Selasa, 06 Desember 2016

Hasyim Muzadi: Cukuplah Taat Sebagai Balasan



Cukuplah Taat Sebagai Balasan
Oleh: KH A Hasyim Muzadi

“Kafal ‘Aamiliina Jazaa-an Maa Huwa Faatihuhuu ‘Alaa Quluubihim Fii Thoo’atihii, Wamaa Huwa Muuriduhuu ‘Alayhim Min Wujuudi Muanasatihii — Cukuplah sebagai balasan Allah bagi orang-orang saleh, apa yang dibukakan oleh Allah di hati mereka dalam menataati-Nya, dan apa yang diulurkan oleh-Nya berupa kepuasan bergaul dengan-Nya.” (Ibnu ‘Athaillah). 

Begitu seseorang mulai mengenal suluk dalam mendekati Tuhan, perlahan ia akan bertemu dengan beragam haal dan maqam baru dalam hidupnya. Ia akan belajar tentang taubat, mujahadah, khalwat, wara’, zuhud, diam, qana’ah, tawakkal, syukur, yakin, dan sabar. Ia juga akan diajari hal-hal terkait muraqabah, ridha, istiqamah, jujur, futuwwah, ghirah, kefakiran, bahkan adab bepergian. Sukses tidaknya perjalanan, akan ditentukan haal apa yang telah didapat dan di maqam mana ia berada.

Refleksi kita tidak akan membahas itu semua. Membahas semua itu, akan menghabiskan semua waktu yang tersedia untuk kita. Tetapi ada satu hal kecil yang penting menjadi perhatian kita dalam beribadah kepada Allah SWT. Sering dalam berbagai kesempatan membaca, kita mendapat keterangan tentang kita akan mendapat pahala apa bila melakukan apa. Atau kita akan mendapat azab di neraka mana jika kita mengabaikan perintah Allah tentang suatu hal.

Demikian sering kita mendengar itu, sehingga seakan-akan hidup hanya menyediakan dua pilihan : neraka atau surga, pahala atau azab, kekayaan atau kefakiran, derajat tinggi atau nista, pelaku maksiat atau orang saleh. Akibat sering menggunakan perspektif hitam putih, kerap pula kita menilai orang dari kaca mata hitam putih. Kalau bukan golongan kita, berarti Anda golongan mereka. Jika menggunakan mazhab ini, berarti Anda bukan mazhab itu. Demikian seterusnya.

Cara pandang seperti ini, sering membuat kita menemui kesulitan. Bukankah karena berbeda parpol, lalu kita susah mendapat akses ke pelayanan karena bupatinya dari parpol tertentu? Bukankah juga sering anak-anak tak mendapat hak pendidikan yang semestinya hanya karena sekolah itu didirikan untuk kalangan tertentu ? Bukankah juga sering kita temukan masjid anu ditutup pada waktu tertentu hanya karena mengindari datangnya jemaah dari kalangan berbeda?

Semua ini muncul, boleh jadi karena kita melihat sesuatu dari perspektif hitam putih. Kerap kita meyakini bahwa anugerah selalu berbentuk kenikmatan. Padahal sering juga kita temukan ketenangan juga sebuah anugerah. Kesyukuran adalah anugerah. Kesabaran adalah anugerah. Nrimo ing pandume Gusti Allah adalah anugerah. Bukankah bersikap tidak “ngeyel” adalah anugerah? Juga bukankah tidak bersikap memaksakan kehendak adalah anugerah?

Bukankah tak banyak yang bisa bersabar ketika diuji dengan kekayaan? Sangat sedikit, kata Gusti Kanjeng Nabi, para hamba-Nya yang bisa bersyukur. Karena itu, ketika kita bisa bersikap sabar dan bisa bersyukur, maka bersyukur adalah anugerah. Bisa bersyukur di tengah orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau bersyukur adalah sebuah kenikmatan tiada terkira. Keteguhan dalam sikap adalah pencapaian ruhani yang tidak semua orang bisa melakukan dan mendapatkannya.

Begitu juga ketika Allah memantapkan sikap kita untuk dapat taat dan patuh atas segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, itu adalah anugerah. Menurut salik besar, Ibnu ‘Athaillah, dapat bersikap patuh kepada ajaran agama Islam, sudah cukup menjadi balasan tertinggi bagi seseorang yang bergiat dalam ibadah—dalam segala bentuk, kepada Allah. Bagi penulis magnum opus, Al-Hikam itu, taat kepada Allah adalah sikap utama bagi semua makhluk.

Dalam firman-Nya, Allah menyebut anak manusia yang terbiasa berkata “sami’naa wa atho’naa—kami dengar dan kami patuh” adalah orang-orang yang beruntung. Islam didirikan atas dasar sikap-sikap positif dalam melihat dan menyikapi nikmat kehidupan. Bagaimana seorang disebut menegakkan tiang agama, adalah ketika dia dapat menjalan rukum Islam secara sempurna. Salat, puasa, zakat, haji, mesti dilihat sebagai fasilitas yang Allah sediakan untuk kita.

Fasilitas-fasilitas ini jika dimanfaatkan dengan benar, memenuhi syarat dan rukunnya, akan dapat membentuk sikap taat dan patuh dalam diri seorang hamba kepada khaliqnya. Seorang hamba yang gemar mendirikan salat, berpuasa, mengeluarkan zakat serta mengerjakan ibadah haji tanpa pamrih dan takut akan siksa, adalah cermin pribadi-pribadi yang dibalut nikmat ketaatan. Maka, salatlah secara tulus agar kita dapat kesempatan mendapat anugerah ketaatan.

Di akhir refleksi kali ini, kita ingin agar setiap yang kita lakukan adalah bentuk bentuk ketaatan kita Allah. Hindari setiap perbuatan yang muaranya bukan taat kepada Allah. Jauhi semua sikap yang bisa mengarahkan kita cinta kepada-Nya. Dalam perkara cinta, Allah hanya menyediakan dua pilihan. Cinta kepada-Nya atau tidak. Dalam urusan cinta, Allah tidak berkenan diduakan, sebab taat adalah menifestasi cinta makhluk kepada Khaliq. Wallaahu A’lamus Bishshowaab. []

REPUBLIKA, 04 December 2016
Hasyim Muzadi | Mantan Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar