Elite
Partai Bukan “Elite”
Oleh:
Mohamad Sobary
Dalam
kajian sosiologi ada ungkapan the rulling elite, merujuk suatu kelompok
kecil penguasa di suatu nasyarakat atau suatu negara. Dalam pengertian ini,
konsep “elite” memang berarti “elite”.
Ditinjau
dari berbagai sudut kehidupan, misalnya tingkat pendidikan, kemampuan berpikir,
keunggulan dalam leadership, keterampilan dalam tata pemerintahan, kecanggihan
mengelola birokrasi, maupun cara dan tingkat hidup sosial, ekonomi maupun
politik kelompok tadi, kelompok tersebut memperlihatkan keunggulan yang tak
dimiliki kelompok-kelompok lain.
Apabila
kita berbicara mengenai kualitas moral, kelompok “elite” dalam banyak hal telah
lebih teruji dibandingkan kelompok-kelompok lain.
Lebih
lagi bila merujuk secara khusus mengenai kapasitas moral kalangan “elite” di
masyarakat tradisional yang kehidupannya berdasarkan tatanan komunal. Di
masyarakat ini, kualitas moral kaum “elite”-nya jelas sangat hebat dan tak
tertandingi pihak-pihak lain yang merupakan warga biasa di masyarakat tadi.
Ringkasnya,
kualitas mereka dalam berbagai ukuran melampaui—sering jauh sekali—kemampuan
mayoritas warga masyarakat umumnya. Di sini, “elite” ya “elite”, tak ada suatu
golongan mana pun yang menandinginya.
Di
masyarakat, sering ditemukan media menyebut ungkapan elite partai. Makna
“elite” di sini tidak sama dengan makna the ruling elite atau “pasukan elite”.
Orang partai rata-rata tak berkeunggulan yang demikian kompleks dan mendalam
dibandingkan mereka yang bukan berasal dari suatu partai.
Tingkat
pendidikan mereka tak lebih dari yang dimiliki masyarakat. Banyak di antara
warga terdiri atas mereka yang justru sangat elite dan mencapai tahapan
tertinggi di bidang tersebut.
Kaum
intelektual, golongan terpelajar, para profesor, dan para ahli dalam berbagai
bidang keilmuan, mana bisa disamai tingkat pendidikannya dengan orang partai
pada umumnya? Bahkan kita tahu, banyak orang partai yang tampak compang-camping
bila bicara mengenai pendidikan.
Kapasitas
leadership mereka sering bukan apa-apa. Umumnya, mereka hanya pandai berbicara,
tapi dalam urusan leadership” mereka tak selalu memiliki kapasitas lebih
dibandingkan mereka yang tak berasal dari partai.
Apalagi,
orang partai yang tak memiliki latar belakang organisasi sosial keagamaan, dengan
sendirinya juga tak pernah belajar mengenai leadership dan kepemimpinan umat.
Pengalaman
dan kapasitas dalam mengelola birokrasi pun tak usah ditanyakan. Mereka sering
bukan apa-apa dibandingkan kalangan lain, yang bahkan sering serbalebih intens
dan lebih luas pengalaman maupun pengetahuan teknisnya di bidang birokrasi.
Bagaimana
kelebihan dalam sisi kehidupan moral mereka? Moral apa? Banyak orang partai
yang hidupnya tak pantas dijadikan suriteladan. Orang dari partai agama
sekalipun, yang tiap saat sok saleh dan kadang sok suci, nyatanya bukan contoh
yang patut dianggap pemimpin.
Orang
dari partai agama mencuri uang rakyat dan hidup mewah, mau menjadi contoh macam
apa? Saya kira, ini contoh terbaik bila kita bicara mengenai kerusakan moral, dekadensi
moral, dan kebobrokan moral.
Dengan
ukuran-ukuran di atas, mudah diperlihatkan bahwa elite partai itu bukan “elite”
sama sekali. Di partai-partai politik, kita temukan kualitas manusia yang—mohon
maaf beribu maaf—rendah dan sangat rendah.
Hilang
Idealisme
Ada hal
lain yang patut dibicarakan di sini, yaitu idealisme. Ada orang partai yang
mulanya diterima menjadi anggota suatu partai karena pernah disebut idealis.
Tapi begitu berada di partai, idealismenya rontok berkeping-keping.
Orang yang
ketika mahasiswa kelihatan radikal dan mungkin tak terlalu sengaja berani
berseberangan dengan pemerintah, kelihatannya begitu mentereng. Orang seperti
ini dianggap baik oleh partai.
Tetapi
begitu menjadi anggota DPR dan menikmati hidup yang jauh dari bayangan
semula—hidup yang ternyata nyaman dan mudah sekali—orang jenis ini segera
menjadi kelompok mapan, lupa akan perjuangan, dan lebih suka memanjakan diri
dengan kehidupan kelas menengah.
Orang
jenis ini bisa saja dijadikan bagian elite partai, tetapi jelas bukan bagian
“elite” dalam masyarakat. Kita tahu, di masyarakat, orang dengan kualitas macam
ini sangat mudah ditemukan di setiap pojok jalan maupun halte-halte bus.
Kenyataan
lain, ada orang baik dengan kualitas politik dan sosial yang baik, tapi tak mau
menjadi anggota partai dan tak mau memasuki jalan politik resmi di parlemen.
Ini membuat kehidupan partai menjadi lebih parah. Hanya orang kurang baik
dengan kualitas apa adanya yang ada di partai. Ini sama sekali bukan kondisi
ideal yang diinginkan.
Demi
keadilan, ada dua catatan penting di sini. Pertama, tampaknya aspek pendidikan
tak boleh terlalu ditonjolkan. Di suatu partai, asal orang memiliki wawasan
kebangsaan yang sehat, visi politik kerakyatan yang kuat, dan terlatih hidup
jujur, dan siap menerima bagian ekonomi apa adanya, kurang di segi pendidikan
tak terlalu menjadi persoalan.
Kedua,
banyak orang partai yang sungguh-sungguh hebat. Pemikiran politik dan wawasan
ideologi mereka mentereng. Kemampuan mereka melakukan pendekatan dan lobi-lobi
politik sulit dicari tandingannya. Mereka pun memiliki banyak keunggulan dalam
kapasitas pengelolaan program dengan warga. Pemikiran dan pendekatan politik
mereka sangat tepat menjadi bagian dari yang mungkin kita sebut pendidikan
politik bagi warga negara.
Agak
disayangkan, orang jenis ini menjadi terlalu cemerlang di partainya sehingga
entah mengapa, mereka tak dijadikan bagian elite partai tadi. Tampaknya,
pemimpin partai lebih menyukai orang yang penurut, tertib, sopan, tanpa terlalu
peduli kapasitasnya dalam banyak hal rendah “ndah”. Begitulah watak birokrasi.
Di partai, di pemerintahan, di lembaga swadaya masyarakat, di dunia bisnis,
kelihatannya sama saja, dengan beda-beda kecil di sana-sini.
Kondisi
ini semakin meneguhkan jarak antara konsep dan realitas hidup, bahwa elite
partai bukan “elite”. Mereka hanya “elite” di merek, di status, dan di konsep.
Kenyataan hidup sehari-hari, tak ada yang memperlihatkan bahwa mereka “elite”.
[]
SINAR
HARAPAN, 07 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar