Suara
Terbanyak Itu Kehendak Legislatif
Oleh: Moh
Mahfud MD
Dalam
perjalanan pulang ke Tanjung Barat, Selasa 6 Mei 2014, sekitar jam 20.00 WIB,
saya mendapat SMS dari kawan baik saya, aktivis PDI Perjuangan, Eva Kusuma
Sundari.
”Semoga
anda nonton ILC di TV One saat ini,” demikian pesan Eva. Acara ILC malam itu membahas
pemilu legislatif yang disimpulkan sebagai pemilu paling buruk dalam sepanjang
sejarah Republik Indonesia. Kecurangan terjadi secara masif, dilakukan oleh
kontestan, oleh petugas pemilu seperti PPS, PPK, dan oleh para pemilih. Di ILC
itu ada yang menyalahkan MK karena memutuskan pemberlakuan suara terbanyak
dalam pemilu legislatif.
Katanya,
MK harus bertanggung jawab atas problem politik dan hukum ini. Soal MK harus
bertanggung jawab itu sudah pasti dan itu sudah dilakukan sejak Pemilu 2009. MK
telah mempertanggungjawabkan vonisnya itu secara profesional sehingga tak perlu
membela-bela diri. Tapi, kalau menyatakan dengan begitu saja bahwa MK yang
memberlakukan pemilu dengan suara terbanyak itu tentulah keliru bahkan salah.
Pemberlakuan
itu sebenarnya kehendak lembaga legislatif, DPR dan pemerintah, seperti yang
dituangkan di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008. MK hanya mencoret
frasa (bagian kalimat) dari isi UU itu yang sangat tidak adil bagi kontestan.
Coba diperiksa kembali isi UU itu.
Melalui
Pasal 214 butir a, b, c, d, dan e UU No 10 Tahun 2008 lembaga legislatif
(pemerintah dan DPR) telah menetapkan ketentuan yang pada pokoknya calon
anggota legislatif (caleg) terpilih ditentukan berdasar suara terbanyak dengan
ambang bilangan pemilih pembagi (BPP) yang harus dilewati. Dalam rincian pasal
dan ayat-ayat yang panjang Pasal 214 itu, intinya, menentukan, ”Anggota
legislatif terpilih ditetapkan berdasar suara terbanyak di antara para caleg
yang mendapat suara lebih dari 30% BPP di setiap daerah pemilihan (dapil)”.
Jadi,
penentuan suara terbanyaknya ditetapkan pembuat UU sendiri, sedangkan MK hanya
membatalkan ketentuan syarat 30% karena dirasa sangat tidak adil. MK akhirnya
hanya mencoret ketentuan ”diantara mereka yang mendapat suara lebih dari 30%
BPP” karena ambang minimal tersebut tidak ada bagi para caleg. Adapun ketentuan
suara terbanyaknya itu ketentuan yang sejak awal dibuat DPR dan pemerintah di
dalam sistem ”proporsional setengah terbuka.”
Di mana
tidak adilnya? Misalkan di sebuah daerah pemilihan ada empat caleg dari Partai
Kembang Api masing-masing dengan nomor urut 1) Aldo; 2) Mirna; 3) Ali; 4) Eli.
Di dapil tersebut ada tujuh kursi yang diperebutkan, sedangkan jumlah
pemilihnya sebanyak 1.750.000 orang sehingga BPPnya sebesar 250.000.
Misalkan
Aldo mendapat 5.000 suara, Mirna mendapat 4.000 suara, Ali mendapat 70.000
suara, dan Eli mendapat 74.500 suara, maka berdasar ketentuan UU No 10 Tahun
2008 itu, jika Partai Kembang Api mendapat dua kursi, maka yang terpilih menjadi
anggota DPR adalah Aldo (dengan 5.000 suara) dan Mirna (dengan 4.000 suara).
Dalam
konfigurasi perolehan suara seperti itu, Eli yang mendapat 74.500 suara tidak
bisa terpilih menjadi anggota DPR karena meskipun suaranya jauh lebih banyak
daripada perolehan Aldo dan Mirna, suara Ali tidak mencapai 30% dari BPP (30%
dari 250.000) yakni sebesar 75.000 suara. Bukankah ini tidak adil? Maka itu,
Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas 30% tanpa menghapus keharusan suara
terbanyak yang telah ditetapkan DPR dan pemerintah di dalam UU No 10 Tahun
2008.
Jadi,
yang memberlakukan sistem suara terbanyak itu bukan MK, melainkan DPR dan
pemerintah. Sedangkan MK hanya menghapus persyaratan ambang batasnya (30%) yang
jelas-jelas tidak adil. MK menegaskan di dalam putusannya bahwa pemilu sistem
proporsional tertutup (nomor urut), proporsional terbuka (suara terbanyak), dan
sistem distrik adalah konstitusional. DPR boleh memilih yang mana saja sebagai
opened legal policy.
Tetapi,
sistem proporsional setengah terbuka dengan ambang 30% tidaklah adil. Menurut
MK, boleh saja pembentuk UU memberlakukan sistem proporsional tertutup maupun
sistem distrik asalkan pemilih tahu, yang akan jadi anggota DPR itu berdasar
nomor urut ataukah berdasar suara terbanyak.
Perlu
ditegaskan, pemilu dengan sistem proporsional dengan nomor urut atau
proporsional terbuka penuh bukan tidak berisiko dengan penyelewengan. Berdasar
pengalaman pada masa lalu, sistem nomor urut juga banyak diselewengkan dengan
misalnya dominasi elite struktural parpol atau orang-orang yang dekat dengan
pengurus parpol untuk menempati nomor-nomor kecil (peci).
Banyak
orang yang tak dikenal masyarakat tiba-tiba ditempatkan di nomor urut 1 atau 2,
sedangkan orang-orang yang populer hanya dijadikan vote getter. Tetapi, setelah
melihat semua pengalaman, menggunakan sistem proporsional terbuka dan
proporsional tertutup, sangat terasa bahwa mudaratnya lebih banyak terjadi pada
sistem proporsional terbuka (sistem suara terbanyak).
Sebab
itu, akan menjadi lebih baik untuk pemilu yang akan datang kita kembali saja ke
sistem proporsional tertutup alias sistem nomor urut. []
KORAN
SINDO, 10 Mei 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar