Al-mu’allim
Syarwan
Oleh: Emha Ainun Nadjib
BISMILLAH, kutuliskan kandungan
hatiku, bahwa aku berguru kepada siapa saja. Dari para kuli sampai presiden. Dari
rumput kering sampai jin, malaikat dan Allah. Dan sekali ini, dengan segala
kerendahan hati: kepada Mayor Jenderal Syarwan Hamid, Asisten Sosial Politik
Kassospol ABRI, yang karena itu aku panggil beliau Al-mu’allim.
Segala
hal yang Al-mu’allim kemukakan mengenai cekal di GATRA mungkin sebagian
ditujukan kepadaku, mungkin juga tidak sama sekali. Namun karena aku berguru
maka kuterapkan kalimat-kalimat Al-mu’allim itu kepadaku, atau mengandaikan
bahwa yang beliau maksud adalah aku. Sikap ini kuambil karena aku membutuhkan
kandungan hikmahnya. Kupelajari setiap butiran kata-kata beliau, meskipun yang
kutuliskan di sini tentu tak bisa semua.
Aku
membayangkan bahwa Al-mu’allim sedang memuji dan sedikit memarahiku sehingga
aku berkewajiban untuk menjawab dan mempertanggungjawabkan. Dari beliau ingin
kucari ilmu bagaimana melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 pada taraf yang
paling dangkal dan verbal — seperti yang aku lakukan selama ini — agar bisa tak
terlalu mendapat halangan dari abdi negara yang ternyata juga ingin melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945. Ini semua mungkin tak penting bagi negara dan bangsa
karena ada dan tidaknya aku tidaklah ada bedanya. Tapi justru karena itu
perkenankanlah aku belajar.
Al-mu’allim
berkata: “Kebebasan berbicara mesti diatur, jangan sampai menjadi counter
productive bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Muridmu
menjawab: “Bagaimana kalau dikumpulkan para ahli yang secara komprehensif dan
jujur bisa menilai setiap kasus, seminar, diskusi, dan isi pembicaraan. Untuk
memilah-milah mana yang produktif dan yang counter-productive bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, bagi kepentingan kekuasaan, bagi proses pencerdasan
bangsa, bagi peningkatan kualitas SDM manusia Indonesia, bagi tradisi dialog
dan demokratisasi, dan seterusnya — agar supaya pembicaraan AI-mu’allim tak
berhenti abstrak dan generalistik. Sebab selama ini, menurut pendapat muridmu,
pelarangan-pelarangan itu justru counter productive bukan saja bagi Pancasila
dan proses demokratisasi, bahkan juga bagi kepentingan politik pemerintah
sendiri serta bagi investasi kelanggengan kekuasaan”.
Al-mu’allim
berkata: “Kebebasan bisa dipakai untuk menghasut. Kebebasan bisa
disalahgunakan, di samping bisa dimanfaatkan untuk hal yang positif. Kalau
kebebasan tak diatur, yang muncul tentunya akan bebas sebebas-bebasnya.”
Muridmu
menjawab: “Apakah kuningisisasi ala Pak Harmoko itu menghasut proses
marjinalisasi Merah Putih? Apakah Muhammad SAW menghasut kaum Jahiliyah untuk
bertauhid? Mengemukakan kebenaran disebut menghasut hanya oleh mereka yang
tidak menghendaki kebenaran. Ya, Mu’allimku, kalau ayam itu mati, bukan karena
kubunuh, melainkan karena kusembelih. Ada beda sangat prinsipil antara
penyembelih ayam dan pembunuh. Ya, Mu’allimku, kalau dokter mengoperasi, itu
bukan menyakiti pasien, melainkan berusaha menyembuhkannya.”
“Menghasut
itu kata yang tak bisa berdiri sendiri: ia membutuhkan konteks. lklan-iklan di
televisi itu menghasut atau tidak, ya Mu’allimku? Tidakkah setiap pidato,
setiap khotbah, bahkan setiap kata, termasuk yang diucapkan oleh Al-mu’allim,
bisa juga disebut menghasut? Juga kata ‘disalahgunakan’, ‘positif’ dan
seterusnya tak bisa berdiri sendiri. Apa beda antara menghasut, berdakwah,
mengiklankan, mempromosikan, menasihati, membimbing, dan memberi petunjuk?
Bergantung dari sudut pandang mana, dari kepentingan pihak mana. Dalam hal ini,
Al-mu’allim Insya Allah tak akan menjumpaiku di pihak mana pun kecuali di
kosmos nilai, bukan di kelompok, partai, atau apa pun, tidak di pemerintah,
tidak di rakyat. Alamatku adalah di ruang keyakinan nilaiku sendiri.”
“Kemudian
soal bebas sebebas-bebasnya, ya, Mu’allimku, kesadaran utama hidupku bukanlah
mengenai kebebasan, melainkan mengenai keterbatasan dan keterikatan. Jika aku
punya kepandaian maka aku lebih pandai untuk mengerti batas dibandingkan dengan
pandai untuk bebas. Aku tak mimpi untuk bebas, ya, Mu’allimku, sebab aku lahir
juga bukan karena aku bebas untuk lahir, melainkan karena aku diikat oleh
Tuhan untuk harus mau lahir.”
Dalam
menjawab pertanyaan, “Mengapa pembicara yang nakal tak dihadapkan dengan
pembicara orang pemerintah yang ahli, agar ada dialog”, Al-mu’allim berkata:
“Kalau bicaranya terakhir mana bisa? Banyak terjadi mereka sengaja bicara yang
terakhir. Kalau sudah demikian, bagaimana meng-counter-nya“.
Muridmu
menjawab: “Ya, Mu’allimku, kalau melarang acara saja bisa, apa susahnya bagi
aparat untuk mengatur agenda acara panitia? Ya, Mu’allimku, pembicara manakah
yang punya kekuasaan untuk mengatur panitia agar ia diletakkan sebagai pembicara
terakhir? Setahu muridmu ini, seseorang diletakkan sebagai pembicara terakhir
karena khawatir kalau ia bicara awal lantas hadirin pada pulang karena yang
sesudahnya dianggap tak menarik. Ada pembicara saron, gèndér, gambang, ada juga
pembicara gong. Percayalah, akan dua hal, ya, Mu’allimku. Pertama, tak ada
saron atau gong yang berinisiatif datang sendiri untuk berbunyi. Kedua, sungguh
tak enak jadi gamelan: dipukuli terus, nanti kalau sudah tak kung bunyinya
pasti segera dicampakkan.
Al-mu’allim
berkata: “Ada forum akademis diisi oleh pembicaraan yang tidak ilmiah.“
Muridmu
menjawab: “Aku inferior dalam soal ini, ya Mu’allimku. Aku berhenti belajar
seusai sekolah menengah atas. Kemudian diperintahkan oleh orang banyak untuk
melakukan tugas-tugas yang semestinya dilakukan oleh kaum intelektual, seniman,
ulama, atau tokoh pergerakan.”
“Tak
pernah aku percaya diri bahwa aku bisa bicara ilmiah: Jadi, tolonglah muridmu
ini dari mereka yang menyeret-nyeret ke kampus. Mereka menyuruhku bicara; tapi
sebenarnya institusi keilmuan mereka tak pernah mempercayai kapasitas keilmuwananku.
Sebab ketika saya iseng-iseng melamar jadi dosen saja sekalian daripada
ceramah-ceramah melulu, haqqul yaqin tak ada kampus yang bersedia menerirnaku.
Jadi, yang sesungguhnya mengundangku itu bukanlah pihak yang berkapasitas
sebagai ilmuwan, melainkan pribadi-pribadi yang kebetulan berkomunitas di
kampus. Institusi ilmu di universitas tidaklah percaya kepadaku.”
“Jadi,
ya, Mu’allimku, daripada aku terkutuk pada posisi bicara tak ilmiah dan ini
membahayakan dunia perguruan tinggi ataupun aturan pemerintah, tolong hasut
baliklah panitia-panitia itu dan berikanlah rekomendasi ilmiah agar mereka tak
lagi mengundangku. Sebab di samping aku malu dan tak bangga pada posisi sebagai
pembicara, juga aku sungguh memerlukan proses dan peluang untuk bertahan
sebagai orang awam biasa. Ya Allah, bebaskan aku dari tirani kata-kata itu:
ilmuwan, seniman, budayawan, karier, public figure, man makes news… mandikan
aku sehingga yang tersisa dan yang utama adalah manusiaku. Ya Allah, aku rela
saudara-saudaraku sendiri tak percaya kepada doaku karena doaku memang
kupanjatkan tidak kepada mereka, melainkan kepadaMu.“
Al-mu’allim
berkata: “Saya juga mengingatkan kepada petugas di daerah agar jangan
apriori….“
Muridmu
menjawab: “Bisakah Mu’allimku tak hanya mengingatkan, melainkan memerintahkan
dan mengecek pertanggungjawaban mereka atas perintah itu’?“
AI-mu’allim
berkata: “Kritik pun kalau sehat saya kira akan diberi tempat….”
Muridmu
menjawab: “Alangkah leganya muridmu sebagai orang kecil seandainya Mu’allimku
tak menggunakan kata ‘saya kira’, melainkan ‘pasti’ atau ‘dijamin’. Lebih
bersyukur lagi kalau terdapat kejelasan juga tentang apa yang Mu’allimku maksud
dengan ‘sehat’ di situ.“
Al-mu’allim
menjawab pertanyaan, pencekalan melanggar asas praduga tak bersalah. Belum
terjadi apa-apa kok sudah dilarang, dengau pernyataan: “Kalau berpikir begitu,
namanya kita bekerja menunggu rumah kebakaran dulu baru bertindak.“
Muridmu
menjawab: “Tentu yang Mu’allimku maksudkan bukan ‘kebakaran’ melainkan
‘dibakar’. Siapakah gerangan tukang bakar itu? Alangkah dungunya muridmu jika
untuk ‘membakar’ ia menunggu kerepotan panitia yang hanya meugumpulkan beberapa
ratus orang. Bukan itu aset untuk ‘pembakaran’, ya Mu’allimku, seandainya
muridmu memang mau itu. Seberapa tingkat ‘bakar’ yang dimaksud? Taraf makar,
mengajak memberontak, mengajak orang banyak memikirkan pcrsoalan bersama,
mendinamisasikan proses berpikir, atau tingkat yang mana? Ilmu dan etika apa
yang kita pakai untuk mengukur sesuatu itu bersifat ‘bakar’ atau tidak? Di
antara siapa sajakah soal ‘bakar’ ini boleh didiskusikan? Petugas dari Polsek?
Bakorinda? Ditsospol? Bupati? Camat? Bersediakah mereka berdiskusi tentang
setiap unsur materi untuk menilai ia berpotensi ‘bakar’ atau tidak?”
“Ya,
Mu’allimku, kata ‘bakar’ itu abstrak, sedangkan yang muridmu butuhkan adalah
patokan denotatif. Syukur jika Mu’allimku mengajarkan ilmu nuansa bahwa kalau
seorang ibu mengecilkan kompor itu supaya nasinya tak gosong, sedangkan kalau
ia membesarkan nyala api itu agar nasinya tak nglethis. Ya, Mu’allimku,
bukankah mengasyikkan untuk berkumpul dan bercengkerama di antara kita semua:
pemerintah, ABRI, mahasiswa, seniman, ulama, rakyat, dan lain sebagainya untuk
menganyam akal sehat dan “mendemonstrasikan kearifan kolektif dalam rangka
menghindarkan kemungkinan bangsa besar kita ini menjadi bangsa yang gosong
maupun bangsa yang nglethis?”
Al-mu’allim
menyatakan: “Ada yang sengaja nakal. Terus kalau dicekal malah senang. Lantas
kirim release ke mana-mana; menyatakan bahwa pemerintah represif?”
Muridmu
menjawab, “Ya, Mu’allimku, selama bertahun-tahun belakangan ini cita-citaku
adalah tidur dan makan normal, syukur boleh berumah tangga dan tak harus 80%
waktu diwajibkan keliling ke sana kemari sehingga yayasan-yayasan sosialku
hanya kukerjakan sebagai sambilan. Aku sudah berusaha lari dari panitia-panitia,
tapi terpojok terus, karena memang ada realitas kelaparan, kehausan,
keterasingan, dan kesepian — dalam berbagai arti dan nuansa — dalam kehidupan
bangsa kita. Dan yang mereka perintahkan kepadaku adalah upaya pencerdasan
rakyat, penumbuhan kekuatan masyarakat, sebagaimana pemerintah sendiri
menganjurkan.”
“Akhirnya,
aku datang, lantas dicekal, lantas dimuat koran, lantas dibilang malah senang
dilarang dan sengaja mencari popularitas, lantas dianalisis dan diasumsikan
sebagai combe pemerintah yang disuruh pura-pura berjuang demi rakyat. Ya,
Mu’allimku, traktirlah aku di sebuah restoran agak mewah supaya tuduhan itu
benar dan penuduhnya terbebas dari dosa. Atau bukalah rahasia bahwa aku adalah
agen kekuasaan, yang untuk menangkap penjudi aku disuruh menyamar menjadi
penjudi — karena, siapa tahu karena pikun, aku sendiri belum tahu fungsiku
itu.”
“Ya,
Mu’allimku, kalau aku diam saja atas pelarangan itu, sahabat-sahabatku
memprotes, ‘Mengapa kau diam saja’? Mengapa kau tak mendidik rakyat dalam hal
mempertahankan kebenaran?’ Lantas kalau aku laporkan nasib hak asasi ini,
sahabatku yang lain menuding, Seneng ya dicekal? Promosi kan? Ya, Mu’allimku,
ajarilah aku ilmu yang lebih tinggi dan lebih arif untuk menghadapi itu semua.”
“Ya,
Mu’allimku, perkenankan aku berkata, He bangsa Indonesia. Kalian sudah
pinter-pinter, sudah pada sarjana, sudah pada intelektual, sudah pada
jenderal, sudah pada doktor. Kalian sudah gedhe-gedhe, sudah tahu mana baik
mana benar mana salah. Qad tabayyana-rusydu minal-ghayyi. Berjalanlah ke
cakrawala. Aku mau tidur. Mongso bodhoa….”
“Ya,
Mu’allimku, di dalam tidur itu aku menari, berdansa, berdendang: Kalau aku
makan, bukan karena aku ingin makan, melainkan karena harus menjaga kesehatan.
Kalau aku bicara dan menggerakkan tangan, bukan karena aku menginginkan, melainkan
karena orang tidur harus dibangunkan. Adapun apa keinginanku? Indonesia santun
politiknya, adil ekonominya, tegak hukumnya, indah kebudayaannya — sehingga
berhak tidur sambil beranak-pinak.”
“Adapun
kalau ada saat-saat aku diam, ya, Mu’allimku, itu karena dalam kegelapan, kebenaran
tak punya alamat. Dan kalau kebenaran hanya diperdebatkan oleh kepentingan
melawan kepentingan, ia tak akan sungguh-sungguh bersedia untuk ditemukan….”
“Dan
akhirnya, ya, Mu’allimku, besar rasa terimakasihku kepada pelajaran dan hikmah
dari Mu’allimku, yang mengingatkanku bahwa dalam kehidupan ini; di samping ada
negara, kekuasaan, birokrasi, ada juga manusia; ada hati kecil, firman Allah,
dan lain sebagainya.” []
Pernah dimuat di Majalah Gatra, 1 Juli 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar