Selasa, 10 Januari 2023

Diikuti Delegasi dari 35 Negara, KIAA Jadi Momen Kebangkitan Umat Islam

Setelah sempat tertunda, penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung, akhirnya resmi dibuka pada tanggal 6 Maret 1965. Turut hadir dalam acara pembukaan tersebut, sejumlah delegasi dari berbagai negara dan tamu undangan dari berbagai elemen.

 

Presiden Soekarno dan Ketua Organizing Committee (OC) KIAA, yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Idham Chalid didapuk untuk menyampaikan pidato amanat dan sambutan.

 

Dari buku Deklarasi KIAA yang diterbitkan Panitia Daerah KIAA Sumatera Utara (1965), disebutkan negara-negara yang menjadi peserta KIAA, semuanya berjumlah 35 negara.

 

Pembagiannya yakni 32 peserta penuh dan 3 peserta peninjau. Sedangkan bila dilihat dari asal benua, untuk peserta penuh yakni 13 dari Afrika, 18 Asia, dan Uni Soviet (kini wilayahnya terbagi ke Eropa dan Asia).

 

Kemudian untuk peserta peninjau dari Australia dan Eropa. Jadi bisa dikatakan, meski nama konferensinya menyematkan kata Asia-Afrika, namun perwakilan negara dari benua lain juga turut hadir.


Masuknya Uni Soviet sebagai peserta penuh ini sempat menjadi polemik, terutama dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Pakistan yang menginginkan Uni Soviet hanya menjadi peserta peninjau.

 

Namun, karena dari pihak tuan rumah Indonesia dan juga peserta lain tidak keberatan bila delegasi Uni Soviet menjadi peserta penuh, akhirnya usulan dari RRT dan Pakistan tersebut ditolak. Kemudian, hal lain yang dibahas dari sisi kepesertaan ini, adalah ketidakhadiran Arab Saudi, yang notabene merupakan salah satu pemrakarsa diselenggarakannya KIAA.


Secara lengkap nama-nama Negara yang mengirimkan utusan, selain Indonesia tentunya, yang menjadi tuan rumah, yakni Aljazair, Angola, Kamboja, Sri Lanka, Dahomey (Benin), Ghana, India, Iraq, Republik Rakyat Tiongkok, Jepang, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Liberia, Maladewa, Mauritania, Maroko, Negara Kesatuan Kalimantan Utara (Brunei), Nigeria, Pakistan, Palestina, Senegal, Suriah, Thailand, Filipina, Togo, Tunisia, Republik Persatuan Arab (Mesir), Uni Soviet, dan Yaman. Sedangkan tiga perwakilan negara yang menjadi peserta peninjau, yakni dari Afghanistan, Australia, dan Republik Federasi Jerman.


Kehadiran delegasi dari berbagai negara tersebut, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia dan juga umat Islam di seluruh dunia. Seperti yang disampaikan Bung Karno pada acara penutupan KIAA, tanggal 14 Maret 1965.


“Siapa di antara rakjat-rakjat muslimin Asia-Afrika, bahkan di seluruh dunia jang tidak bahagia dengan berlangsungnja KIAA jang membawakan hasil jang demikian gilang-gemilangnja? Semua orang muslimin-muslimat di seluruh dunia ini merasa bahagia,” kata Soekarno.


Lonceng kematian

 

Konferensi ini, lanjut Bung Karno, selain menjadi momen penuh kebahagiaan dan kebanggaan, juga dapat dimaknai sebagai kebangkitan umat Islam, yang tidak dapat dianggap remeh. Terutama dalam upaya bersama melawan neo-kolonialisme (nekolim).


“Dunia Islam sekarang ini telah bangkit, bangkit dari Maghribi sampai ke Indonesia, sampai ke Mindanao, dunia Islam telah bangkit sampai di RRT, sampai di Sovjet Uni, dunia Islam telah bangkit… Djangan diremehkan kebangkitan ini, djangan diperketjil artinja kebangkitan ini… Kebangkitan umat Islam sedunia ini adalah djuga lontjeng kematian daripada seluruh imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme!” tegasnya.


Faktanya, memang di masa itu, situasi global tengah berkecamuk Perang Dingin, yakni sebuah perseteruan Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.

 

Sementara Indonesia dan beberapa negara, kemudian justru memilih untuk membentuk Gerakan Non-Blok, sebagai sebuah sikap untuk tidak memihak kepada salah satu blok, yang meski dalam praktiknya, Indonesia cenderung lebih dekat dengan negara-negara Blok Timur dibandingkan Blok Barat.


Dalam perkembangannya, kemudian juga muncul istilah Oldefo (Old Established Forces), yang dinisbatkan kepada negara yang memiliki kekuatan mapan, yang condong kepada nekolim. Kemudian Indonesia dan beberapa negara lain menggolongkan diri mereka ke dalam kelompok Nefo (Newly Emerging Forces), sebagai bentuk perlawanan kepada kekuatan mapan dan neo-kolonialisme.


Sejalan dengan pandangan Bung Karno, Menteri Agama Prof KH Saifuddin Zuhri sebagaimana termaktub di Duta Masjarakat edisi 9 Maret 1965 menegaskan arti penting KIAA. “Agar api Islam jang kita gali bersama2 itu tersalurkan setjara lebih terorganisasi untuk sumbangan positip dalam penggalangan potensi raksasa melawan semua tantangan kaum nekolim di  segala bidang,” kata dia.


KIAA yang terselenggara di Bandung selama hampir satu pekan (6-14 Maret 1965), ditutup dengan acara Rapat Akbar yang dihelat di Gelora Bung Karno. Konferensi tersebut menghasilkan beberapa pandangan dan keputusan yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi KIAA. Tentang Deklarasi KIAA akan diterangkan lebih lengkap pada artikel selanjutnya.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar