Papua, Riwayatmu
Kini
Oleh:
Budiarto Shambazy
Salah
satu butir perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada
23 Agustus-2 November 1949, menyebutkan Irian Barat bagian dari Belanda. KMB
melemahkan kita lewat Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 15
provinsi boneka Belanda plus sejumlah provinsi yang sejak proklamasi sukarela
bergabung dengan republik.
Kita
telah merdeka, tetapi Belanda berupaya kembali menjajah lewat provinsi-provinsi
boneka. Kita ingin merebut Irian Barat yang saat itu berpeluang menjadi bagian
dari Belanda, atau merdeka, atau menjadi bagian dari Federasi Melanesia.
Sepanjang
dekade 1950, kita memperjuangkan pembebasan Irian Barat melalui resolusi Sidang
Umum (SU) PBB, pertama kalinya tahun 1954. Isi resolusi meminta Belanda
menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Tetapi,
lanskap politik global di PBB kurang menguntungkan, membuat resolusi gagal
disahkan. Dan, suka atau tidak, Presiden Amerika Serikat (AS) Dwight Eisenhower
(1953-1961) membantu kita menekan Belanda, antara lain mengancam pembatalan
Marshall Plan untuk ”negeri kincir angin” itu.
Kita
tidak pernah kapok memperjuangkan pembebasan Irian Barat. Hampir tiap tahun
kita mengajukan resolusi, tetapi sia-sia. Sebaliknya, Belanda makin provokatif,
antara lain membangun pos-pos militer di Irian Barat dalam rangka mempersiapkan
perang. Pos militer pertama dibangun di Lembah Baliem, Wamena, tahun 1957, dan
diteruskan di tempat-tempat lain bertahun-tahun setelah itu. Bung Karno geram
dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada 17 Agustus 1960.
AS juga
mulai berubah. Eisenhower lebih tertarik mendongkel Bung Karno dengan mendanai
pemberontakan PRRI/Permesta 1956-1958 daripada menekan Belanda.
Sebaliknya,
pengganti Eisenhower, John F Kennedy (1961-1963), mau membantu. Pertimbangan
dia, Indonesia yang strategis berada di antara dua samudra jangan sampai jatuh
ke tangan ”the Bloc” (Uni Soviet dan Tiongkok).
Pertimbangan
lain, investasi AS di Indonesia, khususnya oleh dua korporasi migas, Caltex dan
Stanvac, berada dalam bahaya. Bung Karno membekukan konsesi migas melalui
Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 1960 yang menegaskan, ”Seluruh pengelolaan
minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara”.
Kennedy
merasa ”the Bung”, panggilan dia untuk Bung Karno, dapat dibujuk keluar dari
pengaruh ”the Bloc”. Sebagai imbalan, Kennedy menggelontorkan bantuan senilai
800 juta dollar AS—jumlah yang masih kurang dari separuh dari yang diberikan
Uni Soviet.
Hubungan
Indonesia-Belanda makin panas pada tahun pertama pemerintahan Kennedy. Belanda
membentuk sebuah dewan persiapan kemerdekaan ”Nieuw-Guinea”, yang dibalas Bung
Karno dengan mengumumkan Trikora 19 Desember 1961.
Saat
operasi militer Trikora baru dimulai, Kennedy mengirimkan adiknya, Jaksa Agung
Robert Kennedy, ke Jakarta menemui Bung Karno. Dari Jakarta, Robert Kennedy
langsung melawat ke Den Haag mendesak Belanda segera menyerahkan Irian Barat
kepada Indonesia.
Misi
lanjutan Robert Kennedy, yang dipimpin diplomat senior Ellsworth Bunker,
menyiapkan teknis penyelenggaraan plebisit di Irian Barat yang akhirnya terjadi
tahun 1969. Sejak itulah, Irian Barat yang dilimpahi kekayaan berbagai sumber
daya alam resmi menjadi bagian dari Indonesia.
Tahun 1961
Bung Karno telah menyiapkan Rencana Pembangunan Delapan Tahun yang tergolong
”neolib” karena melibatkan pula IMF di bawah pengawasan Kennedy. Sayang,
Kennedy tewas ditembak di Dallas, Texas, 22 November 1963.
Nasib
Bung Karno selesai tak lama setelah pecahnya peristiwa 30 September 1965. Rapat
Bung Karno dan para menteri ekonomi di Istana Cipanas, Januari 1966, membahas
nasionalisasi Caltex dan Stanvac serta berbagai properti AS lainnya.
Tiba-tiba
Jenderal Soeharto mendarat dengan helikopter dan langsung menuju ruang rapat
untuk menegaskan nasionalisasi tidak boleh dilakukan. Ketika itu, Soeharto
bahkan masih Menteri Panglima Angkatan Darat, belum mendapat penugasan
Supersemar.
Awal
November 1966, ada pengumuman penting dari Menteri Pertambangan Slamet
Bratanata bahwa Freeport Sulphur Company mendapat hak eksploitasi dan
eksplorasi endapan bijih tembaga di Ertsberg, Pegunungan Tengah, di barat
Puncak Soekarno. Penyelenggaraan plebisit di Irian Barat masih dua tahun lagi.
Entah
sudah berapa kali rezim berganti, Freeport tak lekang oleh panas dan tak lapuk
oleh hujan. Dalam bahasa gaul, Freeport itu, setelah nyaris setengah abad di
Indonesia, ”hebat bingits”. []
KOMPAS,
12 Desember 2015
Budiarto
Shambazy | Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar