الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Alladzīna yu’minūna bil ghaybi wa yuqīmūnas shalāta wa min mā razaqnāhum
yunfiqūna.
Artinya, “(orang bertakwa adalah) Orang yang mempercayai hal ghaib, menegakkan
sembahyang, dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka itu mereka
menginfakkannya.”
Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsirul Munir mengatakan, Allah menyebut empat
sifat orang bertakwa yang menerima petunjuk Al-Qur’an. Mereka adalah orang yang
beriman dan mempercayai hal ghaib yang dikabarkan Al-Qur’an, yaitu kebangkitan,
hisab, shirath, surga, neraka, dan hal ghaib lainnya. Mereka tidak berhenti
semata pada benda material dan fisik empiris yang dapat dijangkau oleh pikiran
pendek semata. Mereka menjangkau alam metafisik di balik materi, yaitu roh,
jin, malaikat, dan puncaknya ujud dan keesaan Allah.
Mereka, kata Syekh Wahbah, kemudian menunaikan shalat dengan sempurna, yaitu
memenuhi syarat, rukun, adab, dan kekhusyukannya. Shalat tanpa khusyuk,
perenungan atas bacaan di dalam shalat, pemahaman atas makna Al-Qur’an, dan
ketakutan kepada Allah adalah raga belaka tanpa nyawa. (Az-Zuhayli)
Mereka setelah itu menginfakkan hartanya di jalan kebaikan melalui zakat,
sedekah, atau kewajiban nafkah lainnya sehingga sifat dermawan untuk semua
orang berujud konkret dan hartanya bersih dari segala syubhat. Dengan demikian,
bangunan yang dikehendaki oleh syariat menjadi sempurna, yaitu bangunan
individu melalui shalat sebagai tiang agama, dan bangunan masyarakat melalui
zakat dan turunannya yang menjadi asas kemajuan, pertumbuhan kehidupan, dan kebahagian
masyarakat. (Az-Zuhayli)
Surat Al-Baqarah ayat 3 ini bersifat umum untuk segala hal ghaib yang
dikabarkan oleh Rasulullah; bersifat umum untuk segala shalat baik wajib maupun
sunnah; dan umum pada segala bentuk infak baik wajib maupun sunnah. (Az-Zuhayli)
Kepercayaan pada Hal Ghaib
Al-Baidhawi dalam Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, ketakwaan dapat dimengerti sebagai upaya meninggalkan apa yang seharusnya tidak dilakukan dan melakukan kebaikan secara umum karena mengadung pokok dan asas perbuatan kebaikan dan penjauhan atas larangan, yaitu keimanan, sembahyang, dan sedekah. Ketiganya merupakan induk dari amaliyah batin, ibadah lahiriyah, dan ibadah maliyah yang berdampak pada semua ketaatan dan penjauhan diri dari kemaksiatan secara umum. Penyebutan secara khusus keimanan pada hal ghaib, penegakan sembahyang, dan penunaian zakat menunjukkan keutamaan atas semua bentuk pengertian yang tercakup dalam sebutan “takwa.”
“Kepercayaan atau keimanan” secara bahasa merupakan ungkapan dari pembenaran
yang berasal dari kata aman. Orang yang membenarkan aman dari pendustaan dan
pengingkaran. Tadiyah dengan “ba” atau bantuan transitif melalui huruf “ba”
mengandung pengertian “pengakuan.” (Al-Baidhawi)
Iman dapat berarti pegangan kuat yang mana orang yang berpegang kuat pada
sesuatu menjadi aman terhadapnya. Sedangkan menurut syara, keimanan adalah
kepercayaan atas pengetahuan mendasar dalam agama Islam seperti tauhid,
kenabian, kebangkitan, dan pembalasan. Ketiganya bila dikumpulkan terdiri atas:
pertama, meyakini kebenaran; kedua, mengikrarkannya; dan ketiga,
mengamalkannya. Ketiga ini sesuai dengan pandangan mayoritas ahli hadits,
kelompok muktazilah, dan kelompok khawarij.
Orang yang tidak memenuhi syarat dalam soal keimanan disebut munafik. Orang
yang tidak memenuhi syarat dalam soal pengakuan/ikrar disebut kafir. Sedangkan
orang yang tidak memenuhi syarat dalam soal pengamalan disebut
fasik menurut kesepakatan ulama dan kafir menurut kelompok khawarij. Bagi
kalangan muktazilah, orang yang berada di luar keimanan belum (tentu) masuk
dalam kekufuran. Apakah keimanan cukup diyakini di dalam hati tanpa perlu
diikrarkan? Ini masalah teologis yang memerlukan kajian tersendiri meski Imam
Al-Baidhawi menyinggungnya sedikit pada karya tafsirnya. (Al-Baidhawi).
Tafsir Jalalain menerangkan, mereka yang beriman adalah mereka yang mempercayai
hal ghaib, sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka, yaitu kebangkitan, surga,
dan neraka.
Al-Baghowi dalam Tafsir Ma’alimut Tanzil mengatakan, hakikat iman adalah percaya
dan yakin dengan hati seperti keterangan Surat Yusuf ayat 17. Iman atau
kepercayaan dalam syariat adalah keyakinan di hati, ikrar dengan lisan, dan
pengamalan dengan anggota badan. Dengan demikian, ikrar dan pengamalan juga
disebut sebagai keimanan atau kepercayaan. Kalau Islam berarti tunduk dan
patuh, maka setiap iman pasti Islam. Setiap Islam belum tentu
iman jika tidak mengandung kepercayaan seperti keterangan Surat Al-Hujurat ayat
14. Adakalanya sebagian orang menyatakan keislaman secara lahiriyah tanpa
keimanan di batin. Sebaliknya, ada juga orang yang beriman di dalam batin tanpa
mengamalkan perintah lahiriyah agama.
Ada juga ulama yang menafsirkan kata “iman” dari “aman” karena orang yang
beriman mengamankan dirinya dari siksa Allah. Allah juga mukmin karena Dia
mengamankan hamba dari siksa-Nya. (Al-Baghowi)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Abbas, kepercayaan adalah
keimanan. Az-Zuhri mengatakan, keimanan adalah pengamalan. Ar-Rabi’ bin Anas
mengatakan, keimanan adalah rasa takut. Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan,
keimanan pada hal ghaib berupa ucapan, keyakinan, dan pengamalan. Takut kepada
Allah masuk ke dalam pengertian keimanan, yaitu sebuah pembenaran melalui
ucapan yang dibuktikan dengan pengamalan. Keimanan adalah sebuah kata yang
mencakup ikrar kepada Allah, kitab-kitab suci, dan para rasul-Nya. Pembenaran
ikrar dibuktikan dengan pengamalan.
Menurut Ibnu Katsir sendiri, keimanan secara bahasa adalah kepercayaan murni
seperti digunakan di dalam sebagian ayat Al-Qur’an dengan pengertian tersebut,
yaitu Surat At-Taubah ayat 61 dan Yusuf ayat 17. Keimanan sebagai
kepercayaan kadang disertai pengamalan, yaitu Surat Al-Insyiqaq ayat 25 dan
Surat At-Tin ayat 6.
Keimanan menurut syariat tidak lain adalah akidah, ucapan, dan perbuatan
seperti pemahaman kebanyakan ulama. Imam As-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu
Ubaidah, dan sejumlah ulama lainnya mengatakan, keimanan adalah ucapan.
Sedangkan pengamalan dapat meningkat dan menurun. Sebagian ulama mengartikannya
sebagai ketakutan seperti Surat Al-Mulk ayat 12 dan Surat Qaf ayat 33. Rasa
takut, menurut saya-kata Ibnu Katsir, lahir dari iman dan ilmu seperti Surat
Fathir ayat 28. (Ibnu Katsir)
Adapun “ghaib” adalah kata mashdar atau nomina yang digunakan untuk menimbulkan
efek makna superlatif. Orang Arab menyebut tanah yang tenang dan situasi
pencahayaan remang-remang seperti waktu sahur dengan kata “ghaib.” Ghaib yang
dimaksud pada ayat ini adalah sesuatu yang tersembunyi atau samar yang tidak
dapat dirasakan oleh pancaindra dan tidak dapat dijangkau oleh akal sederhana
tanpa pikir panjang. (Al-Baidhawi)
Ada juga ulama yang mengartikannya “di kesunyian.” Maksudnya, “(orang bertakwa
adalah) orang yang beriman juga di kesunyian dari publik, bukan seperti
pengakuan iman kelompok munafik yang ingkar di kesunyian,” (seperti keterangan
Surat Al-Baqarah mengenai sifat orang munafik). Dari sini Ibnu Mas’ud berkata,
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, tiada keutamaan keimanan seseorang
melebihi keutamaan keimanan di kesunyian.” Ibnu Mas’ud kemudian membaca ayat
ini. Tetapi ada juga ulama yang menafsirkan “ghaib” dengan hati karena ia
tertutup. Jadi ayat ini berarti “mereka beriman dengan hati mereka, tidak
seperti mereka yang beriman dengan mulutnya saja, tidak dengan hati.”
(Al-Baidhawi).
Imam Al-Baghowi menafsirkan, hal ghaib adalah sesuatu yang tertutup dari
pandangan mata. Ibnu Abbas RA mengatakan, hal ghaib di sini adalah segala hal
tertutup dari penglihatanmu yang diperintahkan untuk diimani, yaitu malaikat,
kebangkitan, surga, neraka, shirat, mizan. Al-Baghowi mengutip ulama yang
menafsirkan, hal ghaib adalah Allah. Ada juga yang menafsirkannya Al-Qur’an
sebagai hal ghaib. Al-Hasan Al-Bashari menafsirkan hal ghaib sebagai kehidupan
akhirat. Zirr bin Hubaisy dan Ibnu Juraij mengartikan hal ghaib adalah wahyu
dengan melihat Surat An-Najm ayat 35. (Al-Baghowi)
Ibnu Katsir mengatakan, ghaib yang dimaksud di sini diungkapkan berbeda oleh
ulama salaf. Semuanya benar untuk dirujuk. Hal ghaib menurut Abul Aliyah adalah
keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, para rasul, hari akhir, surga, neraka,
perjumpaan dengan-Nya kelak, kehidupan setelah kematian, dan kebangkitan.
Semuanya, kata Abul Aliyah, ghaib. Demikian juga pendapat Qatadah bin Da’amah.
Sementara Ismail bin Abu Khalid mengartikan ghaib dengan keghaiban Islam. Zaid
bin Aslam mengartikannya sebagai takdir. Semua tafsiran berdekatan, semakna,
karena semua yang disebutkan adalah termasuk hal ghaib yang wajib diimani.
(Ibnu Katsir)
Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Thabarani yang menyebut mereka yang beriman kepada hal ghaib dengan ganjaran tinggi adalah umat Islam sepeninggal para sahabat yang tidak pernah melihat Rasulullah SAW.
عن ابن مُحَيريز، قال: قلت لأبي جمعة: حدثنا حديثا سمعته من رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: نعم، أحدثك حديثًا جيدًا: تغدينا مع رسول الله صلى
الله عليه وسلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح، فقال: يا رسول الله، هل أحد خير منا؟
أسلمنا معك وجاهدنا معك. قال: "نعم، قوم من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني"
Artinya, “Dari Ibnu Muhairiz, ia berkata, ‘Kubilang kepada Abu Jumah,
‘Sebutkanlah sebuah hadits yang kaudengar dari Rasulullah.’ ‘Baik, akan
kuceritakan sebuah hadits yang kudengar langsung dari Rasulullah,’ jawab Abu
Jumah. ‘Suatu hari kami sedang sarapan bersama Rasulullah. Hadir juga di sana
Abu Ubaidah Ibnul Jarrah. Abu Ubaidah bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah ada
orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersamamu.’
‘Ya, ada. (Mereka) kaum sepeninggal kamu yang beriman kepadaku dan tidak
melihatku,’’” (HR Ahmad).
Ibnu Katsir mengutip tafsir Ibnu Murduwiyah dari Shalih bin Jubair. Ia
bercerita, suatu ketika Abu Jumah Al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah,
datang ke Baitul Maqdis untuk shalat di dalamnya. Di sana hadir juga Raja bin
Haywah. Setelah selesai, kami ikut keluar untuk menemaninya. Ketika hendak
beranjak, Abu Jumah mengatakan, “Kalian memiliki hak dan ganjaran yang besar.
Aku akan ceritakan kepada kalian sebuah hadits yang kudengar dari Rasulullah.”
“Ceritakanlah, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu,” kata kami.
“Kami suatu hari duduk-duduk bersama Rasulullah. Di tengah kami hadir Muadz bin
Jabal, satu dari sepuluh sahabat Rasulullah. Kami berkata, ‘Ya Rasulullah,
adakah kaum yang mendapatkan ganjaran pahala lebih besar dari kami? Kami
beriman kepadamu dan kami mengikutimu.’ Rasulullah menjawab, ‘Apa yang
menghalangimu dari (keimanan dan perikutan) itu. Sementara utusan Allah hadir
di tengahmu dan wahyu turun dari langit kepadamu. Tetapi ada kaum sepeninggalmu
yang didatangkan kitab di antara dua papan (kover) beriman kepadanya dan
mengamalkan isinya. Mereka itu yang pahalanya lebih besar darimu semua.’
Rasulullah mengulangi kalimat terakhir dua kali.” (HR At-Thabarani)
Menegakkan Shalat atau Sembahyang
Menegakkan shalat berarti “mereka menegakkan rukun sembahyang dan menjaganya dari penyimpangan dalam mengerjakannya.” Kata menegakkan diambil dari aqamal ud atau menegakkan kayu dan menjaga tegaknya. Pelaksanaan sembahyang disebut iqamatus shalah karena di dalamnya terkandung pengertian berdiri secara harfiah sebagai shalat diungkapkan dengan kata qunut, ruku’, sujud, dan tasbih. Tetapi tafsiran pertama lebih popular dan lebih mendekati pada kebenaran karena penegakkan mengandung pengertian menjaga ketentuan lahiriah shalat, yaitu rukun dan sunah shalat; dan hak-hak batinnya yaitu khusyuk dan hudhur hati kepada Allah bukan shalat orang lalai yang digambarkan pada Surat Al-Ma’un. (Al-Baidhawi).
“Menegakkan shalat” adalah pelaksanaan sembahyang sesuatu dengan haknya, yaitu
ketentuan syarat, rukun, dan hak lainnya. (Tafsirul Jalalain).
“Menegakkan shalat” adalah menjalankannya secara berkelanjutan, melaksanakan
shalat pada waktunya dengan memenuhi ketentuan syarat, rukun, dan
sunnah-sunnahnya. Kata “shalat” secara bahasa berarti doa seperti firman Allah
dalam Surat At-Taubah ayat 103. Dalam syariat, sembahyang merujuk pada perilaku
khusus yang terdiri atas diri, rukuk, sujud, duduk, doa, dan puji. Dalam Surat
Al-Ahzab ayat 56 yang mana Allah dan malaikat bershalat kepada Nabi Muhammad,
shalat Allah bermakna rahmat, shalat malaikat berarti istighfar, dan shalat
orang beriman kepada Nabi Muhammad SAW bermakna doa. (Al-Baghowi).
Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim mengutip Ibnu Abbas bahwa menegakkan
shalat adalah melaksanakan sembahyang sesuai dengan rukun-rukunnya. Dari
Ad-Dhahak mengutip Ibnu Abbas, penegakan shalat adalah penyempurnaan rukuk,
sujud, bacaan, khusyuk, dan kehadiran hati di dalam shalat.
Qatadah mengatakan, penegakan shalat adalah pelaksanaan sembahyang sesuai
waktunya, serta penyempurnaan wudhu, rukuk, dan sujudnya. Muqatil bin Hayan
menafsirkannya dengan penjagaan shalat pada waktunya, penyempurnaan wudhu,
rukuk, sujud, bacaan Al-Qur’an di dalamnya, tasyahud, dan shalawat Nabi di
dalamnya. Inilah iqamatus shalat. (Ibnu Katsir)
Menginfakkan Sebagian Pemberian Allah
Rezeki secara bahasa adalah bagian. Menurut urf, rezeki berarti suatu bagian dari hewan yang ditentukan untuk pemanfaatan dan pembuatannya. Dengan berpandangan bahwa Allah mustahil memungkinkan yang haram karena Dia melarang pengambilan manfaat darinya dan memerintahkan kita untuk menjauhinya, kelompok muktazilah menyatakan, barang haram bukan rezeki. Imam Al-Baidhawi membawa tafsir Surat Al-Baqarah ayat 3 ini pada perdebatan teologi klasik Islam terkait pandangan rezeki di kalangan muktazilah dan ahlussunnah. Apakah Allah hanya memberikan yang halal? Apakah barang haram dapat disebut rezeki dari Allah. Kami tidak akan melanjutkannya karena akan menjadi pembahasan teologis yang panjang. kami melewatkan bagian itu.
Yang jelas, kata Imam Al-Baidhawi, infak adalah sumbangan harta baik wajib
maupun sunnah di jalan kebaikan. Penafsiran zakat oleh sebagian ulama dapat
dimaklumi di mana zakat sebagai infak utama dan pokok. Maf’ul atau objek
ditempatkan di awal menunjukkan betapa urgensi infak dalam kehidupan sosial.
Adapun penyebutan “min” yang berarti sebagian menunjukkan larangan umat Islam
untuk berlebihan dalam berinfak. Ada juga ulama lain menafsirkan rezeki
mencakup lahir dan batin sehingga seseorang dapat menginfakkan ilmu dan cahaya
makrifat yang dianugerahkan kepadanya. (Al-Baidhawi).
“Menginfakkan sebagian anugerah yang Kami berikan,” adalah menginfakkan
sebagian pemberian Kami di jalan taat kepada Allah. (Tafsirul Jalalain).
Rezeki, anugerah, atau pemberian merujuk pada segala sesuatu yang dapat diambil
manfaatnya termasuk anak dan budak. Rezeki secara bahasa adalah bagian atau
jatah. Qatadah mengatakan, infak di jalan Allah dan jalan taat kepada-Nya.
Infak berasal dari pengeluaran sesuatu dari tangan dan kepemilikan, contohnya
“infak pasar” karena produk dikeluarkan dari kepemilikan di dalam pasar,
“nafaqatid dabbah” yaitu roh binatang itu keluar. Ayat ini merujuk pada orang
beriman yang berasal dari kalangan musyrikin Arab. (Al-Baghowi)
Ibnu Katsir mengutip penafsiran Ibnu Abbas bahwa infak yang dimaksud adalah
zakat. Sementara sejumlah sahabat Rasul yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud
mengartikan infak di sini adalah nafkah untuk keluarga. Pandangan ini benar
sebelum turun ayat zakat. Ad-dhahak mengatakan, infak di sini adalah segala
bentuk sedekah di jalan Allah sesuai dengan kelapangan dan kesungguhan mereka
hingga turun ayat zakat.
Qatadah menafsirkan ayat ini, “Infakkan sebagian pemberian Allah kepadamu. Ini
harta terbuka dan titipan padamu wahai anak Adam.” Menurut Ibnu Jarir
At-Thabari, semua jenis infak baik zakat, nafkah, maupun sedekah adalah baik
dan terpuji. Menurut saya, kata Ibnu Katsir, sering kali Allah menyertakan
shalat dan infak harta. Shalat adalah hak Allah dan ibadah-Nya yang mencakup
tauhid, pujian, pemuliaan, doa, dan kepasrahan. Sedangkan infak adalah kebaikan
kepada sesama makhluk-Nya. Orang yang berhak menerimanya dalah kerabat,
keluarga, budak, kemudian orang lain. Semua bentuk infak baik nafkah wajib maupun
zakat termasuk dalam pengertian Surat Al-Baqarah ayat 3 ini. (Ibnu Katsir).
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar