di bawah akan mencoba menjelaskannya, sekalipun mungkin
baru pada tingkat hipotesis. Terus terang saja, menghadapi masalah rumit ini,
kadang-kadang saya merasa berada di jalan buntu, tidak tahu lagi bagaimana
mengurainya bila ditempatkan dalam parameter ajaran.
Jika
dalam Perang Onta pada 656 masehi, sekalipun telah terlibat di dalamnya
kader-kader inti nabi, tragedi ini belum melahirkan sekte-sekte keagamaan yang
berhimpit dengan politik kekuasaan. Perang Shiffin adalah drama awal yang
tragis yang memicu polarisasi komunitas Muslim dalam bentuk: sunni, syi’ah, dan
khawarij. Di ruang ini, saya telah menulis tentang masalah ini lebih dari
sekali.
Sebagai
produk sejarah konflik politik elite Arab Muslim, maka sunnisme, syi’isme, dan
kharijisme telah merasuk jauh ke ranah teologi, fikih, dan teori politik dengan
pendukungnya masing-masing. Arabisme salah jalan itulah yang diekspor ke
seluruh jagat raya selama berabad-abad, tidak saja oleh Muslim Arab, tetapi
Muslim non-Arab juga turut serta dalam gelombang penyebaran faham pemicu
perpecahan ini. Seakan-akan yang serba Arab itu pastilah benar, karena Alquran
sebagai al-furqân (pembeda antara yang benar dan yang salah) tidak pernah
diajak berunding dalam merumuskan peta persoalan.
Sampai
hari ini, Muslim non-Arab ternyata tidak punya tapisan yang ketat untuk menilai
Arabisme dalam kategori ini berdasarkan kriteria Alquran yang difahami secara
benar dan kontekstual. Situasi menjadi semakin runyam, karena Muslim yang
non-Arab itu pada umumnya tidak mampu mempelajari ajaran Islam dari sumber
aslinya dalam bahasa Arab. Maka ketergantungan rumusan Islam dalam bungkus
Arabisme itu tidak dapat dielakkan lagi. Bagi saya, meneruskan cara beragama
semacam ini sama saja dengan melanggengkan malapetaka dan penderitaan bagi umat
ini.
Untuk
masa depan, di saat peradaban Arab Muslim sedang berada pada titik nadir akibat
perang saudara yang teramat parah di kawasan itu, apakah belum waktunya untuk
menampilkan sebuah corak Islam yang bebas dari racun Arabisme yang salah jalan
itu? Kerja besar dan menantang ini sungguh memerlukan kecerdasan dan keberanian
luar biasa dari pemikir Muslim non-Arab dengan syarat penguasaan sumber-sumber
Islam dalam bahasa aslinya benar-benar dipersiapkan oleh berbagai perguruan
tinggi Muslim di berbagai belahan dunia ini. Melalui upaya ini, siapa tahu,
umat pada saatnya akan menemukan kembali jati-dirinya yang sejati dengan
pimpinan Alquran untuk selanjutnya mampu keluar dari kotak Arabisme dan
sektarianisme yang destruktif itu. []
REPUBLIKA,
13 Desember 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar