Waspada Pada Pemberian
Penguasa
Oleh: Zainuddin Rusdy
Ada dua hal yang harus diwaspadai dari
pemberian penguasa sebelum kita benar-benar menerimanya. Pertama, status
halal-haramnya. Kedua, motif di balik pemberian itu. Untuk yang pertama adalah
kewajiban bagi kita mengetahui status halal dan haramnya harta tersebut. Sebab
sumber penghasilan penguasa berasal dari bermacam-macam sumber pemasukan tak
terkecuali dari sumber yang haram. Apabila harta itu sudah jelas kehalalannya,
maka menurut Imam Ghazali diperbolehkan mengambilnya.
Untuk yang kedua, hendaknya diperjelas dulu
apakah pemberian itu menuntut sesuatu yang dilarang agama dan yang dapat
menjatuhkan harga diri penerimanya? Apabila pemberian itu masih disertai dengan
persyaratan mengikat yang dapat berbahaya pada agama dan harga dirinya, maka
hukum mengambilnya haram.
Lebih lanjut Imam Ghazali dalam kitab Ihyâ’
Ulumid-Dîn menjelaskan, bahwa ada empat sikap yang harus diambil terkait dengan
pemberian penguasa tersebut.
Pertama, tidak mengambil sedikit pun.
Tindakan ini diambil bukan berarti harta pemberian itu haram melainkan sebagai
langkah hati-hati agar tidak terjebak pada hal yang diharamkan oleh agama dan
keluar dari perkara yang tidak jelas (syubhat). Rasulullah bersabda:
دَعْ
مَا يُرِيْبُكَ إلَى مَا لَا يُرِيْبُكَ. (رواه النسائي و الترمذي(
“Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu menuju
apa yang tidak membuatmu ragu.”
Suatu ketika Abu bakar menghitung semua harta
yang beliau ambil dari uang kas negara (baitulmal), ternyata jumlahnya mencapai
6.000 dirham, maka beliau pun memandang semua itu sebagai hutang dirinya pada
negara. Sedangkan Umar dalam suatu pembicaraan yang panjang mengenai harta
baitulmal mengatakan, “Sungguh, saya tidak mendapati diri saya padanya selain
seperti wali harta anak yatim. Bila saya tidak memerlukannya, maka saya menjaga
diri untuk tidak mengambilnya. Dan bila saya memerlukannya, maka saya makan
dengan baik (yang halal).”
Sa’id bin al-Musayyab menuturkan bahwa baliau
meninggalkan pemberian dari baitulmal sehingga terkumpul lebih dari 300.000. Juga
seperti yang dituturkan oleh al-Hasan, “Saya tidak mengambil wudhu dari orang
yang pekerjaannya menukar uang, meskipun waktu salat telah sempit. Ini karena
saya tidak mengetahui asal-usulnya.”
Kedua, harta penguasa diambil setelah
diketahui bahwa harta itu dari bagian yang halal. Demikian ini telah
dicontohkan oleh para ulama, bahwa tidak semua dari mereka menolak pemberian
penguasa. Ulama yang menolak pemberian itu tidak lebih sebagai kewarakan
(Hati-hati) mereka yang begitu tinggi. Mereka benar-benar menjaga diri dan
agamanya dari hal yang merusak. Rasulullah bersabda:
وَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ اسْتَبْرَاءَ لِعرْضِهِ وَ دِيْنِهِ. (رواه البخاري و مسلم(
”Barang siapa yang meninggalkan hal yang
membuatnya ragu, sesungguhnya ia telah melepaskan diri untuk kehormatan dan
agamanya.”
Diceritakan dari Sayidina Ali bin Abi Thalib
bahwa beliau mempunyai tepung gandum halus dalam bejana tertutup. Beliau selalu
meminum dari bejana itu. Beliau ditanya, “Apakah Anda melakukan hal yang sama
seperti ini di Irak, padahal di negeri itu terdapat banyak makanan?” Sayidina
Ali menjawab, “Sungguh saya tidak menutup bejana itu karena pelit. Namun saya
tidak suka bejana itu dijadikan pada sesuatu yang bukan merupakan darinya dan
saya benci hal yang tidak baik masuk ke dalam perutku.” Abu hurairah berkata,
“Bila kami mendapat pemberian, maka pemberian itu kami terima. Sedang bila kami
tidak mendapat pemberian, maka kami tidak meminta.”
Ketiga, mengambil untuk disedekahkan kepada
fakir miskin atau kepada yang berhak. Bila harta itu tidak diambil
dikhawatirkan akan digunakan pada kezaliman. Karenanya, menerima pemberian
penguasa dan membagi-bagikannya lebih utama daripada membiarkan di tangannya.
Suatu saat Jabir bin Zaid menerima pemberian penguasa lalu beliau menyedekahkan
harta itu seraya berkata, “Aku berpendapat bahwa mengambil harta dari mereka
kemudian menyedekahkannya lebih saya sukai daripada membiarkannya pada mereka.”
Begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika beliau menerima pemberian
1.000 dinar dari Harun ar-Rasyid. Beliau membagi-bagikannya sampai tidak ada
lagi yang tersisa di tangannya.
Keempat, harta yang tidak jelas kehalalannya
hendaknya tidak diambil akan tetapi tetap membiarkannya.
Namun Imam Ghazali menimpali bahwa untuk
zaman sekarang sangat sulit ditemukan harta pemberian penguasa yang benar-benar
halal. Sebab sumber pemasukannya kebanyakan berasal dari sumber yang haram.
Seperti uang sogok, pajak, dan pekerjaan maksiat. Ditambah mayoritas yang
terjadi pemberian itu disertai persyaratan-persyaratan yang sulit ditolak.
Karena itu, hendaknya seseorang mengambil dari penguasa yang kebanyakan
hartanya halal. Begitulah keadaan para khalifah di zaman Sahabat dan tabiin,
kebanyakan harta mereka itu tidak haram. Hal itu dibuktikan oleh pernyataan
Sayidina Ali yang mengatakan, “Apa yang diambil dari yang halal lebih banyak.”
Referensi: Ihyâ’ Ulumid-Dîn, Bab
Menerima Pemberian Sulthan.
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar