Stress
Lima Tahunan
Oleh:
Mohamad Sobary
Seorang
seniman terkemuka memiliki kelainan dalam metabolisme tubuhnya. Tiap pagi dia
selalu muntah-muntah, disertai sedikit rasa pusing, dan kadang-kadang
pandangannya berkunang-kunang.
Memang
tidak sampai tingkat pingsan, atau tidak sadar. Tapi dari tubuhnya keluar
keringat dingin. Sesudah muntah-muntah itu, badan terasa sedikit lebih enteng
dan menjadi normal kembali. Segenap aktivitasnya seharian itu lancar. Dan, dia
bisa bekerja keras hingga lewat tengah malam. Kita tidak tahu apa yang
membuatnya menjadi begitu. Tapi itulah “ritus” pagi yang harus dilakukannya
sebelum melejit menuju lewat tengah malam dengan kerja dan kerja yang tak
mengenal lelah.
Ada lagi
gejala merepotkan, yang membuat seorang pengusaha besar tak bisa tidur sebelum
sopir membawanya berputar-putar mengelilingi sebagian wilayah Jakarta. Itu pun
harus dilakukan sesudah lewat tengah malam, ketika di jalanan mobil bisa melaju
melebihi kecepatan minimal enam puluh kilometer per jam, yang membuatnya merasa
sedikit mengawang seperti menuju ke langit biru tak berawan.
Entah
mengapa, sesudah mengitari sebagian kota tadi sambil berbaring di jok tengah
mobilnya yang nyaman, barulah dia bisa tidur. Sopir harus menggendongnya keluar
mobil, bersama ajudan yang kekar dan setia, untuk memindahkannya ke ruang
kerjanya di lantai satu rumahnya yang bertingkat tiga di kompleks perumahan
mewah di Pondok Indah. Sebelum jam empat, dia selalu sudah bangun dan mulai
bekerja keras hingga jam delapan pagi.
Sesudah
menyeruput segelas kopi pahit, sepotong roti, dan segelas air dingin, tokoh ini
kemudian bergegas ke kantor untuk mengecek bahwa segala sesuatu telah berjalan
sebagaimana direncanakan. Kita pun tidak tahu apa sebetulnya ganjalan
psikologis yang terjadi di dalam diri tokoh penting ini.
Kalau
sebelum tidur anakanak minta digendong dulu, atau dininabobokan dengan
nyanyian-nyanyian, atau dengan dongeng, terutama dongeng sebelum tidur yang
terkenal itu, saya kira ini gejala biasa pada sangat banyak anak di dalam
keluarga mana pun, di desa-desa maupun di kota. Sebelum bisa tidur,
kelihatannya anak-anak minta “diayun-ayun” dulu antara alam kesadaran dan alam
mimpi dalam tidur yang lelap.
Ini
memang kebiasaan mengasyikkan di dalam dunia anak-anak. Sebelum “ritus” ini
dipenuhi oleh orang tua, mereka rewel bukan main. Orang tua, sesibuk apa pun,
harus memenuhinya demi kasih sayang. Ini kebutuhan normal bagi anak-anak. Para
politisi lain lagi. Mereka memiliki kebiasaan dalam siklus lima tahunan yang
membikin mereka selalu resah. Buat politisi yang barangkali khusus dilahirkan
di muka bumi untuk menjadi “orang kalah”, mungkin ada dua pola tingkah laku
yang jelas.
Pertama,
cemas, kesal dan sibuk menggalang kekuatan, dan menyatukan sikap politik
menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesudah itu, di puncak
usahanya yang sudah maksimal, dia pasrah dan tak peduli bahwa pada akhirnya dia
kalah lagi. Ini realitas politik yang harus dihadapinya dengan sikap “orang
kalah” yang bisa menerima kekalahannya.
Kedua,
cemas, takut, dan kesal, dengan sedikit—hanya sedikit— keberanian untuk
melangkah lebih jauh. Perasaannya dikuasai kecemasan dan ketakutan, dan di
akhir perjalanan usahanya dia merasa seperti terpukul. Kekalahan yang
dihadapinya lagi tak bisa dianalisis secara jernih apa sebabnya, di bagian mana
kekurangan strategi dan langkah politiknya.
Dia tak
menemukan kesalahan pada dirinya. Kemudian dia berkesimpulan, pasti orang lain
yang salah. Banyak langkah keliru yang dilakukan orang lain. Kemudian, dia
mencari kambing hitam untuk membuat bebas yang menekan jiwanya agak lebih
ringan. Kesalahan pun lalu ditimpakan pada orang lain, dan dianggap merupakan
tanggung jawab pihak lain tersebut. Dia sendiri tidak merasa salah. Lama-lama,
di dalam hatinya, dia tak bisa menerima kekalahan demi kekalahannya secara
ikhlas.
Selama
masih ada pihak yang bisa disalahkan, selama itu pula dia berpendapat bahwa
penyebab kekalahannya ada pada orang lain. Dia bernasib buruk karena orang
lain. Kemudian, dia marah-marah hampir tanpa sebab pada siapa saja yang bisa
menjadi objek kemarahannya. Pada umumnya, orang merasa, sebaiknya menyingkir
jauh-jauh demi keselamatan dan kenyamanan yang mahal nilainya itu.
Ketika
menyadari bahwa kesepian begitu mengimpit, dan orang cenderung menjauhinya,
pelan-pelan dia membuka komunikasi ke luar kantor. Dengan telepon genggam, atau
telepon kantor, dia berbicara dengan tokoh-tokoh dari partai lain. Jika
pembicaraan pendahuluan tampak ada kemungkinan untuk beraliansi membangun
kekuatan menghadapi “pilpres”/”pilwapres”, tak peduli partai itu memiliki
“platform” yang sama atau bertentangan secara tajam, dia makin mendekat.
Menurut
penda-patnya, di dalam politik, bersatu dengan setan pun dimungkinkan. Apalagi
sekadar dengan partai-partai lain yang berbeda haluan politik dan ekonominya.
Ini tidak masalah. Tapi sebetulnya, diam-diam dia sudah lelah berbicara, dan
bakal bersatu dengan orangorang dari partai yang berbeda haluan itu.
Dia sudah
bosan. Tiap bertemu, belum bicara apa pun yang kelihatan penting, mereka sudah
menuntut posisi menteri yang penting dan strategis. Empat tokoh partai segera
menuntut posisi penting yang tak bisa ditawar-tawar. Dan sejak beberapa pemilu
yang lalu, mereka sudah saling mencakar. Ibaratnya, maaf, seperti anjing-anjing
berebut tulang. Belum tentu menang sudah berkelahi.
Bagaimana
kalau kelak menang, dan jalan keluar terbaik tak ditemukan? Haruskah mereka
saling membunuh? Ini sangat memuakkannya. Tapi apa yang memuakkan ini harus
ditempuh. Orang bilang, begitulah politik. Di dalamnya memang tak ada
kenyamanan. Apalagi kedamaian.
Syarat
utama orang partai itu harus bisa selingkuh dan menodai “trust”: yang diberikan
oleh begitu banyak komunitas pendukungnya. Partai berhaluan agama, yang gemar
bicara halal-haram tapi tingkah laku tokohnya selalu lupa mengenai prinsip
“halal-haram” itu, maka dengan sendirinya tak mustahil partainya bersekutu
dengan partai lain yang bertentangan dengan partainya. Mereka itu “doso patang
perkoro”, atau mengidap empat jenis dosa. Satu, dosa pada prinsip dan
nilai-nilainya sendiri.
Dua, dosa
pada partai, karena partai diperkosa untuk menyatu dengan apa yang tak mungkin.
Tiga, dosa pada basis pendukungnya, yang telah menaruh harapan begitu tinggi
untuk memanggul perjuangan kerakyatan yang mereka dukung tiba-tiba beralih
haluan. Empat, dosa pada agama, dan pada Tuhan. Boleh jadi Tuhan belum tentu
peduli, dan bahkan mungkin sama sekali tak peduli namanya telah dicatut.
Namun,
Tuhan peduli atau tidak kitalah yang harus tahu, dan mulai mengambil tanggung
jawab. Kalau pada akhirnya hanya begitu, mengapa ada agama, yang dibawa-bawa ke
dalam partai? Mengapa agama, dan Tuhan dibawa-bawa, kalau hanya untuk selingkuh
diam-diam, dalam kegelapan tatanan partai yang tak punya tatanan? Ini perkara mencemaskan,
dan membikin orang partai stres setiap lima tahun sekali, ketika keharusan
menempuh aliansi ini mereka lalui. Orang partai juga ada yang baik, dan tetap
melihat kebaikan sebagai kiblat. Di dalam partai agama ada juga orang yang
tetap bicara agama.
Tapi
mereka kalah suara, dan kemudian terpinggirkan. Orang-orang yang terpinggirkan
ini stres berat. Yang meminggirkan mereka, sesudah akhirnya kalah, juga stres.
Kelihatannya, stres lima tahunan itu tak bisa mereka hindari. []
KORAN
SINDO, 05 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar