Kita Ini
Hanya Boneka Belaka
Oleh:
Mohamad Sobary
Pak
Gepeto menjadi terkenal di seluruh dunia karena dia membuat boneka dari kayu
yang panjang hidungnya bukan main, lebih panjang dari hidung Mbah Petruk yang
kita kenal. Boneka ciptaan Pak Gepeto itu diberi nama Pinokio. Anak-anak di
seluruh dunia tahu siapa Pinokio.
Dia
boneka yang tiba-tiba hidup. Popularitasnya membuat Pak Gepeto bisa
numpangterkenal. Dalamduniasastradandunia penciptaan pada umumnya, tak terlalu
aneh bila sang pencipta kalah terkenal dibandingkan ciptaannya. Hasil karya Pak
Gepeto ini berkebalikan dengan idiom Jawa karena boneka ini menjadi manusia,
sedangkan dalam idiom Jawa, manusia bisa ”dibikin” menjadi sekadar boneka.
Orang Jawa yang kecerdasan batiniahnya tumpul sehingga dia menjadi bagaikan
boneka tanpa perasaan bisa membuat orang menyebutnya––dengan rasa marah––
”lempung kepanjingan nyowo”, boneka dari tanah liat yang bernyawa tapi tak
memiliki perasaan.
Makin
lama saya percaya, semua politikus kita, hampir tanpa kecuali, hanyalah boneka.
Ada yang menjadi boneka bagi ambisi politiknya, ada yang menjadi boneka bagi
nafsunya untuk terkenal, ada lagi yang menjadi boneka karena ingin menjadi
orang kaya, syukur bila bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. Tapi ada juga
yang menjadi boneka bagi hasrat yang menggebu-gebu untuk menjadi orang
terpandang dan ada pula yang menjadi boneka karena rasa penasaran yang
menyalanyala: benarkah dia tak punya sedikit pun nasib baik untuk menjadi
presiden?
Terhadap
ambisi politik, nafsu untuk terkenal, keinginan untuk kaya, hasrat menjadi
orang terpandang maupun rasa penasaran yang menggelisahkan, kita sering tak
berdaya. Kita seperti diombang-ambingkantakmenentu. Denganbegitu kita sering
tidak menjadi tuan bagi diri kita sendiri, melainkan menjadi hamba. Kita seolah
menjadi mainan, seperti boneka. Ironi hidup sering agak memalukan: sebenarnya
kita sudah menjadi budak, tapi kita merasa sebagai tuan. Sering kita masih
merasa bahwa kita telah berada di suatu wilayah keabadian, padahal sebenarnya
kita sudah nyungsep di dalam comberan kefanaan yang hina.
Tak
mengherankan bila di sekitar kita ini selalu ada saja boneka yang tak menyadari
bahwa dirinya hanyalah boneka. Boneka macam ini pun bisa saja dengan pongah
menuding orang lain sebagai boneka. Tahukah kita ini jenis boneka macam apa?
Aliansi politik mengubah manusia, politisi, menjadi boneka yang tak punya
pilihan bebas. Ini jenis boneka demi ambisi politik, nafsu untuk terkenal,
keinginan menjadi kaya, hasrat untuk menjadi terpandang, sekaligus menjadi
boneka bagi rasa penasaran dalam memandang nasib pribadinya, mengapa tiap saat
selalu kalah.
Apakah
dirinya khusus dicipta untuk menjadi orang kalahan? Apa pun kategorinya, saya
kira, boneka ya boneka. Dia telah mereduksi kemuliaan-kemuliaan dan keagungan
sendiri. Dia bukan lagi individu yang mandiri dan otonom. Tapi mengapa di dunia
ini ada saja orang yang bersikap seperti maling berteriak maling? Etika
keagamaan dan politik itu intinya mengajak kita menghormati orang lain.
Politisi yang terhormat memenuhi aturan etis itu. Di mata politisi yang terhormat,
lawan politik pun dihormati. Itu dulu, ketika Indonesia belum bangkrut secara
politik.
Kini
politisi besar sudah pergi dan tak pernah kembali. Apa yang sekarang tersisa
hanya politisi kecil. Kalau sekarang ada yang kelihatan besar, mungkin hanya
suaranya, ambisinya, dan segenap keserakahannya. *** Saya bukan politisi, bukan
orang partai, bukan pula suatu organ partai, dan bukan bagian apa pun dari apa
yang disebut kampanye partai. Tapi sikap politik saya memihak secara tulus pada
kebenaran yang saya yakini. Dengan begitu jelas, sikap ini tidak meminta
bayaran uang atau hadiah jabatan karena ketulusan tak bisa dinilai dengan harta
dunia dalam corak apa pun.
Juga
tidak ditukar dengan puji-pujian dan tepuk tangan yang belum tentu tak
menjebak. Pendirian politik ini boleh jadi juga merupakan gambaran bahwa saya
pun hanya boneka. Tapi saya boneka bagi aspirasi kultural yang berkembang sejak
lama, yang mendambakan agar negeri ini dipimpin lagi oleh orang yang siap untuk
mengabdi pada kesejahteraan bangsa, khususnya kaum miskin yang hingga kini
belum tahu bagaimana rasanya menjadi tidak miskin. Jika ada orang menilai sikap
politik ini sebagai kampanye, ada baiknya ditegaskan, pemihakan ini lebih dalam
dari sekadar kampanye yang kehilangan kiblat ideologis, yang sibuk menjelekkan
pihak lain.
Sebagai
warga negara saya sedang memainkan ideologi kerakyatan dan sikap yang jelas
membela agar ideologi itu diterapkan dalam tindakan politik yang jelas. Apa
salahnya bila ada politisi, yang diberi mandat oleh ketua partai atau suatu
keputusan musyawarah partai, menjadi wakil suara nilai-nilai, suara ideologi,
dan representasi perjuangan partainya? Jarang orang bersedia menjadi sejenis
lilin yang siap menerangi kegelapan di sekitarnya dengan risiko punah di
”sini”, tapi abadi di ”sana”? Hanya politisi besar yang siap menjalani casting
peran seperti itu.
Hanya
partai yang masih agak waras yang masih ingat akan perlunya mengatur peran ini,
peran itu, agar ideologi partai itu tak membekudanmenjadibatuyang bisu terhadap
jerit kaum miskin dan rakyat pada umumnya, yang tersia-sia dalam masa
kepemimpinan yang tak peduli pada negara, bangsa, dan rakyat sendiri. Mulialah
boneka yang berperan demi kesejahteraan rakyatnya. Mulialah boneka yang
menunjukkan bahwa dirinya masih merupakan wujud tersambungnya idealisme masa
lalu, yang agung dan besar, dengan kehidupan politik partai hari ini. Boneka
seperti ini berapa harganya? Ini pun tak diperjualbelikan.
Di dunia
politik, masih ada idealisme yang mengambang di depan hidung, yang bisa
diterjemahkan menjadi apa yang disebut ”praksis pembebasan” untuk bangsa. Duit
tak selalu relevan dalam perjuangan sejati seperti itu. Ini baru menjadi boneka
untuk partai, untuk golongan, untuk bangsa. Nabi-nabi, para rasul, dan
orang-orang suci menjadi boneka Tuhan untuk menunjukkan bahwa hidup ini berada
di bawah kendali kepemimpinan ”langit” yang agung dan mereka semua, yang
mulia-mulia tadi, sungkem,
sujud
dengan jiwa taat, sendiko dawuh, dan tak merasa hina menjadi boneka Tuhan.
Jelas bahwa boneka itu barang agung dan mulia dan bukan kata benda, bukan kata
jadian, bukan pula kata jadi-jadian. Boneka ini kata kerja, yang mengabdi, tapi
memilih pengabdian mulia bagi kemuliaan manusia, negeri, dan warganya. Siapa
mau menghina boneka sesudah tahu bahwa kita ini hakikatnya hanya boneka belaka?
[]
KORAN
SINDO, 12 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar