Aliansi Nahdliyin-Marhaenis
Foto: Rais Aam NU Kiai Wahab Chasbullah
berbisik dengan Bung Karno saat menghadiri Muktamar ke-22 Nahdlatul Ulama di
Jakarta, 1959. (Doc. PP Lakpesdam)
Dalam urusan sosial-politik, NU mengembangkan
prinsip ukhuwah wathoniyah atau solidaritas kebangsaan. Karena itu sejak awal
tokoh NU seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah bekerjasama
dengan para tokoh nasionalis penggerak kebangkitan nasional, seperti Dr Sutomo,
Muhammad Yamin, termasuk Bung Karno sendiri. Ketika masa kemerdekaan, kelompok
nasionalis ada dalam PNI, sementara NU juga menjadi parpol tersendiri, tetapi
hubungan keduanya sangat erat. Tahun 1950-an, hubungan ini terjalin semakin
intensif.
Kerjasama Nahdliyin dengan kelompok
nasionalis zaman pergerakan nasional tahun 1920-an itu kemudian berlanjut pada
masa Revolusi Kemerdekaan. Dalam menghadapi masa peralihan dari penjajahan
Belanda ke Penjajahan Jepang itu, kerjasama semakin erat. Sebab kedua kelompok
yang sama-sama non kooperatif dengan Belanda itu justru mendapatkan angin pada
masa Jepang. Saat itulah keduanya leluasa bergerak menyiapkan kemerdekaan Indonesia,
baik menyiapkan tentara nasional dengan membentuk tentara Pembela tanah Air
(PETA) serta Hizbullah dan Sabilillah, yang sebagian besar komandannya adalah
dari kaum santri. Kerjasama dua kelompok itu kemudian bisa mempercepat
Proklamasi.
Ketika Belanda hendak merebut kembali negeri
ini, dua kelompok itu bersatu padu menghadapi penjajah. Kerjasama ini semakin
erat ketika di tengah gejolak revolusi itu ada sekelompok orang PSI dan PKI
melakukan pemberontakan terhadap RI. Dengan tegas NU mendukung RI Pimpinan Bung
Karno dan menyerukan segera melenyapkan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948
itu. Pada saat bersamaan sekelompok Islam modernis yang puritan dan radikal
mendirikan Darul Islam (DI) bahkan kemudian membentuk Tentara Islam Indonesia
(TII) dalam rangka mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), sebagai tandingan
dari NKRI, maka dengan tegas NU menolak gagasan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo
yang mengaku sebagai amirul mukminin atau pemimpin umat Islam. Untuk menegaskan
komitmennya pada NKRI justru NU mengukuhkan Presiden Soekarno sebagai amirul
mukminin yang sebenarnya, yakni sebagai waliyul amri (tokoh yang mendapatkan
amanah) menjalankan pemerintahan.
Pada awal Orde Baru terjadi penyederhanaan
partai politik, NU dikumpulkan dengan kelompok modernis eks Masyumi ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pertamanya kerjasama ini berjalan lancar,
walaupun NU dengan bermodal 18,6 persen suara, sementara Masyumi (Parmusi)
hanya 7,3 persen, tapi pimpinan PPP dipegang Parmusi HMS Mintardja, seorang tokoh
Masyumi, demi ukhuwah Islamiyah tadi NU menerima keputusan tidak adil itu.
Tetapi Pergantian ketua PPP dari Mintardja ke HJ Naro juga dari Parmusi
(Masyumi) tidak dilakukan secara demokratis melalui Muktamar, melainkan
diserahkan begitu saja. Ini yang membuat NU kecewa terhadap perilaku politik
Masyumi itu.
Langkah selanjutnya Naro sebagai kelompok
kecil Masyumi menyingkirkan para elit politik NU dari PPP, para pendiri seperti
HM Yusuf Hasyim, Khalik Ali, KH Saifuddin Zuhri, Mahbub Djunaidi satu per satu
disingkirkan. Mereka juga dihapus sebagai daftar calon DPR. Calon DPR
didominasi kelompok Masyumi pimpinan Naro. Tentu saja perilaku unsur Masyumi
dalam PPP itu merugikan keutuhan Partai, sehingga partai pecah, kelompok NU
akhirnya tersingkir. Ini tragedi Masyumi di tahun 1950-an terulang lagi.
Masyumi tidak menjalankan organisasi kesepakatan dan sesuai aturan, maka retak
dan bubarlah partai. Akhirnya pada tahun 1984 NU secara organisatoris kembali
ke Khittah sebagai ormas keagamaan, maka NU secara otomatis keluar dari PPP.
Setelah itu, NU menjalankan peran sosial
lebih efektif tanpa partai di bawah kepemimpinan KH Ahmad Shiddiq dan KH
Abdurrahman Wahid. Kepemimpinan yang efektif NU menjadikan NU secara nasional
sangat solid. Solidnya NU sebagai organisasi besar ini dengan sendirinya
memiliki resonansi politik yang besar, karena itulah dengan sikap tegas dari KH
Abdurrahman wahid sejak pertengahan 1980-hingga akhir 1980-an itu dalam membela
rakyat kecil dalam menghadapi represi Orde Baru, maka tiba-tiba NU tampil
sebagai rival Orde Baru yang paling depan.
Ketika partai kelompok Nasionalis PDI pecah
di awal 1990-an, Megawati sebagai keluarga Bung Karno tampil sebagai penyelamat
partai nasionalis ini, tetapi kehadiran Megawati merisaukan Orde Baru, maka dibuatlah
musuh tandingan dari dalam, antara lain Surjadi yang dipaksa memimpin PDI atas
dukungan Orde Baru, sehingga Megawati tersingkir. Saat itulah Gus Dur mulai
menjalin aliansi dengan Megawati, sebagai pendatang baru dalam kancah politik
nasional. Megawati banyak mengikuti kegiatan Gus Dur sebagai mitra baru dan
banyak belajar pada guru bangsa ini, bersama-sama, menggerakkan rakyat bawah
dan berjuang menghadapi represi Orde Baru. Akhirnya PDI Megawati yang bernama
PDI Perjuangan (PDIP) bisa menyingkirkan rivalnya, sehingga menjadi partai yang
kuat dan disegani yang bisa kembali mengonsolidasi pendukung Bung Karno.
Aliansi ini begitu kuat, apalagi saat itu
orde baru sedang membangun aliansi dengan kelompok Islam modernis dengan
membuat ICMI. Aliansi ini dengan sendirinya semakin memperkuat posisi Orde Baru
dalam menghadapi aliansi kelompok Islam-Nasionalis yang dipimpin Gus Dur.
Aliansi kedua kelompok itu yang mampu menggetarkan fondasi kekuasaan Orde Baru,
karena itu kedua kelompok ini dihancurkan dengan halus atau dengan kekerasan.
Maka pada pertengahan 1990-an digelarlah aksi untuk menghancurkan NU dan
nasionalis. Untuk menghancurkan NU digelar Operasi Naga Hijau yang membantai
para kiai di Jawa yang menelan korban 140 orang Kiai NU. Sementara itu untuk menghancurkan
PDI digelar Operasi Naga Merah yang membantai ratusan kader PDI saat
mempertahankan kantor mereka di jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996.
Aliansi itu NU-Nasionalis itu berpuncak saat
Reformasi sehingga membentuk “Kelompok Ciganjur” kemudian membuat deklarasi
yang melibatkan semua elemen bangsa termasuk ikut dalam aliansi nasional itu
Sultan Hamengkubuwono, juga Amin Rais yang selama ini aktif di ICMI bersama
Soeharto, setelah situasi berubah, maka kini mulai masuk dalam gerakan melawan
Soeharto.
Aliansi NU PDI itu pada masa Reformasi
berubah format, ketika NU telah membuat partai baru yaitu Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), maka secara alami kedua partai berbasis kebangsaan dan kerakyatan
itu selalu bersatu padu menyusun agenda perubahan. Duet Gus Dur-Mega semakin
erat, karena itu keduanya menjadi tokoh terkemuka di negeri ini. Ketika
kehadiran Mega ditolak oleh kelompok Islamis yang menampakkan diri sebagai
kelompok tengah yang ingin menggeser Megawati, akhirnya menampilkan Gus Dur
sebagai penyelamat untuk tetap menyelamatkan dwitunggal Gus Dur-Mega, di saat
kelompok lain bakal mencuri di tikungan.
Mega dicoba digeser dengan Gus Dur tetapi
tidak berhasil, karena Mega dijadikan wapres oleh Gus Dur. Tetapi kelompok
Islamis itu tidak puas akhirnya mencoba menggeser Gus Dur dengan menggunakan
Megawati. Suasana ruwet sehingga menyebabkan Gus Dur jatuh dan secara otomatis
Mega dinaikkan menjadi presiden. Namun demikian hubungan NU dan PKB dengan PDIP
tidak cukup terganggu, bahkan setelah itu segera pulih, karena kedua belah
pihak tahu bahwa pelaku di balik semua perhelatan itu selain sisa-sisa Orde
Baru, adalah kelompok pimpinan Amin Rais.
Hingga saat ini, kelihatan NU dan PDIP telah
rukun kembali. Kebencian Nahdliyin dan Marhaenis pada umumnya dialamatkan pada
Amin Rais sebagai dalang kekacauan ini. Karena itu kedua kelompok ini masih
selalu waspada terhadap manuver politik Amin Rais, yang cenderung mengusik
aliansi Nahdliyin dan Nasionalis-Marhaenis, yang sama-sama gigih menjaga NKRI
dan Pancasila serta kebhinnekaan Indonesia dengan sikap moderat dan toleran. []
(H. Masyhuri Malik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar