Revolusi
Doa
Oleh:
Sindhunata
KITA
memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral
bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah
Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin
banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang
baik.
Hamzah
Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya
masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini
kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam
maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema ”Prayer, Power, and
Politics” dalam jurnal Interpretation, Januari 2014.
Para
antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural,
ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan
kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena
pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga
memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan
aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan.
Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di
Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh
Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari
penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis
yang amat luas.
Doa bisa
berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat,
sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai
teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati
luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya,
juga sebagai jalan menentang kekuasaan represif.
Kekuasaan
sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk
membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan kekuasaan
dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan jalan untuk
membangun hidup, tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua
berarti, doa tak pernah bisa dilepaskan dari etika.
Radikalitas
doa
Lex
orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita
beriman dan percaya. Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan
hukum-hukum iman sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti
dipaparkan Nico Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas
Stellenbosch, semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas
menjadi lex orandi, lex credendi, dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana kita
berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana
kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.
Di Afrika
Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi ambivalen.
Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim represif, doa
dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk melestarikan penindasan.
Karena itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.
Maka, doa
harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan untuk
meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus bisa
menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di sini,
seperti diajakkan filsuf Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu
memahami kesucian itu bukan semata-mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi
juga dari kategori keadilan.
Kata
Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan
keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan
tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam
masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan
dalam keutuhan-Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak
mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan
mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru yang
kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan,
masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan
keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.
Doa
Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu.
”Datanglah kerajaan-Mu”, itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami,
seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan,
William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa
revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan
matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan baru
di dunia. Dengan mendoakan ”datanglah kerajaan-Mu”, orang menatap berakhirnya
zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama, seperti diajakkan Yesus,
bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di
mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai. Mendoakan ”kedatangan
kerajaan Tuhan” adalah melantunkan doa melawan pemerintah yang tidak adil.
Melawan
kemungkaran
Jelas doa
pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan keadilan.
Menurut Mun’im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi dan peneliti
studi Islam pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa macam ini juga
menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana Islam itu,
tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan tata cara doa sebagai
praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa membawa transformasi
moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang keras anggapan itu
dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa Islam.
Sirry dan
Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran 29:45:
”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Menurut
kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam,
raison d’ĂȘtre dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan,
ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak kisah
dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada kisah di
mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh, pemuda itu
tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi Muhammad hanya
menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: ”Doanya akan mencegah dia untuk
melakukan perbuatan yang tidak pantas.” Nabi juga pernah ditanya, ”Apakah
pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi menjadi pencuri
di malam hari?” Nabi kembali menjawab, ”Doanya akan menahan dia untuk berbuat
yang tidak baik.”
Tampaknya
Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah oleh
doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat tidak
dengan sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran
itu baru bisa dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar, penuh komitmen,
kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan bahwa Allah akan membantu manusia dalam
memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan.
Kata ahli
tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan
komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat
sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan
kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata, orang
yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan kesalahan tak akan
memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh dari-Nya.
Menegur
pemimpin
Hamzah
Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi
moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga
gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita
juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh,
setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada hari-hari raya agama umat
berbondong-bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi mengapa korupsi merajalela,
meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.
Mengapa
doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat
mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena
terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa. Doa
melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan permasalahan
masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang steril terhadap masalah sosial.
Dalam doa
macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan kepedulian
sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik, seakan-akan kita
sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin memberantas kemungkaran
yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita kekuatan dan inspirasi
untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang,
lebih-lebih mereka yang miskin dan sederhana.
Mengapa
kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat pribadi.
Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada para
pemuka umat, pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari
mereka-mereka itulah kita belajar berdoa. Karena itu merekalah yang paling
berkewajiban mengajari kita bagaimana berdoa dengan benar.
Misalnya,
dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di
mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari
masalah kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan
menderita. Kalau itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa
itu diam-diam sedang menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci
terhadap kekuatan doa yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan
mendobraknya. Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi,
bercita-cita mengadakan revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin
efektif jika disertai revolusi doa. Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari
sangkar keamanan dan kemapanan individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk
membenarkan kelompok-kelompok tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap
kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan
kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati warga negara.
Untuk
itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin
bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim
di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian
dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin menyerukan doa dimulai, umat
berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama, tetapi mereka berdiri di
belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan mereka. Imam itu pemimpin.
Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib menegurnya. Itulah
demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka salah
berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan inilah sebabnya
mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni karena para pemimpin
kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan untuk melayani rakyat dan
tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa dan mental merekalah
yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa kemungkaran yang harus
dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental busuk, egois, dan korup para
pemimpin bangsa kita sendiri. []
KOMPAS,
13 Mei 2014
Sindhunata ; Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar