Mesin Harapan Petani Made in
Mlilir
Senin, 19 Mei 2014
Saya sampai harus belajar dari
buaya. Itu kata Agus Zamroni, pengusaha kecil dari Desa Mlilir, Ponorogo. Dia
seorang sarjana hukum. Bukan sarjana teknik. Juga bukan sarjana pertanian.
Tapi, kegigihannya menciptakan mesin pemanen padi tidak ada duanya.
Sebagai
orang desa, Agus hidup dari pertanian. Khususnya padi. Sebagai petani besar,
Agus merasakan sulitnya mencari tenaga untuk panen. Kian tahun kian sangat
sulitnya. Kesulitan yang sama sebenarnya juga dialami petani tebu: kian sulit
cari tenaga penebang tebu.
Sebagai
generasi muda, Agus terus mempelajari mesin-mesin panen buatan Jepang dan
Tiongkok. “Masak bikin begini saja tidak bisa,” pikirnya.
Agus
terus mencoba dan mencoba. Saya menyemangatinya dengan iming-iming bahwa
mesinnya itu, kalau sudah jadi, akan dibeli BUMN. Saya yakin dia sangat serius.
Usaha taninya serius.
Usahanya
sebagai penyalur pupuk juga serius. Orang yang sudah membuktikan bisa serius
dalam menangani satu bidang juga akan serius di bidang berikutnya. Karena itu,
saya percaya dia tidak main-main.
Dan
ternyata benar. Agus berhasil. Lahirlah mesin panen generasi pertama. Dia beri
merek Zaaga (diambil dari namanya).
Mesin itu
benar-benar bisa digunakan. Tentu masih banyak kekurangan. Masih banyak gabah
yang berceceran di luar karung penampung.
Tapi,
Agus tidak menyerah. Penyempurnaan terus dilakukan. Saya terus menjanjikan
bahwa BUMN akan membeli hasilnya. Lahirlah generasi kedua. Sudah bisa dibilang
sangat baik. BUMN membelinya. Dihadiahkan kepada kelompok tani.
Hasilnya
bagus. Banyak yang tertarik. Agus sendiri kian percaya diri. Agus berani
mengundang saya untuk melihat penggunaan mesin Zaaga generasi kedua itu.
Maka,
pada musim panen yang lalu saya memenuhi permintaannya untuk pergi ke Mlilir.
Saya berdebar-debar. Ngeri-ngeri sedap, istilah politisinya. Benarkah mesin
panen ciptaan anak bangsa itu bisa berfungsi di lapangan.
Ternyata
benar-benar berhasil!
Tentu
saya sangat senang. Kelompok-kelompok tani juga mulai percaya. Mesin itu
terjual laris. Sehari Agus bisa memproduksi dua unit. Luar biasa. Pabriknya
yang berada di Mlilir menjadi sangat sibuk.
Sampailah
pada suatu pagi yang mengagetkan Agus kedatangan tamu yang membawa beking. Tamu
itu marah-marah berat. Agus akan dihajar. Agus dianggap menipu. Mesin panen
itu, katanya, tidak bisa digunakan.
Setelah
terjadi dialog, diketahuilah bahwa panen itu dilakukan di sawah yang berlumpur
dalam. Mesinnya tidak bisa jalan. Rodanya ambles.
Agus
merasa kiamat. Setiap menceritakan itu, Agus berlinang air mata. Dia merasa
terpukul. Dia sanggupi mengganti uang sang tamu.
Tapi,
kegalauannya bukan di soal ganti rugi. Melainkan di kegagalannya itu sendiri.
Saat berlinang air mata itulah pikirannya tiba-tiba melayang ke buaya. Kok
tangan buaya tidak tenggelam saat merayap di medan berlumpur.
Agus
lantas pergi ke berbagai tempat yang ada buayanya. Dia amati. Sebagai orang
yang bukan berlatar teknik mesin (tapi dia pernah kursus teknik di bengkel
Mercedes-Benz), Agus mendapat ide dari buaya itu.
Maka, dia
rancang roda yang berbeda. Yang jarak antargigi lebih lebar. Berhasil. Inilah
mesin panen generasi ketiga made in Mlilir.
Minggu
lalu saya pergi ke sana lagi. Melihat pabriknya. Juga melihat roda untuk Zaaga
generasi baru itu. Teknologi panen sudah bisa dikuasai anak negeri sendiri.
Tentu saya juga berharap produsen lainnya, seperti Futata, terus mengembangkan
diri.
Saya
masih titip satu misi lagi untuk Agus: ciptakan mesin tanam padi. Pesan yang
sama juga saya sampaikan saat berdialog dengan mahasiswa Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya Malang Sabtu lalu.
“Siapa
yang berkeinginan menciptakan mesin tanam?” tanya saya di depan sekitar seribu
mahasiswa.
Mesin
tanam sangat penting karena saat ini mencari buruh tanam juga amat sulit.
Jadwal tanam bisa mundur sampai satu minggu gara-gara belum mendapat buruh
tanam. Itu sangat mengganggu produksi beras.
Lima
mahasiswa angkat tangan. Cukup banyak. Satu per satu saya minta untuk
menceritakan gagasan masing-masing.
Seorang
mahasiswi menceritakannya sambil menahan tangis. “Saya sangat ingin
menciptakannya demi bapak saya,” katanya.
“Bapak
saya tiap hari dihina nenek saya karena bapak saya hanya bisa bertani,”
katanya. Air matanya tak terbendung lagi. Satu ruangan besar ikut terharu.
Tentu
mereka akan bisa. Agus yang pendidikan dasarnya madrasah ibtidaiyah dan
pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun saja bisa.
Asal mau, kita bisa! (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar