Rabu, 18 Juni 2014

Aliansi Nahdliyin-Marhaenis



Aliansi Nahdliyin-Marhaenis


Foto: Rais Aam NU Kiai Wahab Chasbullah berbisik dengan Bung Karno saat menghadiri Muktamar ke-22 Nahdlatul Ulama di Jakarta, 1959. (Doc. PP Lakpesdam)

Dalam urusan sosial-politik, NU mengembangkan prinsip ukhuwah wathoniyah atau solidaritas kebangsaan. Karena itu sejak awal tokoh NU seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah bekerjasama dengan para tokoh nasionalis penggerak kebangkitan nasional, seperti Dr Sutomo, Muhammad Yamin, termasuk Bung Karno sendiri. Ketika masa kemerdekaan, kelompok nasionalis ada dalam PNI, sementara NU juga menjadi parpol tersendiri, tetapi hubungan keduanya sangat erat. Tahun 1950-an, hubungan ini terjalin semakin intensif.

Kerjasama Nahdliyin dengan kelompok nasionalis zaman pergerakan nasional tahun 1920-an itu kemudian berlanjut pada masa Revolusi Kemerdekaan. Dalam menghadapi masa peralihan dari penjajahan Belanda ke Penjajahan Jepang itu, kerjasama semakin erat. Sebab kedua kelompok yang sama-sama non kooperatif dengan Belanda itu justru mendapatkan angin pada masa Jepang. Saat itulah keduanya leluasa bergerak menyiapkan kemerdekaan Indonesia, baik menyiapkan tentara nasional dengan membentuk tentara Pembela tanah Air (PETA) serta Hizbullah dan Sabilillah, yang sebagian besar komandannya adalah dari kaum santri. Kerjasama dua kelompok itu kemudian bisa mempercepat Proklamasi.

Ketika Belanda hendak merebut kembali negeri ini, dua kelompok itu bersatu padu menghadapi penjajah. Kerjasama ini semakin erat ketika di tengah gejolak revolusi itu ada sekelompok orang PSI dan PKI melakukan pemberontakan terhadap RI. Dengan tegas NU mendukung RI Pimpinan Bung Karno dan menyerukan segera melenyapkan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 itu. Pada saat bersamaan sekelompok Islam modernis yang puritan dan radikal mendirikan Darul Islam (DI) bahkan kemudian membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) dalam rangka mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), sebagai tandingan dari NKRI, maka dengan tegas NU menolak gagasan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo yang mengaku sebagai amirul mukminin atau pemimpin umat Islam. Untuk menegaskan komitmennya pada NKRI justru NU mengukuhkan Presiden Soekarno sebagai amirul mukminin yang sebenarnya, yakni sebagai waliyul amri (tokoh yang mendapatkan amanah) menjalankan pemerintahan.

Pada awal Orde Baru terjadi penyederhanaan partai politik, NU dikumpulkan dengan kelompok modernis eks Masyumi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pertamanya kerjasama ini berjalan lancar, walaupun NU dengan bermodal 18,6 persen suara, sementara Masyumi (Parmusi) hanya 7,3 persen, tapi pimpinan PPP dipegang Parmusi HMS Mintardja, seorang tokoh Masyumi, demi ukhuwah Islamiyah tadi NU menerima keputusan tidak adil itu. Tetapi Pergantian ketua PPP dari Mintardja ke HJ Naro juga dari Parmusi (Masyumi) tidak dilakukan secara demokratis melalui Muktamar, melainkan diserahkan begitu saja. Ini yang membuat NU kecewa terhadap perilaku politik Masyumi itu.

Langkah selanjutnya Naro sebagai kelompok kecil Masyumi menyingkirkan para elit politik NU dari PPP, para pendiri seperti HM Yusuf Hasyim, Khalik Ali, KH Saifuddin Zuhri, Mahbub Djunaidi satu per satu disingkirkan. Mereka juga dihapus sebagai daftar calon DPR. Calon DPR didominasi kelompok Masyumi pimpinan Naro. Tentu saja perilaku unsur Masyumi dalam PPP itu merugikan keutuhan Partai, sehingga partai pecah, kelompok NU akhirnya tersingkir. Ini tragedi Masyumi di tahun 1950-an terulang lagi. Masyumi tidak menjalankan organisasi kesepakatan dan sesuai aturan, maka retak dan bubarlah partai. Akhirnya pada tahun 1984 NU secara organisatoris kembali ke Khittah sebagai ormas keagamaan, maka NU secara otomatis keluar dari PPP.

Setelah itu, NU menjalankan peran sosial lebih efektif tanpa partai di bawah kepemimpinan KH Ahmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wahid. Kepemimpinan yang efektif NU menjadikan NU secara nasional sangat solid. Solidnya NU sebagai organisasi besar ini dengan sendirinya memiliki resonansi politik yang besar, karena itulah dengan sikap tegas dari KH Abdurrahman wahid sejak pertengahan 1980-hingga akhir 1980-an itu dalam membela rakyat kecil dalam menghadapi represi Orde Baru, maka tiba-tiba NU tampil sebagai rival Orde Baru yang paling depan.

Ketika partai kelompok Nasionalis PDI pecah di awal 1990-an, Megawati sebagai keluarga Bung Karno tampil sebagai penyelamat partai nasionalis ini, tetapi kehadiran Megawati merisaukan Orde Baru, maka dibuatlah musuh tandingan dari dalam, antara lain Surjadi yang dipaksa memimpin PDI atas dukungan Orde Baru, sehingga Megawati tersingkir. Saat itulah Gus Dur mulai menjalin aliansi dengan Megawati, sebagai pendatang baru dalam kancah politik nasional. Megawati banyak mengikuti kegiatan Gus Dur sebagai mitra baru dan banyak belajar pada guru bangsa ini, bersama-sama, menggerakkan rakyat bawah dan berjuang menghadapi represi Orde Baru. Akhirnya PDI Megawati yang bernama PDI Perjuangan (PDIP) bisa menyingkirkan rivalnya, sehingga menjadi partai yang kuat dan disegani yang bisa kembali mengonsolidasi pendukung Bung Karno.

Aliansi ini begitu kuat, apalagi saat itu orde baru sedang membangun aliansi dengan kelompok Islam modernis dengan membuat ICMI. Aliansi ini dengan sendirinya semakin memperkuat posisi Orde Baru dalam menghadapi aliansi kelompok Islam-Nasionalis yang dipimpin Gus Dur. Aliansi kedua kelompok itu yang mampu menggetarkan fondasi kekuasaan Orde Baru, karena itu kedua kelompok ini dihancurkan dengan halus atau dengan kekerasan. Maka pada pertengahan 1990-an digelarlah aksi untuk menghancurkan NU dan nasionalis. Untuk menghancurkan NU digelar Operasi Naga Hijau yang membantai para kiai di Jawa yang menelan korban 140 orang Kiai NU. Sementara itu untuk menghancurkan PDI digelar Operasi Naga Merah yang membantai ratusan kader PDI saat mempertahankan kantor mereka di jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996.

Aliansi itu NU-Nasionalis itu berpuncak saat Reformasi sehingga membentuk “Kelompok Ciganjur” kemudian membuat deklarasi yang melibatkan semua elemen bangsa termasuk ikut dalam aliansi nasional itu Sultan Hamengkubuwono, juga Amin Rais yang selama ini aktif di ICMI bersama Soeharto, setelah situasi berubah, maka kini mulai masuk dalam gerakan melawan Soeharto.

Aliansi NU PDI itu pada masa Reformasi berubah format, ketika NU telah membuat partai baru yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), maka secara alami kedua partai berbasis kebangsaan dan kerakyatan itu selalu bersatu padu menyusun agenda perubahan. Duet Gus Dur-Mega semakin erat, karena itu keduanya menjadi tokoh terkemuka di negeri ini. Ketika kehadiran Mega ditolak oleh kelompok Islamis yang menampakkan diri sebagai kelompok tengah yang ingin menggeser Megawati, akhirnya menampilkan Gus Dur sebagai penyelamat untuk tetap menyelamatkan dwitunggal Gus Dur-Mega, di saat kelompok lain bakal mencuri di tikungan.

Mega dicoba digeser dengan Gus Dur tetapi tidak berhasil, karena Mega dijadikan wapres oleh Gus Dur. Tetapi kelompok Islamis itu tidak puas akhirnya mencoba menggeser Gus Dur dengan menggunakan Megawati. Suasana ruwet sehingga menyebabkan Gus Dur jatuh dan secara otomatis Mega dinaikkan menjadi presiden. Namun demikian hubungan NU dan PKB dengan PDIP tidak cukup terganggu, bahkan setelah itu segera pulih, karena kedua belah pihak tahu bahwa pelaku di balik semua perhelatan itu selain sisa-sisa Orde Baru, adalah kelompok pimpinan Amin Rais.

Hingga saat ini, kelihatan NU dan PDIP telah rukun kembali. Kebencian Nahdliyin dan Marhaenis pada umumnya dialamatkan pada Amin Rais sebagai dalang kekacauan ini. Karena itu kedua kelompok ini masih selalu waspada terhadap manuver politik Amin Rais, yang cenderung mengusik aliansi Nahdliyin dan Nasionalis-Marhaenis, yang sama-sama gigih menjaga NKRI dan Pancasila serta kebhinnekaan Indonesia dengan sikap moderat dan toleran. []

(H. Masyhuri Malik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar