Kepemimpinan
Am(m)arah
Oleh:
Hasibullah Satrawi
Dalam
beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan cuplikan video seorang
pemimpin memarahi anak buah atau koleganya. Episode teranyar dari ”serial”
pemimpin yang sedang marah-marah ini menampilkan Wali Kota Surabaya Ibu Tri
Rismaharini (biasa dipanggil Ibu Risma), yang terlihat sangat marah karena
Taman Bungkul rusak akibat acara bagi-bagi es krim gratis.
Menarik
diperhatikan, adegan marah-marah seorang pemimpin justru diperlihatkan oleh
sosok-sosok yang selama ini cenderung naik daun sebagai pemimpin, seperti
pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama (atau biasa disebut dengan nama panggilan Jokowi-Ahok), Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo, dan termasuk Ibu Risma. Hingga cenderung menimbulkan kesan
bahwa pemimpin yang baik pada masa sekarang justru mereka yang berani atau
sering marah.
Kondisi
Berat
Sejauh
ini publik cenderung menerima secara baik amarah dari pemimpin-pemimpin naik
daun seperti di atas. Kalaupun ada pihak yang merespons kepemimpinan amarah ini
secara negatif, hampir bisa dipastikan jumlah mereka masih kalah jauh dengan
mereka yang meresponsnya secara positif.
Sangat
mungkin, penerimaan publik terhadap kepemimpinan amarah ini disebabkan
kepercayaan masyarakat yang masih tinggi terhadap sosok-sosok seperti di atas.
Dengan kata lain, publik masih percaya bahwa para pemimpin seperti Jokowi,
Ahok, Ganjar, dan Ibu Risma bersungguh-sungguh dalam bekerja untuk mewujudkan
amanah rakyat. Dan bila mereka marah, hal itu berarti sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada.
Apalagi
kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini sangat berat, baik
dalam konteks nasional, di kota-kota besar, maupun bahkan di pelosok-pelosok
desa. Sebagai contoh, secara makro, perkembangan ekonomi Indonesia kerap
dipuja-puji, setidaknya oleh pemerintah. Sedangkan secara mikroekonomi, banyak
masyarakat yang tetap kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Di sisi
lain, kebebasan acap tidak terkontrol lagi. Pada masa seperti sekarang,
informasi apa pun dengan mudah menyebar kepada masyarakat luas, menembus
bebukitan dan pegunungan yang dalam kurun waktu sekian lama mengisolasi warga
dari kemajuan dan keterbukaan. Tapi, di sisi lain, kebebasan yang luar biasa
ini justru tak jarang memberikan tugas baru dan menambah beban sebagian
masyarakat. Sebab, semuanya tidak gratis yang berarti harus menambah biaya
pengeluaran. Bahkan, sebagian harus mengeluarkan biaya supermahal; kehilangan
anggota keluarga karena dibawa kabur temannya di jejaring sosial media, dan
masih banyak contoh lainnya.
Sementara
itu, suksesi kepemimpinan acap hanya berarti bagi para pemodal, para pengusaha,
atau pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasaan. Sedangkan bagi masyarakat,
pergantian kepemimpinan acap tak bermakna apa pun. Sebab, kondisinya dirasa
hampir sama saja antara satu periode kepemimpinan dan kepemimpinan yang lain.
Maka, tidak heran bila masyarakat tetap menerima uang dari para ”pemain
kekuasaan” ini meski sudah dilarang banyak pihak (bahkan termasuk oleh tokoh
agama setempat) atau bahkan meski hanya 5 ribu rupiah. Karena bagi mereka, itu
momen langka yang bisa terjadi hanya lima tahun sekali!
Dalam
kondisi seperti ini, beban paling berat justru harus dihadapi oleh para
pemimpin yang membawa visi perubahan dan hendak benar-benar mengabdi kepada
masyarakat. Di satu sisi, mereka harus terdesak oleh segala macam kondisi
masyarakat sebagaimana (sebagian) telah dijelaskan di atas. Sementara itu, di
sisi lain, mereka harus berhadapan dengan mental-mental birokrat yang sebagian
masih bermasalah hingga hari ini, seperti kebiasaan lambat, tumpang tindih,
semangat hidup di pertengahan hingga akhir tahun (masa pencairan anggaran), dan
yang lainnya.
Dalam
kondisi seperti ini, sangatlah bisa dipahami bila seorang pemimpin yang membawa
semangat perubahan marah besar akibat keadaan yang dianggap tidak semestinya.
Amarah yang ada bisa menjadi pendobrak kebekuan yang ada.
Jangan
Ammarah
Meski
demikian, hendaklah amarah jangan sampai berubah menjadi ammarah. Dalam bahasa
Arab, ammarah bermakna banyak menyuruh secara negatif (kejahatan). Hawa nafsu,
contohnya, berwatak ammarah bis su’ (banyak menyuruh atas keburukan).
Dalam
konteks kepemimpinan, marah satu kali atau beberapa kali tentu sangat dianggap
wajar, apalagi orang yang marah adalah pemimpin yang dianggap baik dan amanah.
Tapi, bila terus marah-marah, apalagi berkali-kali, tentu akan dimaknai secara
negatif, apalagi pamor kepemimpinan dari pemimpin yang ada dalam tren menurun
(umpama). Dan sangat mungkin marah-marah yang ada lebih disebabkan hawa nafsu
dengan watak dasar ammarah-nya daripada kehendak memperbaiki keadaan.
Secara
kejiwaan, karakter dasar amarah bersifat negatif walaupun tujuan atau hendak
dipergunakan secara positif. Sebab, amarah cenderung mendorong jiwa keluar dari
ketenangannya.
Itu sebabnya,
secara normatif, manusia dianjurkan untuk menjadi sosok penyabar dan sebisa
mungkin mengontrol emosi, termasuk amarah. Bahkan dalam Islam, orang yang
sedang marah tidak diperbolehkan menjadi hakim atau pemutus perkara.
Oleh
karena itu, dalam kepemimpinan, yang dibutuhkan bukan amarah (apalagi ammarah),
melainkan ketegasan tanpa menjadi keras dan kelembutan tanpa menjadi lemah.
Dalam sejarah Islam, kepemimpinan sahabat Abu Bakar kerap digambarkan sebagai
kepemimpinan yang lembut, tapi tidak lemah. Sedangkan kepemimpinan sahabat Umar
bin Khattab kerap digambarkan sebagai kepemimpinan yang tegas, tapi tidak
keras.
Seorang
pemimpin sejatinya mampu menggunakan karakter-karakter di atas secara
proporsional, khususnya dalam menghadapi masyarakat di semua keadaannya. Hingga
muncul kesadaran terkait pentingnya menjaga ruang bersama dan sama-sama
menghormati ruang pribadi di kalangan masyarakat dengan segala hak dan
kewajibannya.
Pada
akhirnya, karakter seperti ketegasan, kelembutan, atau bahkan peraturan, tak
lebih dari sekadar instrumen. Sedangkan tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran
positif dalam kehidupan masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas.
Oleh
karena itu, menjadi pemimpin sejatinya tidak sekadar memerintah, menyuruh,
apalagi marah-marah. Bila demikian, tidak ada bedanya antara pemimpin dan
masyarakat biasa yang dipimpin. Mengingat semua orang sesungguhnya bisa
melakukan hal-hal seperti ini.
Demikian
pula, menjadi pemimpin seharusnya tidak hanya memaksa masyarakat agar mematuhi
sebuah peraturan, apalagi dibarengi dengan penegakan denda atau melalui
tindakan aparat sekalipun. Sebab bila demikian, tidak ada bedanya antara masa
kerajaan dan era demokrasi seperti sekarang.
Ada
sebuah kisah menarik sebagai penutup tulisan ini sekaligus gambaran dari tujuan
tertinggi sebuah kepemimpinan. Pada suatu ketika, ada seorang perempuan hamil
karena perzinaan yang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan meminta untuk
dijatuhi hukuman karena telah melanggar peraturan. Nabi menyuruhnya datang di
lain waktu setelah sang janin lahir. Hingga akhirnya Nabi menegakkan hukum yang
berlaku (rajam) bagi perempuan itu.
Bagaimana
agar bangsa ini bisa mempunyai kesadaran sebagaimana dalam kisah di atas?
Silakan para pemimpin semua yang terhormat memikirkan cara dan
mengimplementasikan program kerjanya. Itulah seni kepemimpinan. Pastinya tidak
dengan marah-marah, apalagi menyalahkan rakyat. Bukankah semata-mata demi
tujuan ini semua, dahulu kalian minta dipilih kepada kami sebagai rakyat? []
JAWA POS,
14 Mei 2014
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar