Skandal Hukum?
Oleh: KH. A. Mustofa
Bisri
Luar biasa. Ada yang
mengelus dada, menahan perasaan. Astaghfirullah. Ada yang geleng-geleng kepala,
tak percaya. MasyaAllah. Itulah kira-kira reaksi orang-orang Indonesia yang
waras saat mendengarkan rekaman telpon yang diputar dalam sidang MK.
Terdengar suara
seorang cukong yang begitu ‘berwibawa’ terhadap beberapa orang yang diduga
uknum-uknum aparat penegak hukum. Juga suara sang cukong dengan perempuan yang
diduga isterinya sedang membicarakan tokoh-tokoh yang diduga pejabat tinggi.
Anggaran yang diduga suap dibicarakan begitu rupa seolah-olah komunikasi
perniagaan. Tawar-menawar untuk melecehkan hukum berlangsung laiknya dagang
sapi. Terdengar percakapan yang benar-benar menjijikkan.
Walhasil saya benar-benar terguncang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya dengar. Sakit sekali rasanya mendengar hukum di negeri ini dipermainkan seperti itu. Sakit sekali rasanya mendengar orang-orang yang dipercaya membawa amanat, begitu mudah mempersetankan kepercayaan rakyat.
Inilah skandal penegakan –maksud saya pelecehan-- hukum yang luar biasa memalukan. Atau sebenarnya ini sudah lazim; hanya saja baru sekarang publik mengetahuinya. Anggodo atau Anggoro hanyalah satu dari sekian banyak cukong penguasa uknum-uknum pejabat miskin negeri ini. Kita jadi tidak heran sekarang, mengapa Edy Tansil dan maling-maling kakap lainnya sering kabur atau tak karuan urusannya. Ternyata diduga banyak sekali uknum penegak hukum yang benar-benar miskin sekaligus tamak.
Terus terang saja, semula saya kurang setuju dengan pemutaran rekaman itu. Namun mendengar rekaman yang begitu dahsyat, saya jadi kepingin mendengar terus rekaman-rekaman serupa yang jangan-jangan lebih dahsyat lagi tentang cecunguk–cecunguk republik ini.
Saya membayangkan alangkah shocknya presiden SBY mendengar rekaman yang menggambarkan dengan gamblang kebobrokan bagian paling penting dalam kehidupan penegakan hukum Negara yang dipimpinnya. Lalu saya menghayal, setelah mendengarkan itu, presiden langsung bertindak tegas; mencanangkan pembersihan dan penataan kehidupan hukum sebagai prioritas perhatian 100 harinya. Menindak tegas uknum-uknum yang diduga terlibat dalam persekongkolan pelecehan hukum, termasuk yang mencatut namanya.
Kalangan Kejaksaan dan Polri saya bayangkan malu sekali mendengar lembaga mereka dijadikan bahan tertawaan dan permainan cukong; uknum-uknum pejabat mereka ketahuan sangat miskin dan tamak. Lalu saya hayalkan mereka masing-masing dengan penuh amanah, mengambil kebijaksanaan dan bertindak tegas melakukan pembersihan serta penataan dilembaga masing-masing. Membebaskan Bibit dan Chandra. Memecat mereka yang telah dan akan mencoreng nama baik lembaga-lembaga mereka sekaligus Negara mereka.
Khusus Polri, mengingat kesuksesan Densus 88 yang terbukti telah berhasil dengan gemilang memburu dan menumpas teroris; saya berpikir mengapa tidak dibentuk Densus lain –Densus 99 atau apa namanya—yang bertugas khusus memburu dan menumpas koruptor. Soalnya madharat dan kerusakan yang diakibatkan oleh ulah koruptor tidak kalah hebat dibanding yang diakibatkan oleh teroris. Apalagi korupsi seperti terkesan dari rekaman KPK , sepertinya sudah merupakan hal yang lazim dan ini tidak hanya terjadi di pusat.
Bila disepakati, Densus ini unsur-unsurnya bisa terdiri dari KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Dengan demikian tidak akan ada persaingan di antara lembaga-lembaga tersebut seperti yang terkesan selama ini.
Diterima atau tidak usul saya itu, yang penting korupsi harus benar-benar diperangi . Tidak hanya dalam wacana belaka. Kalau tidak, saya khawatir dengan negeri yang rentan musibah ini akan menjadi lebih parah lagi.
KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren
Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar