Pembernahan Tata
Kelola Haji
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional Korp Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
TAMPARAN keras kembali diterima Kabinet Indonesia Bersatu-II. Hanya dalam hitungan bulan jelang demisioner, potret kabinet justru bertambah buram setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus penyelenggara dana haji 2012-2013. Inilah momentum untukmembenahi semua aspek pengelolaan ibadah haji.
KPK telah meningkatkan status kasus pengelolaan dana dan pengadaan haji periode 202-2013 ke tahap penyidikan. Adalah Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas yang baru-baru ini mengumumkan hal itu, termasuk penetapan status tersangka atas Menag Suryadharma Ali (SDA).
Pada tahap penyelidikan, KPK menemukan indikasi praktik penggelembungan (mark up) nilai pengadaan, serta penyalahgunaan dana calon jamaah haji periode itu, dengan perkiraan volume anggaran lebih dari Rp 1 triliun. Penggelembungan antara lain terjadi pada aspek pemondokan, catering dan pengadaan transportasi. Juga ditemukan penyelewengan pada pengelolaan biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang diduga digunakan untuk membiayai kepentingan sejumlah pejabat Kemenag.
Tentu saja umat Islam memaknai langkah KPK ini sebagai angin segar. Selama ini, kalangan umat memang selalu berharap dilakukannya perbaikan dan pembenahan terhadap tata kelola dan penyelenggaraan ibadah haji. Sudah begitu lama umat menggunjingkan ketertutupan pemerintah dalam mengelola dana haji. Apalagi setelah terungkapnya transaksi mencurigakan dalam pengelolaan dana haji sepanjang periode 2004-2012. Pun, sudah begitu banyak kisah atau pengalaman jamaah mengenai ketidaknyamanan beribadah akibat tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang begitu tertutup selama ini.
Sering diasumsikan bahwa jika saja dana haji yang disetorkan calon jamaah dikelola dengan benar dan produktif, Indonesia bisa berinvestasi membangun apartemen, hotel, poliklinik atau pusat kesehatan haji Indonesia pada area-area yang tidak jauh dari Tanah Suci. Pada area dimaksud, bisa disediakan catering atau food court yang menyediakan masakan khas Indonesia. Kemampuan Indonesia menyediakan fasilitas-fasilitas seperti itu akan menyediakan ruang bagi jamaah haji Indonesia untuk beribadah dengan khusyuk dan nyaman.
Namun, gagasan ini begitu sulit untuk diolah karena pengelolaan dana haji selama ini begitu tertutup. Karena itu, semua elemen masyarakat bersyukur atas inisiatif institusi penegak hukum menyentuh masalah ini. Ketertutupan yang jelas-jelas tidak produktif itu harus diakhiri, apa pun risikonya.
Dengan begitu, inisiatif KPK menyelidiki dugaan penyimpangan pengelolaan dana haji hendaknya dipahami dengan sudut pandang positif. Jangan dipolitisasi. KPK setidaknya telah mendorong dilakukannya pembenahan pada semua aspek tata kelola dan penyelenggaraan ibadah haji, sebagaimana yang diharapkan semua elemen masyarakat.
Dengan ditetapkannya figur seorang menteri menjadi tersangka, yang diharapkan tentu saja bukan hanya dorongan pembenahan, melainkan juga tumbuhnya efek jera bagi semua pihak yang selama ini mungkin sering memanipulasi para calon jamaah haji. Calon jamaah haji hendaknya tidak melulu dilihat sebagai obyek untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Calon jamaah Haji harus diperlakukan sebagaimana layaknya individu yang ingin beribadah di Tanah Suci. Benar bahwa calon jamaah haji memerlukan bantuan atau jasa dari pihak lain karena perjalanan yang jauh dan kewajiban memenuhi sejumlah persyaratan. Wajar juga jika semua pihak yang membantu atau penyedia jasa mendapatkan uang lelah atau keuntungan.
Akan tetapi, beban perjalanan jauh dan persyaratan-persyaratan yang mengikutinya tidak boleh direkayasa atau dieskalasi menjadi persoalan teramat sulit yang hanya bisa diatasi dengan pembiayaan sangat mahal. Perilaku manipulatif seperti itulah yang sering dialami banyak calon jamaah haji Indonesia. Niat beribadah harus dimuliakan, dan karenanya pemburu rente yang tamak tidak boleh diberi tempat dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.
Profesional dan Transparan
Pembenahan pada aspek pengelolaan dana haji sudah dimulai. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, menggagas pemisahan pengelolaan dana haji dari direktorat yang dipimpinnya itu. Tujuan utama dari pemisahan itu adalah transparansi dan profesionalitas. Gagasan ini sudah dimasukan dalam rancangan undang-undang (RUU) Pengelolaan Keuangan Haji.
Anggito mengusulkan lembaga pengelola bisa saja seperti Badan Amil Zakat Nasional, sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyarankan agar pengelolaan dana jamaah haji dikelola badan layanan umum (BLU). Dalam praktiknya nanti, kebijakan tetap melekat di Ditjen PHU, sedangkan pengelolaan dana haji menjadi wewenang badan dimaksud.
Menurut Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LKPIH) 2013 dari Kemenag, outstanding dana haji per Desember 2013 mencapai Rp 64,5 triliun. Dalam rentang waktu relatif pendek, akumulasi dana haji diprediksi menembus jumlah Rp 100 Triliun. Perkiraan ini masuk akal karena minat umat melaksanakan ibadah haji terus meningkat dari waktu ke waktu.
Jelas bahwa dana masyarakat ini bukan jumlah yang kecil. Karena dana itu milik orang banyak, pengelolaannya harus profesional dan transparan. Ada dua poin yang patut digarisbawahi. Pertama, negara cq pemerintah seharusnya mengapresiasi kehendak masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji. Kedua, dalam mengelola dana haji, pemerintah semestinya tidak menyalahgunakan kepercayaan calon jamaah.
Sebelum gagasan pemisahan pengelolaan dana haji yang digagas Anggito, ada pertanyaan publik yang tak pernah bisa dijawab pemerintah. Pertanyaan itu adalah bagaimana pemerintah atau Kemenag mengelola dana triliunan rupiah yang disetor calon jamaah haji? Mengapa juga tidak ada transparansi untuk pengelolaan dana masyarakat yang demikian besar itu? Karena jumlahnya yang puluhan trilyun itu, publik yakin dana itu tidak disimpan di brankas Kemenag, melainkan di sejumlah bank. Kalau mengikuti mekanisme perbankan, dana itu pasti produktif alias berbunga.
Faktanya, selama ini, calon jamaah tidak menikmati imbal hasil itu. Setelah sekian tahun menunggu, calon jamaah hanya mendapatkan manfaat sesuai setoran pokok ketika akan berangkat menunaikan ibadah. Calon jamaah pasrah karena hak untuk menentukan calon jamaah yang berangkat ada di tangan pemerintah. Tetapi, aneh bahwa pemerintah merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan pengelolaan dana masyarakat itu.
Dimana dana itu ditempakan dan atas nama siapa? Apa pilihan instrumennya? Kalau dana itu diinvestasikan, berapa besar hasil investasinya dan digunakan untuk apa saja hasil investasi itu? Bagaimana mekanismenya sehingga calon jamaah yang menyetor Rp 20 juta tetap menerima Rp 20 juta setelah lima atau 10 tahun kemudian?
Selama puluhan tahun, pertanyaan-pertanyaan dari publik ini tidak pernah mendapatkan jawaban. Baru satu-dua tahun terakhir ini, pengelolaan dana haji dibuat transparan, ketika Ditjen PHU mulai memindahkan dana setoran haji ke bank syariah dan unit usaha syariah sebagai bank penerima setoran (BPS).
Penetapan Menteri Agama SDA dkk menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan haji periode 2012-2013 patut dijadikan momentum pembenahan tata kelola dan penyelenggaraan haji. Penetapan status SDA itu hendaknya dijadikan faktor pendorong.
Pengelolaan dana haji mulai dibenahi dan transparan. Aspek lainnya pun harus dibenahi. Pembenahan itu harus membuahkan rasa nyaman dan khusyuk bagi jamaah sejak proses persiapan di dalam negeri, perjalanan pergi-pulang dan selama melaksanakan ibadah. Itulah yang sesungguhnya menjadi kepentingan mendasar para jamaah. Sangat sederhana.
Maka, RUU tentang Pengelolaan Dana Haji hendaknya sudah mencakup semua kepentingan mendasar yang sederhana itu.
*) Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, Semarang, Jawa Tengah (5/6)
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional Korp Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
TAMPARAN keras kembali diterima Kabinet Indonesia Bersatu-II. Hanya dalam hitungan bulan jelang demisioner, potret kabinet justru bertambah buram setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus penyelenggara dana haji 2012-2013. Inilah momentum untukmembenahi semua aspek pengelolaan ibadah haji.
KPK telah meningkatkan status kasus pengelolaan dana dan pengadaan haji periode 202-2013 ke tahap penyidikan. Adalah Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas yang baru-baru ini mengumumkan hal itu, termasuk penetapan status tersangka atas Menag Suryadharma Ali (SDA).
Pada tahap penyelidikan, KPK menemukan indikasi praktik penggelembungan (mark up) nilai pengadaan, serta penyalahgunaan dana calon jamaah haji periode itu, dengan perkiraan volume anggaran lebih dari Rp 1 triliun. Penggelembungan antara lain terjadi pada aspek pemondokan, catering dan pengadaan transportasi. Juga ditemukan penyelewengan pada pengelolaan biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang diduga digunakan untuk membiayai kepentingan sejumlah pejabat Kemenag.
Tentu saja umat Islam memaknai langkah KPK ini sebagai angin segar. Selama ini, kalangan umat memang selalu berharap dilakukannya perbaikan dan pembenahan terhadap tata kelola dan penyelenggaraan ibadah haji. Sudah begitu lama umat menggunjingkan ketertutupan pemerintah dalam mengelola dana haji. Apalagi setelah terungkapnya transaksi mencurigakan dalam pengelolaan dana haji sepanjang periode 2004-2012. Pun, sudah begitu banyak kisah atau pengalaman jamaah mengenai ketidaknyamanan beribadah akibat tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang begitu tertutup selama ini.
Sering diasumsikan bahwa jika saja dana haji yang disetorkan calon jamaah dikelola dengan benar dan produktif, Indonesia bisa berinvestasi membangun apartemen, hotel, poliklinik atau pusat kesehatan haji Indonesia pada area-area yang tidak jauh dari Tanah Suci. Pada area dimaksud, bisa disediakan catering atau food court yang menyediakan masakan khas Indonesia. Kemampuan Indonesia menyediakan fasilitas-fasilitas seperti itu akan menyediakan ruang bagi jamaah haji Indonesia untuk beribadah dengan khusyuk dan nyaman.
Namun, gagasan ini begitu sulit untuk diolah karena pengelolaan dana haji selama ini begitu tertutup. Karena itu, semua elemen masyarakat bersyukur atas inisiatif institusi penegak hukum menyentuh masalah ini. Ketertutupan yang jelas-jelas tidak produktif itu harus diakhiri, apa pun risikonya.
Dengan begitu, inisiatif KPK menyelidiki dugaan penyimpangan pengelolaan dana haji hendaknya dipahami dengan sudut pandang positif. Jangan dipolitisasi. KPK setidaknya telah mendorong dilakukannya pembenahan pada semua aspek tata kelola dan penyelenggaraan ibadah haji, sebagaimana yang diharapkan semua elemen masyarakat.
Dengan ditetapkannya figur seorang menteri menjadi tersangka, yang diharapkan tentu saja bukan hanya dorongan pembenahan, melainkan juga tumbuhnya efek jera bagi semua pihak yang selama ini mungkin sering memanipulasi para calon jamaah haji. Calon jamaah haji hendaknya tidak melulu dilihat sebagai obyek untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Calon jamaah Haji harus diperlakukan sebagaimana layaknya individu yang ingin beribadah di Tanah Suci. Benar bahwa calon jamaah haji memerlukan bantuan atau jasa dari pihak lain karena perjalanan yang jauh dan kewajiban memenuhi sejumlah persyaratan. Wajar juga jika semua pihak yang membantu atau penyedia jasa mendapatkan uang lelah atau keuntungan.
Akan tetapi, beban perjalanan jauh dan persyaratan-persyaratan yang mengikutinya tidak boleh direkayasa atau dieskalasi menjadi persoalan teramat sulit yang hanya bisa diatasi dengan pembiayaan sangat mahal. Perilaku manipulatif seperti itulah yang sering dialami banyak calon jamaah haji Indonesia. Niat beribadah harus dimuliakan, dan karenanya pemburu rente yang tamak tidak boleh diberi tempat dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.
Profesional dan Transparan
Pembenahan pada aspek pengelolaan dana haji sudah dimulai. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, menggagas pemisahan pengelolaan dana haji dari direktorat yang dipimpinnya itu. Tujuan utama dari pemisahan itu adalah transparansi dan profesionalitas. Gagasan ini sudah dimasukan dalam rancangan undang-undang (RUU) Pengelolaan Keuangan Haji.
Anggito mengusulkan lembaga pengelola bisa saja seperti Badan Amil Zakat Nasional, sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyarankan agar pengelolaan dana jamaah haji dikelola badan layanan umum (BLU). Dalam praktiknya nanti, kebijakan tetap melekat di Ditjen PHU, sedangkan pengelolaan dana haji menjadi wewenang badan dimaksud.
Menurut Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LKPIH) 2013 dari Kemenag, outstanding dana haji per Desember 2013 mencapai Rp 64,5 triliun. Dalam rentang waktu relatif pendek, akumulasi dana haji diprediksi menembus jumlah Rp 100 Triliun. Perkiraan ini masuk akal karena minat umat melaksanakan ibadah haji terus meningkat dari waktu ke waktu.
Jelas bahwa dana masyarakat ini bukan jumlah yang kecil. Karena dana itu milik orang banyak, pengelolaannya harus profesional dan transparan. Ada dua poin yang patut digarisbawahi. Pertama, negara cq pemerintah seharusnya mengapresiasi kehendak masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji. Kedua, dalam mengelola dana haji, pemerintah semestinya tidak menyalahgunakan kepercayaan calon jamaah.
Sebelum gagasan pemisahan pengelolaan dana haji yang digagas Anggito, ada pertanyaan publik yang tak pernah bisa dijawab pemerintah. Pertanyaan itu adalah bagaimana pemerintah atau Kemenag mengelola dana triliunan rupiah yang disetor calon jamaah haji? Mengapa juga tidak ada transparansi untuk pengelolaan dana masyarakat yang demikian besar itu? Karena jumlahnya yang puluhan trilyun itu, publik yakin dana itu tidak disimpan di brankas Kemenag, melainkan di sejumlah bank. Kalau mengikuti mekanisme perbankan, dana itu pasti produktif alias berbunga.
Faktanya, selama ini, calon jamaah tidak menikmati imbal hasil itu. Setelah sekian tahun menunggu, calon jamaah hanya mendapatkan manfaat sesuai setoran pokok ketika akan berangkat menunaikan ibadah. Calon jamaah pasrah karena hak untuk menentukan calon jamaah yang berangkat ada di tangan pemerintah. Tetapi, aneh bahwa pemerintah merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan pengelolaan dana masyarakat itu.
Dimana dana itu ditempakan dan atas nama siapa? Apa pilihan instrumennya? Kalau dana itu diinvestasikan, berapa besar hasil investasinya dan digunakan untuk apa saja hasil investasi itu? Bagaimana mekanismenya sehingga calon jamaah yang menyetor Rp 20 juta tetap menerima Rp 20 juta setelah lima atau 10 tahun kemudian?
Selama puluhan tahun, pertanyaan-pertanyaan dari publik ini tidak pernah mendapatkan jawaban. Baru satu-dua tahun terakhir ini, pengelolaan dana haji dibuat transparan, ketika Ditjen PHU mulai memindahkan dana setoran haji ke bank syariah dan unit usaha syariah sebagai bank penerima setoran (BPS).
Penetapan Menteri Agama SDA dkk menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan haji periode 2012-2013 patut dijadikan momentum pembenahan tata kelola dan penyelenggaraan haji. Penetapan status SDA itu hendaknya dijadikan faktor pendorong.
Pengelolaan dana haji mulai dibenahi dan transparan. Aspek lainnya pun harus dibenahi. Pembenahan itu harus membuahkan rasa nyaman dan khusyuk bagi jamaah sejak proses persiapan di dalam negeri, perjalanan pergi-pulang dan selama melaksanakan ibadah. Itulah yang sesungguhnya menjadi kepentingan mendasar para jamaah. Sangat sederhana.
Maka, RUU tentang Pengelolaan Dana Haji hendaknya sudah mencakup semua kepentingan mendasar yang sederhana itu.
*) Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, Semarang, Jawa Tengah (5/6)
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
Tidak ada komentar:
Posting Komentar