Selasa, 03 Juni 2014

BW: Demokrasi Dikorupsi



Demokrasi Dikorupsi
Oleh: Bambang Widjojanto

Pemilu legislatif dipastikan akan usai sepenuhnya. Kini KPU tengah menyelesaikan penghitungan jumlah suara. Suara sumbang kian santer terucap karena adanya sinyalemen soal kecurangan pada pemilu.

Yang sangat mengkhawatirkan, kecurangan itu dilakukan sebagian peserta dan penyelenggara pemilu yang sebagiannya juga melibatkan pemilih. Lebih-lebih bila kecurangan itu didasarkan atas sikap dan perilaku koruptif dan kolusif. Semua itu dipastikan kelak berujung pada kualitas legitimasi hasil pemilu dan akhirnya akan berakibat pada kapasitas kinerja dan spiritualitas para legislator terpilih.

Ada keniscayaan, tidak ada demokrasi beserta prosesnya yang tidak memerlukan partai, parlemen, anggota parlemen, dan proses pemilihan legislatif. Pokok substansi masalahnya adalah pertama, apakah ada partai yang berkhidmat secara amanah pada maksud kehadirannya?

Kedua, seberapa banyak anggota parlemen yang memahami makna parlare secara utuh, tidak sekadar ”representasi atau hak untuk bicara”, tetapi sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan fundamental rakyat pada daerah pemilihannya.

Ketiga, adakah proses timbal balik yang diakomodasi oleh sistem pemilihan yang akuntabel di mana pemilih punya pengetahuan dan kesadaran atas siapa yang layak dipilihnya serta si calon legislator memang pihak yang punya kompetensi, ”kewarasan”, taklik pada alasan dan tujuan untuk apa dia dipilih.

Kejujuran dan keberanian

Hal penting lain yang diperlukan dalam berdemokrasi, apakah kita mempunyai kejujuran dan keberanian menentukan sejauh mana level demokratisasi yang kini tengah ditempuh. Ini penting dilakukan agar kita dapat menentukan langkah dan strategi untuk berupaya terus-menerus memperbaiki bahkan meningkatkan kualitas demokratisasi Indonesia.

Korupsi harus dimaknai sebagaimana arti sejatinya, sesuai dengan asal katanya, corruptio, yang secara umum dimaknai sebagai suatu tindakan yang bersifat buruk, curang, busuk, dan memutar balik. Ada cukup banyak studi dan tulisan yang mengkaji demokrasi dan korupsi, tetapi sedikit sekali yang memberikan fokus pada korupsi di dalam proses demokrasi itu sendiri. Definisi minimalis mengenai demokrasi adalah suatu sistem yang dilembagakan di mana rakyat mengekspresikan preferensinya melalui pemilihan umum (Shumpeter, 1950 dalam Working Paper, Does Democracy Reduce Corruption?, Ivar Kolstad & Arne Wiig, 2011, CHR Institute).

Korupsi demokrasi acap kali terjadi pada fase awal pelembagaan dan konsolidasi demokrasi. Salah satu ciri dari korupsi demokrasi adalah tindakan exclusion dari ”penguasa” atas keterlibatan publik, kepentingan, dan norma yang ada dalam masyarakat dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Setidaknya, ada tiga jenis korupsi yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia bila menggunakan makna korupsi tersebut di atas.

Pertama, korupsi di dalam partai. Partai sebagai suatu instrumen penting dalam proses demokrasi mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk menentukan kualitas demokratisasi. Tingkat kualitas koruptif dan kolusif partai dalam pemilu dapat dilihat pada tahap awal dari sejauh mana partai memiliki indikator, sistem yang transparan dan akuntabel dalam menentukan siapa yang layak dicalonkan, di mana daerah pemilihannya, serta urutan peringkat nomor urut calon.

Untuk itu, partai dinyatakan tidak korupsi bilamana penguasa, elite partai, dan penggenggam otoritas penentu daftar calon dan daerah pemilihan mempunyai sistem, kesadaran, dan kemampuan membebaskan dirinya dari sikap dan perilaku nepotistik, kolusif, favoritisme, dan politik uang di dalam menentukan calon seperti disebut di atas. Bila hal itu tidak dilakukan, penguasa partai sesungguhnya telah secara sengaja membajak proses demokrasi di dalam sistem dan tubuh partainya sendiri.

Kedua, korupsi dalam penyelenggaraan pemilu. Sistem proporsional terbuka dipakai sebagai sistem pemilihan legislatif di Indonesia. Sistem ini, faktanya, menyebabkan biaya politik menjadi tinggi dan kompetisi sangat terbuka, tetapi tidak disertai dengan mekanisme kontrol yang kuat dan ketat atas kontestasi sehingga dapat menyebabkan para calon dari satu partai dalam suatu daerah pemilihan melakukan apa saja untuk memenangkan dirinya.

Ketika suatu sistem sudah diketahui kelemahannya bahkan akibat yang ditimbulkannya, tetapi tetap terus dibiarkan dan secara sengaja ”dipelihara” keberlanjutannya karena menguntungkan kepentingan tertentu yang justru merugikan kepentingan kemaslahatan publik, sesungguhnya kita telah sengaja dan bersama-sama melakukan tindak keburukan dan kecurangan.

Semoga saja akal sehat dan kesadaran untuk membangun sistem pemilu yang lebih baik segera dilakukan karena bila tidak, sesungguhnya, demokrasi telah dikorupsi. Lebih-lebih bila sistem pemilihan sebagai instrumen demokrasi telah secara sadar dan sengaja dibuat ternyata tidak menghasilkan kualitas outcome yang menghasilkan kemaslahatan bagi proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum ada perbaikan sistem, tidaklah bisa disalahkan bila ada calon legislator yang ”banyak bicara dan omong kosong”, tidak ada prestasinya, dan bahkan diindikasikan berperilaku koruptif ternyata tetap terpilih lagi dan orang yang baik, berdedikasi, serta relatif bersih malah tersingkir dan tidak terpilih.

Ketiga, korupsi kewenangan konstitusional. Yang agak mengkhawatirkan sekali, di tengah fakta bahwa anggota parlemen dihasilkan dari sistem yang masih ”bermasalah” di atas, ada intensi yang tak terbantahkan. Terjadi apa yang disebut sebagai tendensi legislative heavy. Ada cukup banyak kewenangan eksekutif yang ”diambil alih” parlemen yang berpotensi menyebabkan terjadinya absolutisme kekuasaan di tangan legislatif.

Tiada kewenangan konstitusional

Lihat saja, misalnya, perekrutan pejabat publik dan penyelenggara negara juga dilakukan oleh parlemen kendati tidak ada kewenangan konstitusional yang secara eksplisit memberikan mandat itu. Padahal, sudah ada panitia seleksi yang justru telah melibatkan unsur masyarakat dan mendorong keterlibatan publik lebih luas untuk terlibat dalam perekrutan itu. Kita pernah mempunyai pengalaman ketika terjadi pemusatan kekuasaan atau executive heavy yang pada akhirnya menjadi cikal bakal perilaku koruptif dan kolusif dari kekuasaan.

Semoga saja kita punya keberanian menyatakan bahwa demokrasi telah dikorupsi. Lalu, yang jauh lebih penting lagi, ada kesadaran dan upaya strategis melakukan perbaikan yang dimulai dengan kajian menentukan di titik dan tahap mana saja tingkat kerawanan perilaku koruptif dan kolusif berpotensi terjadi dalam proses demokrasi. Juga penting untuk terus menghidupkan optimisme bahwa selalu ada ruang dan kesempatan bisa membangun kemaslahatan kendati di jalan terjal dan berliku sekalipun. []

KOMPAS, 14 Mei 2014
Bambang Widjojanto ; Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar