Jumat, 06 Januari 2023

(Ngaji of the Day) Hukum Pernikahan Lelaki Beristri yang Mengaku Lajang

Pertanyaan:

 

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaktur NU Online mohon bertanya. Ada lelaki yang sebenarnya sudah punya istri, lalu ketemu perempuan lain dan bilang bahwa ia masih lajang atau belum beristri. Akhirnya keduanya menikah. Bagaimana hukum pernikahannya, apakah sah, atau tidak?

 

(Ayu-Jawa Tengah).


Jawaban
:

 

Wa’alaikumus salam wr.wb. Penanya dan pembaca budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebagaimana kita ketahui, pernikahan dihukumi sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya.


Lalu bagaimana dengan kasus lelaki beristri yang mengaku masih lajang atau belum beristri, kemudian menikahinya seperti yang ditanyakan? Demikian pula dalam kasus ini, asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi, maka menurut fiqih Syafi’iyah hukumnya sah. 


Namun demikian, masih ada kelanjutan hukum dari pernikahan tersebut, yaitu adanya hak khiyâr atau hak memilih melanjutkan atau merusak (mem-fasakh) akad nikah bagi pihak istri.  


Merujuk pendapat kuat (al-azhâr) dalam mazhab Syafi’i faktor yang paling menentukan adanya hak khiyâr bagi istri dalam kasus pernikahan tersebut terletak pada pensyaratan sifat lajang atau belum beristri dari si suami. Apakah sifat bujangnya benar-benar disebutkan sebagai syarat secara jelas dalam akad nikah atau tidak. 


Bila sifat lajang si suami benar-benar disebutkan sebagai syarat dalam akad nikah, semisal wali calon istri berkata kepada calon suami: “Aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku, dengan syarat kamu dalam kondisi bujang (belum beristri)”, namun kemudian terbukti suami telah berbohong dan nyatanya saat itu ia tidak lajang atau dalam keadaan punya istri, maka istri yang dinikahkan oleh wali tersebut mempunyai hak khiyâr. Ia boleh memilih melanjutkan atau merusak (mem-fasakh) akad nikah tersebut. 


Lain halnya bila sifat lajang si suami tidak disebutkan secara jelas menjadi syarat dalam akad nikah, maka istri tidak mempunyai hak khiyâr tersebut. Dalam hal ini Syekh Zainuddin al-Malibari dan Sayyid al-Bakri menjelaskan:


ويجوز لكل من الزوجين خيار بخلف شرط وقع في العقد، لا قبله. كأن شرط في أحد الزوجين حرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب. كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا. فإن بان أدنى مما شرط فله فسخ


وقوله: لا قبله تصريح بمفهوم قوله في العقد: أي أما إذا وقع قبله فلا يؤثر. وذلك لأنه إنما يؤثر إذا ذكر في العقد بخلاف ما إذا سبقه  ... (قوله: كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا ) أي أو نسيبة أو غنية أو شباب ومثله يقال في الزوج كأن يقول ولي الزوجة للزوج زوجتك بشرط أنك بكر أو حر أو غني أو شباب أو يقول ذلك لوكيل الزوج


Artinya, “Bagi masing-masing suami istri boleh khiyâr atas akad pernikahan sebab tidak terpenuhinya suatu hal yang disyaratkan dalam akad nikah, bukan hal yang disyaratkan sebelum atau di luar akan nikah. Seperti bila salah satu dari pasangan suami istri disyaratkan harus bersifat merdeka, punya nasab baik, berwajah cakep, kaya, lajang (belum menikah), berusia muda, atau selamat dari aib nikah. Sebagaimana ucapan akad: ‘Aku nikahkan kamu dengan (anak perempuanku misalnya, dengan) syarat ia dalam kondisi lajang atau merdeka’, umpamanya. Bila kemudian istri terbukti tidak memenuhi syarat tersebut, maka suami berhak merusak atau memfasakh akad nikah itu.


Maksud ucapan Syekh Zainuddin: ‘Bukan syarat yang disebutkan sebelum akad’, ini adalah penjelasan secara gamblang atas pemahaman dari ucapannya ‘syarat yang disebutkan dalam akad’. Maksudnya Bila pensyaratan itu terjadi sebelum akad maka tidak berpengaruh dalam menentukan hak khiyâr. Hal demikian mengingat, yang dapat berpengaruh memunculkan hak khiyâr adalah syarat yang disebutkan dalam akad, berbeda dengan syarat yang disebutkan sebelumnya. … Maksud ucapan Syekh Zainuddin: ‘Sebagaimana ucapan akad: ‘Aku nikahkan kamu dengan (anak perempuanku misalnya, dengan) syarat ia dalam kondisi lajang atau merdeka umpamanya’, … Seperti itu pula bagi suami. Seperti bila wali istri berkata kepada suami atau kepada orang yang mewakilinya: ‘Aku nikahkan kamu dengan syarat kamu dalam kondisi lajang (belum menikah), merdeka, kaya, atau masih muda’.” (Zainuddin al-Malibari dan Al-Bakri bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Fathul Mu’în dan I’ânatut Thâlibîn, [Singapura-Jedah, al-Haramain], juz III, halaman 336-337).


Sementara urusan suami yang telah membohongi istri dan keluarga besarnya, meskipun tidak otomatis mempengaruhi keabsahan nikah, namun hukumnya tetap haram. Imam Ibnu Hajar menjelaskan:


صَرَّحَ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ بِأَنَّهُ كَبِيرَةٌ وَإِنْ لَمْ يَضُرَّ. فَقَالَ: مَنْ كَذَبَ قَصْدًا رُدَّتْ شَهَادَتُهُ وَإِنْ لَمْ يَضُرَّ بِغَيْرِهِ ، لِأَنَّ الْكَذِبَ حَرَامٌ بِكُلِّ حَالٍ. رَوَى فِيهِ حَدِيثًا ، وَظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ أَوْ صَرِيحُهَا يُوَافِقُهُ.


Artinya, “Dalam kitab Bahrul Mazhab Imam ar-Ruyani secara terang-terangan menyatakan bahwa bohong merupakan dosa besar meskipun tidak merugikan. Ia kemudian menegaskan: ‘Orang yang sengaja berbohong maka kesaksiannya tertolak, meskipun tidak merugikan orang lain. Sebab berbohong hukumnya haram dalam kondisi apapun.’ Lalu ar-Ruyani meriwayatkan hadits tentang hal ini. Lahiriah atau penjelasan secara terang dari hadits-hadits yang telah lewat sesuai dengan pendapat ar-Ruyani ini.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil Kabâir, juz III, halaman 237).


Penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa hukum pernikahan lelaki beristri yang mengaku bujang adalah sah, namun berkonsekuensi menetapkan hak khiyâr bagi istri. Yaitu hak untuk untuk melanjutkan atau merusak (mem-fasakh) akad nikah yang telah dilakukan, apabila akad dalam pernikahan itu secara jelas suami disyaratkan dalam kondisi bujang (tidak beristri). Adapun hukum kebohongan suami adalah haram.


Semoga kasus semacam ini dapat menjadi pelajaran bagi perempuan yang hendak menikah, agar tidak gampang terbuai rayuan lelaki yang tidak bertanggung jawab. Kehati-hatian mengenal pasangan secara cukup detail semestinya dilakukan, agar tidak kecewa di kemudian hari. Begitu pula kehati-hatian mengindari pernikahan tanpa tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), yang rentan risiko bagi istri maupun anak yang dilahirkan di kemudian hari.

 

Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami secara baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wassalamu ’alaikum wr. wb. []


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar