Jumat, 06 Januari 2023

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 22

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Baqarah ayat 22:


الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


Alldzī ja‘ala lakumul ardha firāsyaw was samā’a binā’aw wa anzala minas samā’i mā’an fa akhraja bihī minas tsamarāti rizqal lakum. Fa lā taj‘alu lillāhi andādaw wa antum ta‘lamūna.


Artinya, “Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, langit sebagai bangunan, dan menurunkan air dari langit, lalu mengeluarkan dengan air itu berbagai buah sebagai rezeki bagimu. Oleh karena itu, jangan kamu menjadikan sekutu bagi Allah. Padahal kamu mengetahui.” (Surat Al-Baqarah ayat 22).


Ragam Tafsir

 

Tafsirul Jalalain menjelaskan perihal Surat Al-Baqarah ayat 22 bahwa Allah menjadikan bumi sebagai hamparan yang terbentang tiada tara baik kekerasan maupun kelunakannya sehingga tidak mungkin menetap terus menerus di dalamnya. Sedangkan “langit sebagai bangunan” maksudnya adalah sebagai atap.


“Jangan kamu menjadikan sekutu bagi Allah,” yaitu persekutuan dalam penyembahan. “Padahal kamu mengetahui” bahwa pencipta itu semua adalah Allah, bukan mereka yang dianggap sekutu-Nya. Padahal, tidak dapat disebut tuhan kecuali zat yang menciptakan.


Imam Al-Baghowi dalam tafsirnya, Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, terkait Surat Al-Baqarah ayat 22 menjelaskan bahwa “hamparan” yang dimaksud adalah tanah yang luas terbentang. Ada ulama lain, kata Imam Al-Baghowi, menafsirkannya sebagai tempat tidur atau tempat bermalam.


Ada pula ulama yang menafsirkannya sebagai tanah pijakan yang Allah jadikan lunak. Allah tidak menjadikannya sebagai tanah yang sangat keras sehingga tidak mungkin menetap di atasnya.


Imam Al-Baghowi juga mengutip hadits riwayat Imam Bukhari dari sahabat Abdullah bin Mas’ud RA yang bertanya, “Apa kesalahan terbesar di sisi Allah?” Rasulullah SAW menjawab, “Kau menjadikan sekutu bagi-Nya. Padahal Dia yang menciptakanmu.” “Sungguh, itu dosa teramat besar. Kemudian apa?” tanya Abdullah RA. “Kau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu,” jawab Rasulullah SAW. “Lalu apa lagi?” “Kau berzina dengan istri tetanggamu.”


Kata “al-ja’lu” atau “menjadikan” pada Surat Al-Baqarah ayat 22 ini, kata Imam Al-Baghowi, bermakna “al-khalqu” atau menciptakan. Sedangkan “langit” adalah atap yang ditinggikan. “Air” hujan “dari langit,” yaitu dari awan. “Berbagai buah” adalah beragam buah dan tumbuhan. “Sebagai rezeki” makanan “bagimu” dan pakan bagi hewan peliharaanmu.


“Jangan kamu menjadikan sekutu bagi Allah,” berhala-berhala pembanding yang kalian sembah seperti kalian menyembah Allah. Imam Al-Baghowi mengutip Abu Ubaidah yang menafsirkan, “andād” atau sekutu adalah lawanan. Allah berlepas diri dari penyerupaan dan lawanan. “Padahal kamu mengetahui” bahwa Allah itu esa yang menciptakan segalanya.


Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan, pada Surat Al-Baqarah ayat 22 Allah menjelaskan keesaan ketuhanan-Nya. Dialah yang memberikan nikmat kepada hamba-Nya dengan mengeluarkan mereka dari ketiadaan dan menyempurnakan nikmat tersebut lahir dan batin untuk mereka.


Imam Ibnu Katsir mengutip hadits Rasulullah riwayat sahabat Muadz RA, “Apakah kau tahu hak Allah atas para hamba-Nya? Mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.”


Ia juga mengutip pendapat Ibnu Abbas perihal akhir Surat Al-Baqarah ayat 22, “Kalian jangan menyekutukan Allah dengan apapun yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepada kalian. Padahal kalian tahu bahwa tiada tuhan yang memberimu rezeki selain Allah. Kalian pun tahu bahwa orang yang mengajakmu untuk mengesakan Allah adalah Rasulullah SAW yang benar. Tiada keraguan pada kebenarannya.”


Ibnu Katsir mengutip riwayat Ibnu Abi Hatim dari sahabat Ibnu Abbas perihal Surat Al-Baqarah ayat 22 yang mengatakan, “Persekutuan adalah kemusyirikan yang lebih samar daripada derap semut hitam di atas batu hitam pada malam hari.”


Ibnu Katsir mengutip Mujahid perihal Surat Al-Baqarah ayat 22 yang mengatakan, “Jangan kamu menjadikan sekutu bagi Allah. Padahal kamu mengetahui” bahwa Allah adalah tuhan yang esa di Taurat dan Injil.


Ibnu Katsir juga mengutip tafsir Ar-Razi yang mengatakan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 22 merupakan dalil atas keesaan penyembahan Allah SWT. Bahkan, Surat Al-Baqarah ayat 22 menjadi dalil yang utama atas keberadaan pencipta. Siapa saja yeng merenungkan alam semesta akan mengetahui kuasa penciptanya.


Ibnu Katsir mengutip maqalah Imam Syafi’i perihal keberadaan Allah sebagai pencipta yang esa, “Itu ibarat daun pohon besar yang rasanya sama saja. Daun dimakan ulat menjadi sutra. Daun itu dimakan lebah menjadi madu. Daun itu dimakan kambing dan unta menjadi kotoran kambing dan kotoran unta. Daun itu dimakan menjangan/rusa menjadi minyak misik. Padahal semua itu satu sumber.”


Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, mengatakan perihal Surat Al-Baqarah ayat 22 bahwa buah-buahan itu tumbuh karena kuasa dan kehendak Allah. Tetapi air bercampur tanah menjadi sebab tumbuhnya buah dan menjadi bahan material baginya seperti sperma pada hewan.


Allah membuat hukum alam seperti pada air. Padahal ia sanggup menciptakan itu semua tanpa sebab dan bahan material sekalipun karena Dia maha kuasa. Adapun proses penciptaan itu terjadi secara bertahap sesuai dengan hukum alam yang dibuat-Nya menjadi pelajaran bagi mereka yang berpikir.


Imam Al-Baidhawi menjelaskan, masyarakat Arab jahiliah mengira bahwa berhala-berhala yang mereka sembah memiliki zat dan sifat yang sama dengan Allah. Bahkan mereka mengira bahwa perbuatan berhala itu tidak berbeda dengan perbuatan Allah.


Ketika mereka berpaling dari menyembah Allah kepada menyembah berhala dan menyebutnya sebagai tuhan-tuhan, maka status mereka serupa dengan orang yang meyakini bahwa berhala-berhala itu adalah zat wajibul wujud yang mampu menolak siksa Allah dan kuasa memberikan manfaat yang tidak dikehendaki Allah.


Allah kemudian merendahkan dan mencela kemusyrikan mereka yang menyekutukan Allah. Pada tafsir Surat Al-Baqarah ayat 22, Imam Al-Baidhawi mengutip Zaid bin Amr bin Nufail, orang bertauhid di era jahiliah yang mengatakan dalam syairnya:


Apakah satu atau 1000 tuhan?... Apakah satu agama lalu persoalan terbagi-bagi?


Aku meninggalkan Lāta dan Uzza semuanya… Demikian dilakukan oleh seorang cendekia.


Imam Al-Baidhawi menambahkan, kalau kalian mau merenungkan yang ringan-ringan saja, niscaya akal kalian akan memaksa kalian mengakui keesaan Allah. Menurutnya, Surat Al-Baqarah ayat 22 ini merupakan perintah untuk menyembah Allah, larangan untuk menyekutukan-Nya, dan isyarat atas alasannya.


Pada Surat Al-Baqarah ayat 22, Allah juga menjelaskan sifat rububiyah-Nya. Allah menciptakan manusia, pokok mereka, dan kebutuhan hidup mereka, yaitu naungan, makanan, pakaian. “Buah” pada Surat Al-Baqarah ayat 22 lebih umum dari sekadar makanan. Sedangkan “rezeki” lebih umum dari sekadar makanan dan minuman. Wallahu a’lam.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar