Demokrasi
Dikorupsi
Oleh:
Bambang Widjojanto
Pemilu
legislatif dipastikan akan usai sepenuhnya. Kini KPU tengah menyelesaikan
penghitungan jumlah suara. Suara sumbang kian santer terucap karena adanya
sinyalemen soal kecurangan pada pemilu.
Yang
sangat mengkhawatirkan, kecurangan itu dilakukan sebagian peserta dan
penyelenggara pemilu yang sebagiannya juga melibatkan pemilih. Lebih-lebih bila
kecurangan itu didasarkan atas sikap dan perilaku koruptif dan kolusif. Semua
itu dipastikan kelak berujung pada kualitas legitimasi hasil pemilu dan
akhirnya akan berakibat pada kapasitas kinerja dan spiritualitas para
legislator terpilih.
Ada
keniscayaan, tidak ada demokrasi beserta prosesnya yang tidak memerlukan
partai, parlemen, anggota parlemen, dan proses pemilihan legislatif. Pokok
substansi masalahnya adalah pertama, apakah ada partai yang berkhidmat secara
amanah pada maksud kehadirannya?
Kedua,
seberapa banyak anggota parlemen yang memahami makna parlare secara utuh, tidak
sekadar ”representasi atau hak untuk bicara”, tetapi sungguh-sungguh
memperjuangkan kepentingan fundamental rakyat pada daerah pemilihannya.
Ketiga,
adakah proses timbal balik yang diakomodasi oleh sistem pemilihan yang
akuntabel di mana pemilih punya pengetahuan dan kesadaran atas siapa yang layak
dipilihnya serta si calon legislator memang pihak yang punya kompetensi,
”kewarasan”, taklik pada alasan dan tujuan untuk apa dia dipilih.
Kejujuran
dan keberanian
Hal
penting lain yang diperlukan dalam berdemokrasi, apakah kita mempunyai
kejujuran dan keberanian menentukan sejauh mana level demokratisasi yang kini
tengah ditempuh. Ini penting dilakukan agar kita dapat menentukan langkah dan
strategi untuk berupaya terus-menerus memperbaiki bahkan meningkatkan kualitas
demokratisasi Indonesia.
Korupsi
harus dimaknai sebagaimana arti sejatinya, sesuai dengan asal katanya,
corruptio, yang secara umum dimaknai sebagai suatu tindakan yang bersifat
buruk, curang, busuk, dan memutar balik. Ada cukup banyak studi dan tulisan
yang mengkaji demokrasi dan korupsi, tetapi sedikit sekali yang memberikan
fokus pada korupsi di dalam proses demokrasi itu sendiri. Definisi minimalis
mengenai demokrasi adalah suatu sistem yang dilembagakan di mana rakyat
mengekspresikan preferensinya melalui pemilihan umum (Shumpeter, 1950 dalam
Working Paper, Does Democracy Reduce Corruption?, Ivar Kolstad & Arne Wiig,
2011, CHR Institute).
Korupsi
demokrasi acap kali terjadi pada fase awal pelembagaan dan konsolidasi
demokrasi. Salah satu ciri dari korupsi demokrasi adalah tindakan exclusion
dari ”penguasa” atas keterlibatan publik, kepentingan, dan norma yang ada dalam
masyarakat dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Setidaknya, ada
tiga jenis korupsi yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia bila
menggunakan makna korupsi tersebut di atas.
Pertama,
korupsi di dalam partai. Partai sebagai suatu instrumen penting dalam proses
demokrasi mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk menentukan kualitas
demokratisasi. Tingkat kualitas koruptif dan kolusif partai dalam pemilu dapat
dilihat pada tahap awal dari sejauh mana partai memiliki indikator, sistem yang
transparan dan akuntabel dalam menentukan siapa yang layak dicalonkan, di mana
daerah pemilihannya, serta urutan peringkat nomor urut calon.
Untuk
itu, partai dinyatakan tidak korupsi bilamana penguasa, elite partai, dan
penggenggam otoritas penentu daftar calon dan daerah pemilihan mempunyai
sistem, kesadaran, dan kemampuan membebaskan dirinya dari sikap dan perilaku
nepotistik, kolusif, favoritisme, dan politik uang di dalam menentukan calon
seperti disebut di atas. Bila hal itu tidak dilakukan, penguasa partai
sesungguhnya telah secara sengaja membajak proses demokrasi di dalam sistem dan
tubuh partainya sendiri.
Kedua,
korupsi dalam penyelenggaraan pemilu. Sistem proporsional terbuka dipakai
sebagai sistem pemilihan legislatif di Indonesia. Sistem ini, faktanya,
menyebabkan biaya politik menjadi tinggi dan kompetisi sangat terbuka, tetapi
tidak disertai dengan mekanisme kontrol yang kuat dan ketat atas kontestasi
sehingga dapat menyebabkan para calon dari satu partai dalam suatu daerah
pemilihan melakukan apa saja untuk memenangkan dirinya.
Ketika
suatu sistem sudah diketahui kelemahannya bahkan akibat yang ditimbulkannya,
tetapi tetap terus dibiarkan dan secara sengaja ”dipelihara” keberlanjutannya
karena menguntungkan kepentingan tertentu yang justru merugikan kepentingan
kemaslahatan publik, sesungguhnya kita telah sengaja dan bersama-sama melakukan
tindak keburukan dan kecurangan.
Semoga
saja akal sehat dan kesadaran untuk membangun sistem pemilu yang lebih baik
segera dilakukan karena bila tidak, sesungguhnya, demokrasi telah dikorupsi.
Lebih-lebih bila sistem pemilihan sebagai instrumen demokrasi telah secara
sadar dan sengaja dibuat ternyata tidak menghasilkan kualitas outcome yang
menghasilkan kemaslahatan bagi proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu,
sebelum ada perbaikan sistem, tidaklah bisa disalahkan bila ada calon
legislator yang ”banyak bicara dan omong kosong”, tidak ada prestasinya, dan
bahkan diindikasikan berperilaku koruptif ternyata tetap terpilih lagi dan
orang yang baik, berdedikasi, serta relatif bersih malah tersingkir dan tidak
terpilih.
Ketiga,
korupsi kewenangan konstitusional. Yang agak mengkhawatirkan sekali, di tengah
fakta bahwa anggota parlemen dihasilkan dari sistem yang masih ”bermasalah” di
atas, ada intensi yang tak terbantahkan. Terjadi apa yang disebut sebagai
tendensi legislative heavy. Ada cukup banyak kewenangan eksekutif yang ”diambil
alih” parlemen yang berpotensi menyebabkan terjadinya absolutisme kekuasaan di
tangan legislatif.
Tiada
kewenangan konstitusional
Lihat
saja, misalnya, perekrutan pejabat publik dan penyelenggara negara juga
dilakukan oleh parlemen kendati tidak ada kewenangan konstitusional yang secara
eksplisit memberikan mandat itu. Padahal, sudah ada panitia seleksi yang justru
telah melibatkan unsur masyarakat dan mendorong keterlibatan publik lebih luas
untuk terlibat dalam perekrutan itu. Kita pernah mempunyai pengalaman ketika
terjadi pemusatan kekuasaan atau executive heavy yang pada akhirnya menjadi
cikal bakal perilaku koruptif dan kolusif dari kekuasaan.
Semoga
saja kita punya keberanian menyatakan bahwa demokrasi telah dikorupsi. Lalu,
yang jauh lebih penting lagi, ada kesadaran dan upaya strategis melakukan
perbaikan yang dimulai dengan kajian menentukan di titik dan tahap mana saja
tingkat kerawanan perilaku koruptif dan kolusif berpotensi terjadi dalam proses
demokrasi. Juga penting untuk terus menghidupkan optimisme bahwa selalu ada
ruang dan kesempatan bisa membangun kemaslahatan kendati di jalan terjal dan
berliku sekalipun. []
KOMPAS,
14 Mei 2014
Bambang Widjojanto ; Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar