Pilihlah
yang Terbaik
Oleh: Moh
Mahfud MD
Masih
banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Padahal,
politik itu keharusan yang tak bisa dihindari.
Tak ada
orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu
negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. Orang yang ingin
memengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang
menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik
diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes
politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.
Di dalam
Islam pun, politik mendapat tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Hujjatul
Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan nilai kebaikan agama itu
takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah
saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan
tawamaan).
Agak
lengkapnya Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan
mempunyai kekuasaan politik adalah saudara kembar. Agama adalah dasar
perjuangan, sedang kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan
yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak
dikawal akan sia-sia.” Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa
berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan
baik dan nyaman.
Karena
paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan
korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor
dan harus dihindari. Jangankan kita, mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah
marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar
akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
Muhammad
Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz yang biasanya hanya untuk menghujat
setan, yaitu, “audzu billahi minassyaythaanirrajim” (Aku berlindung kepada
Allah dari godaan setan yang terkutuk) dispesifikkan oleh Muhammad Abduh ke
dalam kegiatan politik menjadi “audzu billahi minassiyaasati wassiyaasiyyien”,
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan politik dan politisi). Tetapi dengan
mengacu pada filosofi Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari
kewajiban syarsyari karena tugas-tugas syarsyari hanya bisa direalisasikan di
dalam dan melalui kekuasaan politik (organisasi negara).
Dalam
kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa
bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau
tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga
diadakan/dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai
kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu
menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal
turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara,
bahkan mendirikan negara.
Dalam
konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap
pemilihan presiden dan calon presiden. Kita tidak boleh bersikap “tidak akan
memilih” pasangan capres/cawapres yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada
pasangan yang ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih
akan menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.
Dengan
segala kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan capres/cawapres: Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah disaring melalui
proses konstitusional yang sah. Semuanya sama baiknya, atau, sama tak baiknya.
Tak ada yang boleh mengatakan bahwa secara mutlak pasangan yang satu lebih baik
dari pasangan yang lain. Semua tergantung penilaian kita masing-masing. Kata
sekelompok orang pasangan Prabowo-Hatta lebih baik karena ini dan itu,
sedangkan pasangan Jokowi-JK lebih jelek karena ini dan itu. Tetapi kata
sekelompok orang lainnya pasangan Jokowi-JK lebih baik karena bla-bla-bla,
sedangkan pasangan Prabowo-Hatta lebih jelek karena bla-bla-bla. Jadi kedua
pasangan ada kelebihan dan kekurangannya serta ada pendukung dan penolaknya
masing-masing.
Menghadapi
alternatif seperti itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa
takkan pernah ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja,
semua alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian
halnya, maka ada kaidah akhaff al-dhararain, yaitu memilih yang paling sedikit
jeleknya di antara alternatif-alternatif yang sama-sama jelek.
Dalam hal
prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang betul-betul baik dari
antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi, demokrasi, monarki,
aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya sama-sama tidak ideal dan
mengandung segi-segi kelemahan.
Tetapi,
sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem demokrasi,
bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung kelemahan yang
paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain. Maka itu, pilihlah yang
terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal. []
KORAN
SINDO, 24 Mei 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar