Virus
Antikorupsi dalam Film
Oleh:
Bambang Widjojanto
Kita
tengah berkejaran, korupsi dan kolusi dalam berbagai bentuk, sifat, dan
karakternya terus bermetamorfosa dan mereproduksi diri. Ada sebagian kalangan
yang sudah sampai pada kesimpulan, korupsi kian mendekati kesempurnaannya dan
kuasa kegelapan nyaris tak terbendung lagi.
Coba
perhatikan dan fokuskan pada pemberitaan media cetak maupun onlineatas
kasuskasus korupsi, kita akan mendapatkan, quantum kejahatan korupsi yang kian
menakutkan dan menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa. Pelakunya tidak hanya
lelaki, tapi juga perempuan, bahkan kini, bapak dan anak, suami dan istri,
keluarga besar, atau sering disebut sebagai dinasti, mereka secara bersama
melakukan tindak korupsi. Tidak hanya itu, pengusaha, politisi, kalangan
profesional lain, penegak hukum, serta ustad sekalipun juga terlibat dalam
kejahatan itu.
Di tengah
kedahsyatan perkembangan pelaku kejahatan, KPK bersinergi dan meng-endorse film
layar lebar yang berjudul “Sebelum Pagi Terulang Kembali”. Film layar lebar
yang didukung artis dan aktor berkarakter yang progerakan antikorupsi serta bersinergi
dengan komunitas antikorupsi di mana KPK berada di dalamnya adalah upaya sadar
dan sengaja untuk keluar dari kejumudan strategi pemberantasan korupsi yang
biasanya hanya bersifat hukum dalam perspektif penindakan semata.
Film ini
bukan yang pertama karena sebelumnya ada empat omnibus film cerita pendek yang
diberi judul “Kita versus Korupsi” yang berkisah fakta sikap koruptif dalam
berbagai segmen kehidupan masyarakat, juga didukung sepenuh-penuhnya oleh KPK.
Film ini sudah dilihat oleh sekitar sembilan juta penonton begitu menurut
pernyataan Transparansi Internasional Indonesia. Film Sebelum Pagi Terulang
Kembali mengonstruksi alur cerita melalui kehidupan keluarga yang berupaya
membangun “keguyupannya”, kebersahajaan, dan nilai kejujuran.
Di sisi
lain, sistemsosialyangberkembangdi masyarakat memiliki “kekuatan” memaksakan
kehendaknya yang bertumpu pada pragmatisme, materialisme, dan konsumerisme yang
sebagiannya dengan alasan survival. Ada “perjumpaan dan pertarungan” nilai, di
antara keluarga dan masyarakat serta di antara kehendak dan fakta sosial. Ini
semua dapat menempatkan keluarga dalam posisi yang dilematis, sulit, dan
menakutkan. Keluarga guyup yang sederhana, bersahaya, dan sebisa mungkin terus
merawat kejujuran, bisa saja “takluk dan tak berdaya” berhadapan dengan
kekuatan koruptif dan kolusif yang bersemayam di jantung kekuasaan, namun kini
sudah merambah menjadi perilaku permisif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Film ini
juga bisa menjadi salah satu potret realitas kontemporer yang kini sedang
dihadapi seluruh keluarga di Indonesia. Ternyata menjadi keluarga baik yang
harmonis saja tidak cukup pada era korupsi dan kolusi sudah begitu sistematis
berkelindan dalam sistem kemasyarakatan dan kekuasaan. Kini diperlukan upaya
yang lebih strategis untuk membangun budaya antikorupsi yang berbasis pada
keluarga sebagai soko guru kehidupan struktur sosial di masyarakat.
Mengapa
harus film? Saat ini tidak ada yang dapat menyangkal, seluruh aktivitas kita
dikepung oleh screen culture. Film bukan hanya ada di bioskop, melainkan juga
menjadi bagian tak terpisahkan dari “budaya pop” dan kini juga telah menjelajah
pada TV dan bahkan bisa diakses melalui gadget.
Ada
beberapa media seperti TV, internet, dan gadget seolah sudah menjadi kebutuhan
yang tak terpisahkan dari seluruh aktivitas masyarakat. Belum lagi dengan
billboard dan TV iklan yang kini meningkat jumlah dan menyerbu ruang publik
secara masif. KPK harus masuk dan menggunakan budaya pop untuk mengintensifkan
kampanye pemberantasan korupsi. Lihat saja, jumlah jam, rata-rata orang yang
menonton TV. Seolah TV sudah menjadi kebutuhan tak terpisahkan dari masyarakat.
Film menjadi salah satu program unggulan di banyak TV.
Survei
pada 2011 oleh AC Nielsen menyatakan, orang Indonesia menghabiskan waktu
sebanyak 20 jam 18 menit seminggu untuk menonton televisi; tetapi pada 2013
terjadi peningkatan karena rata-rata waktu orang Indonesia yang menonton TV
menjadi 28 jam per minggu atau lebih dari empat jam setiap hari atau dua bulan
nonstop menonton TV selama setahun. Waktu yang dihabiskan untuk menonton TV
berbeda dengan waktu online di internet. Penduduk Indonesia menghabiskan
rata-rata 14 jam per minggu untuk online di internet atau rata-rata dua jam
sehari.
Ada
sekitar 55% pengguna bisa sekaligus mengonsumsi (multitasking) internet dan
televisi dan 45 % hanya mengakses masing- masing internet dan TV. Selain itu,
secara umum, mereka yang berada di usia 12 sampai 17 tahun menghabiskan waktu
sebanyak tujuh jam dan 48 menit per bulan untuk ratarata menonton video pada
ponsel. Jumlahnya, 18% lebih banyak dari orang-orang usia 18 sampai 24 tahun
dan lebih besar 46% dibanding pada usia 25 sampai 34 tahun. Jumlah waktu yang
dihabiskan untuk menonton film melalui internet jauh lebih banyak lagi.
Semoga
saja film Sebelum Pagi Terulang Kembali akan menjadi media yang baik, bukan
sekadar untuk ditonton, tetapi juga dapat menjadi media pembelajaran. Lebih
jauh dari itu, film pada dasarnya dapat menjadi tuntunan karena dapat digunakan
untuk mencerdaskan dan mencerahkan dengan mentransformasikan nilai-nilai baik
antara lain antikoruptif, kolusif, dan nepotistik yang ditujukan untuk
membangun watak, harkat, dan martabat masyarakat. Film ini diharapkan dapat
mengombinasikan unsur hiburan dan sekaligus menyampaikan nilai spiritualitas
serta bahkan medium refleksi, selain mengajukan alternatif pandangan dan kritik
sosial.
Film ini
dijadikan KPK sebagai salah satu strategi untuk menyebarluaskan dan membangun
vaksin berupa budaya antikorupsi dalam keluarga serta diharapkan akan
melengkapi film lain yang telah pernah dibuat di Indonesia. Salah satunya film
yang berjudul Lewat Djam Malam yang diproduksi pada 1954 melalui karya Asrul
Sani. Kritikus film menilai film tersebut sebagai salah satu film terbaik,
tidak hanya dari segi sinematografi, tetapi juga sebagai kritik sosial karena
mengangkat tema korupsi setelah perang revolusi usai.
Semoga
saja, keluarga Indonesia dan para kawula mudanya akan memiliki vaksin
antikorupsi setelah menonton film Sebelum Pagi Terulang Kembali serta
mendapatkan inspirasi terbaiknya untuk bersama-sama memerangi virus-virus
koruptif dan kolusif yang bersemayam pada diri kita sendiri, keluarga, serta sistem
sosial, khususnya dalam struktur kekuasaan. []
KORAN
SINDO, 03 Juni 2014
Bambang Widjojanto ; Komisioner KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar