TRADISI
Manjalang Pusaro, Menyambut Ramadhan di
Pariaman
Beragam tradisi yang tumbuh di tengah
masyarakat Nusantara dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Ibarat pepatah, lain
lubuk lain pula ikannya. Lain masyarakat, lain pula yang dilakukan dalam
menyongsong bulan suci Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi.
Di Pariaman, baik Kota Pariaman maupun Kabupaten Padangpariaman, Provinsi Sumatera Barat, menjelang Ramadhan, masyarakat melakukan kegiatan manjalang pusaro. Di sebagian nagari (desa, di Jawa), ada yang menyebutnya ka pusaro atau ratih pusaro. Kegiatan ini dilakukan oleh satu kaum/suku di pandam pekuburan (taman pemakaman) milik kaum tersebut. Misalkan yang mengadakan ka pusaro suku Tanjung di pandam pekuburan kaumnya, hanya diikuti suku Tanjung yang keluarganya dimakamkan di kuburan tersebut. Mereka yang boleh dikuburkan di pandam kuburan itu hanyalah keluarga dari kaum itu sendiri yang berasal dari jalur keturunan ibu. Sedangkan sumando (suami dari perempuan kaum itu), boleh dimakamkan jika sudah mendapat izin dari ninik mamak kaum. Sementara anak-anak dari kaum laki-laki tidak boleh dimakamkan di pandam kuburan kaumnya, melainkan di pandam pekuburan ibunya pula.
Pada acara ka pusaro ini, kaum perempuan membawa jamba yang berisi nasi dan beragam sambal. Ditambah dengan makanan snack seperti, agar-agar, kue bulu, roti dan buah-buahan seperti pisang, pepaya, semangka dan lainnya. Pelaksanaan manjalang pusaro sudah boleh dilakukan mulai bulan Sa’ban hingga sehari menjelang Ramadhan.
Beberapa urang siak (pembaca ayat-ayat Al Qur’an dan doa) duduk di atas hamparan tikar yang sudah disediakan di sekitar kawasan kuburan. Ada juga pandam kuburan yang sudah memiliki bangunan tempat meletakan jamba dan urang siak. Bangunan sederhana tersebut biasanya pondok beratap seng, berlantai semen, namun tidak ada dinding.
Seperti yang dilakukan suku Tanjung di Desa Sungai Pasak Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, pada Sabtu (14/6/2014), beberapa urang siak kampung duduk bersama anggota kaum. Baik kaum perempuan, laki-laki, anak-anak, muda-mudi, orang dewasa maupun orang tua. Semuanya berkumpul.
Urang siak memulainya dengan membaca Al-Fatihah, dilanjutkan membaca surat Al Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, awal dan akhir surat Al-Baqarah, tahlilan, salawat kepada Nabi Muhammad Saw, dan diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin salah seorang urang siak. Pada bagian tertentu, bacaan yang dibaca urang siak juga diikuti oleh seluruh hadirin. Selesai doa bersama, dilanjutkan makan bersama di tempat yang sudah disediakan. Jika belum ada pondok di sekitar pemakaman, bisa saja di sekitar pemakaman yang tanahnya datar dan tidak ada kuburan dibentangkan tikar. Semua yang hadir turut makan bersama tanpa kecuali.
Saat berlangsung rangkaian tahlilan dan bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an, seseorang pemuda menjalankan sumbangan dengan topi atau kotak kepada yang hadir. Masing-masing menyumbang ala kadarnya sesuai dengan kemampuan. Ada yang menyumbang Rp 5.000, 10.000, juga ada yang Rp 50.000, bahkan Rp 100.000. Itu tergantung kondisi ekonomi, makin sehat ekonominya, tentu sumbangannya makin besar. Sumbangan yang terkumpul diserahkan kepada datuak kaum. Selanjutnya sumbangan dibagi untuk sadakah (amplop) urang siak yang turut berdo’a dan tahlilan.
Rangkaian acara ka pusaro ini dimulai pagi hari dengan membersihkan lahan pandam pekuburan dari semak belukar yang sudah memenuhi areal pekuburan. Kaum laki-laki dan sebagian perempuan yang ada nenek moyang dan dunsanak (saudara) yang sudah dikuburkan di areal ini datang bergotongroyong bersama-sama. Biasanya menjelang masuknya waktu shalat zuhur, semua lahan sudah bersih. Semuanya kembali ke tempat masing-masing.
Sesaat menjelang waktu Ashar, 3 hingga 6 orang kembali ke areal pandam pekuburan. Persis usai shalat Ashar, semua warga kaum berkumpul yang diiringi pula urang siak ke pandam pekuburan untuk memimpin doa.
Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Jamiatul Mukminin Nagari Sintuak Kecamatan Sintuak Tobohgadang Kabupaten Padangpariaman Azwar Tuanku Sidi kepada NU Online, Kamis (19/6/2014) tata cara manjalang pusaro di beberapa nagari ada perbedaan. Di Nagari Sintuak, Tapakih, Ulakan, Tobohgadang dilakukan usai lebaran Idul Fitri. Waktunya mulai sehari usai lebaran hingga 6 hari lebaran. Artinya selama waktu puasa enam Syawal. Urang siaknya berkisar antara 8–12 orang. Karena ditambah pula dengan ratik labai (labai=pegawai masjid di nagari). Tentu di hari lebaran Idul Fitri keluarga dari rantau pulang kampung. Sehingga semua keluarga punya kesempatan untuk hadir bersama di pusaro.
“Menjelang Ramadhan, umumnya warga mengundang beberapa orang siak untuk mando’a. Di rumah, warga menyampaikan maksudnya kepada urang siak, yakni mendoakan para orangtua (leluhur) yang sudah wafat, tanaman dan harta pusaka sawah ladang yang ditinggalkan agar berkah, keluarga yang masih hidup rukun, rezeki penuh berkah,” kata Azwar Tuanku Sidi yang juga Mustasyar PC Nahdlatul Ulama Kabupaten Padangpariaman ini.
Berbeda di nagari kawasan Kecamatan Sungailimau, manjalang pusaro dinamakan pula ratih pusaro. Menjelang Ramadhan, beberapa keluarga sepakat mengumumkan ratik pusaro dimulai pada hari yang sudah ditetapkan. Jumlah urang siaknya lebih sedikit, cukup 3 orang.
Ka pusaro ada beberapa hikmah yang dapat dipetik. Pertama, mendekatkan para anggota kaum yang masih hidup pada kuburan. Semua yang hadir teringat akan mati, pada suatu hari kelak juga akan dikuburkan di pandam pekuburan kaum tersebut. Sehingga selalu mengingat kematian, menjauhi perbuatan dosa dan memperbanyak amal shaleh.
Kedua, memupuk rasa bergotongroyong dengan bersama-sama bersihkan pandam pekuburan. Ketiga, meningkatkan silaturrahmi sesama anggota kaum. Selama ini masing-masing anggota keluarga sibuk dengan urusan sendiri, sudah banyak pula muncul generasi baru (anak kemenakan) sehingga perlu diperkenalkan dengan dunsanak yang lain. Keempat, memperkenalkan tradisi yang sudah dilakukan kaum sejak lama kepada anak-anak dan generasi muda.
Menurut Azwar, manjalang pusaro sama saja dengan ziarah. Bedanya, ziarah dilakukan kepada kuburan guru, ulama dan wali Allah. Ziarah waktunya bisa dilakukan kapan saja. Sedangkan ka pusaro dilakukan pada waktu tertentu kepada kuburan orangtua, nenek/kakek atau keluarga terdekat. “ Tradisi manjalang pusaro ini, kata Azwar, mulai dilakukan sejak Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di Pariaman, umumnya di Minangkabau. Sehingga dapat dikatakan manjalang pusaro ini tradisi yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin, Ulakan, untuk mengingatkan umat Islam akan kematian dan tempat akhir perjalanan seorang manusia. Yakni kuburan.
KH. Muhyiddin Abdusshomad dalam Hujjah NU menyebutkan, pada masa awal Islam, Rasulullah Saw. memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur, karena khawatir umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Setelah akidah umat Islam kuat, dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah Saw membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur.
“Dari Buraidah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah!. Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.” (HR. Al-Tirmidzi).
Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud).
Dalil itu membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian dengan perjalanan ke makam mereka. (Al-Fatawi al-Kubra, juz II, hal. 24).
Ulama salaf Imam al-Syafi’i mencontohkan berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan membaca al-Qur’an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan diceritakan bahwa Imam Syafi’i jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Demikian KH. Muhyiddin Abdusshomad menjelaskan. []
(Bagindo Armaidi Tanjung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar