Oleh-Oleh
dari London untuk Hemat Investasi
Senin, 06 Januari 2014
Semua penumpang pesawat mengeluh:
bukan main lamanya antre terbang di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Teman saya
harus berada di dalam pesawat lebih satu jam hanya untuk mendapat giliran take
off. Saya sendiri mengalami hal yang sama. Terbang ke Lampung hanya 45 menit,
tapi antre terbangnya lebih lama dari itu.
Sehari-harinya
pun SHIA (Soekarno-Hatta International Airport) sudah padat. Di hari-hari
sekitar Natal dan tahun baru lebih parah. Ini karena adanya penerbangan ekstra.
Bayangkan, selama sepuluh hari ini, tiap hari ada 12 penerbangan ekstra. Betapa
berimpitannya jadwal pesawat.
Ke depan
sistem penerbangan ekstra harus diubah. Bukan diadakan penambahan jadwal, tapi
perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan pesawat yang lebih besar.
Dengan penambahan
penerbangan, jadwal pesawat benar-benar kacau balau. Penumpang sangat
dirugikan. Demikian juga perusahaan penerbangan. Reputasi Indonesia juga
tercoreng. Mumpung Lebaran masih jauh, sistem penerbangan ekstra ini bisa
diatur lebih dini.
Dunia penerbangan
yang mestinya lebih modern daripada kereta api atau penyeberangan feri justru
kalah jauh. Sudah dua tahun ini pengangkutan Lebaran kereta api dan feri sangat
memuaskan.
Untuk
bandara yang sudah padat, kelihatannya sistem penerbangan ekstra sudah tidak
cocok lagi. Lebih baik menggunakan jadwal yang sama, tapi dengan memakai
pesawat yang lebih besar. Kalau kita putuskan sekarang, perusahaan penerbangan
juga masih punya waktu. Mereka harus menyiapkan diri untuk mengatur
pesawat-pesawat besar mengisi jadwal domestik yang gemuk di Hari Lebaran.
Untuk
saat ini, jangankan menambah penerbangan, jadwal yang ada pun harus dikurangi.
Untuk apa Jakarta-Surabaya harus 42 kali. Lebih baik 35 kali, tapi tepat
waktunya lebih terjamin. Demikian juga Jakarta-Medan. Dan yang lain-lain.
Kalau
memang jumlah penumpang terlalu banyak, kita dorong perusahaan penerbangan
menggunakan pesawat yang lebih besar. Seperti Singapore Airlines, untuk
Jakarta-Singapura yang hanya berjarak 1,5 jam menggunakan pesawat besar Boeing
777.
Langkah
untuk mengurangi jadwal di SHIA sudah disiapkan: memindahkan sebagian
penerbangan ke Bandara Halim Perdanakusuma. Belakangan ini rapat-rapat
koordinasi antara TNI-AU sebagai pemilik bandara, Kementerian Perhubungan,
Angkasa Pura II, dan Perum Airnav terus dilakukan. Putusan sudah diambil.
Setiap hari sekitar 60 penerbangan bisa dipindahkan ke Halim.
Jumat
lalu giliran Angkasa Pura II yang melakukan rapat koordinasi dengan
perusahaan-perusahaan penerbangan. Untuk mengecek kesiapan mereka. Ternyata,
mereka belum siap untuk merealisasikannya Januari ini. Mereka minta pemindahan
itu dilakukan akhir Februari.
Kecuali
Citilink. Hanya anak perusahaan Garuda Indonesia ini yang siap memindahkan
sebagian jadwalnya ke Halim 10 Januari nanti. “Baik juga Citilink memulai dulu
sekalian untuk uji coba,” ujar Dirut Angkasa Pura II Tri Sunoko.
Menurut
Tri Sunoko, pembenahan ruang tunggu dan fasilitas lainnya sudah selesai. Ruang
tunggunya cukup untuk tiga penerbangan setiap jam. Pas dengan izin yang
diberikan pihak TNI-AU untuk pemanfaatan Halim yang tidak mengganggu kesibukan
TNI-AU di situ. Perusahaan penerbangan di luar Citilink minta waktu sampai
akhir Februari karena harus memindahkan sebagian kantor masing-masing ke Halim.
Bagaimana
masa depan SHIA sendiri? Selama ini berkembang pemikiran untuk membangun
landasan nomor 3. Tapi, kendalanya luar biasa. Terutama karena harus
membebaskan tanah 800 hektare. Tanah itu sekarang sudah berupa kampung. Lokasi
itu meliputi 13 desa di tiga kecamatan.
Bisakah
membebaskannya dengan cepat? Dari pengalaman selama ini, saya realistis saja:
sulit. Dan lama. Dan mahal. Bisa-bisa lima tahun ke depan pun belum terbebaskan
semua. Itu pun memerlukan dana pembelian tanah yang mencapai Rp 12 triliun.
Total biaya bisa mencapai Rp 40 triliun.
Maka,
saya memuji langkah Tri Sunoko mengirim staf inti belajar manajemen ke bandara
besar. Mereka pergi ke London. Belajar di Bandara Heathrow. Itulah bandara
nomor tiga tersibuk di dunia. SHIA sendiri tersibuk nomor sepuluh di dunia.
Bandara
Heathrow ini ternyata juga hanya memiliki dua landasan. Sama dengan SHIA. Tapi
bisa menampung kesibukan 74 juta penumpang per tahun. Lebih banyak daripada
SHIA yang menuju 60 juta penumpang. Hasil belajar ke London ini sangat baik:
dengan hanya dua landasan, Bandara Heathrow ternyata bisa melayani seratus
pergerakan pesawat setiap jam.
Kita di
SHIA dengan dua landasan baru bisa melayani 60 pergerakan setiap jam. Bahkan
dua tahun lalu hanya bisa melayani 54 pergerakan. Dua tahun terakhir ini,
dengan perbaikan-perbaikan manajemen dan sistem, bisa meningkat enam
pergerakan.
Belajar
dari London tersebut, kita juga akan bisa mencapai 74 pergerakan Juni tahun
depan. Dengan investasi sekitar Rp 2 triliun di Angkasa Pura II dan Rp 1
triliun di Perum Airnav. Ini akan lebih rasional daripada membangun landasan
nomor 3 yang memerlukan dana di atas Rp 30 triliun, itu pun kalau bisa
melakukan pembebasan lahan.
Cara
mirip ini juga pernah dilakukan R.J. Lino, Dirut Pelindo II, di Pelabuhan Teluk
Bayur, Padang. Waktu itu, dua tahun lalu, Teluk Bayur tidak mampu lagi melayani
kapal yang datang. Kapal harus antre tiga minggu untuk bisa merapat. Semua
pihak melihat harus ada pembangunan pelabuhan baru. Investasinya Rp 5 triliun.
Pemda sudah sanggup ikut membantu dana.
Tapi,
Lino memilih melakukan perbaikan manajemen dan modernisasi peralatan pelabuhan.
Biayanya hanya Rp 0,8 triliun. Hasilnya ibarat bumi dan langit. Kini kapal yang
datang ke Teluk Bayur tidak perlu lagi ngantre!
Pola
inilah yang sebaiknya dilakukan di SHIA. Dengan mempercanggih manajemen dan
peralatan, bisa menghemat uang puluhan triliun.(*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar