Republik Mesir III
Oleh: Hasibullah Satrawi
CALON presiden Mesir, Abdel
Fattah El-Sisi, menang telak dalam pemilihan presiden yang digelar akhir Mei
lalu. Komisi Pemilu Mesir dalam pengumuman resmi hasil pemilihan, Selasa (3/6),
mengatakan, Sisi mendapatkan hampir 97 persen suara. Pesaing Sisi, Hamdeen
Sabahi, mendapatkan kurang dari 4 persen (sekitar 800.000) dari total 25 juta
suara yang berpartisipasi, 47 persen pemilih dari total 53 juta rakyat Mesir
yang mempunyai hak suara.
Walaupun bersaing dan berangkat
dari latar belakang berbeda (Sisi dari militer, Sabahi aktivis beraliran kiri),
mereka nyaris ”serupa”, khususnya dalam menghadapi pelbagai macam tantangan
pelik yang dihadapi Mesir saat ini. Paling tidak, keduanya sama-sama anti
Ikhwan Muslimin yang belakangan acap menjadi musuh bersama di Mesir.
Mungkin karena ada ”musuh
bersama”, Pilpres Mesir kali ini relatif ”adem-ayem”, mulai dari masa kampanye
hingga pengumuman hasilnya. Bahkan, dalam sebuah wawancara, Sabahi menyatakan
tidak keberatan apabila ditunjuk menempati posisi tertentu pada pemerintahan
baru.
Mesir baru
Analis terkemuka Mesir, Abdul
Mun’im Said, dalam artikelnya ”Ri’asatu Abdul Fattah as-Sisi” (Kepemimpinan
Abdel Fattah Sisi) di harian terkemuka Timur Tengah, Ash-Sharq Al-Awsat,
menegaskan bahwa melalui Sisi, Pilpres Mesir bisa melahirkan Mesir baru yang disebutnya
sebagai Republik Mesir III (aljumhuriyah at-tsalitsah).
Republik Mesir I dibentuk melalui
Revolusi Juli 1952 dan mengantarkan tokoh-tokoh utamanya menjadi presiden,
seperti Muhammad Najib dan Gamal Abdel Naser hingga Anwar Sadat dan Hosni Mubarak.
Sementara Republik Mesir II terbentuk melalui Revolusi 25 Januari 2011 dan
mengantarkan Muhammad Mursi sebagai presiden (5/2).
Kelemahan paling mendasar
Republik Mesir I adalah kekuasaan otoriter. Kelompok Islamis, seperti Ikhwan
Muslimin ataupun kelompok oposisi lain dan nasionalis sekuler, kerap diberedel
pada masa Republik Mesir I saat dianggap membahayakan rezim penguasa (termasuk
kalangan nasionalis dan sekuler).
Otoriterisme kekuasaan tak
ubahnya candu yang menuntut pelaku terus melakukannya bahkan dengan dosis yang
lebih tinggi dan akhirnya berupaya menguasai dan mengontrol apa pun untuk
mempertahankan kekuasaannya. Itulah kurang lebih yang terjadi pada masa
pemerintahan Mubarak, rezim terakhir Republik Mesir I.
Ketika otoriterisme tak dapat
ditoleransi lagi, meletuslah Revolusi 25 Januari 2011. Lahir Republik Mesir II
yang mengantarkan Mursi menjadi presiden. Pada masa-masa awal, masyarakat Mesir
sangat berharap kepada Mursi sebagai presiden pertama yang mereka pilih
langsung untuk menyelesaikan aneka persoalan, khususnya kemiskinan.
Masalahnya, masyarakat Mesir
menggunakan kebebasan bak ”orang mabuk”. Segala macam yang dianggap tidak baik
atau belum baik langsung dihadapi dengan aksi turun ke jalan, yang terus
berlangsung sampai sekarang.
Sebaliknya, Ikhwan Muslimin
sebagai penguasa Republik Mesir II pun acap ”dimabuk” kekuasaan, khususnya pada
pemerintahan Mursi. Kekuasaan digunakan sampai pada tahap menimbulkan
otoriterisme keagamaan, seperti pembentukan Tim Konstituante 2012 dan pengeluaran
dekrit presiden oleh Mursi.
Inilah kelemahan paling mendasar
dari Republik Mesir II. Meminjam istilah yang digunakan oleh pakar gerakan
keagamaan di Mesir, Hala Musthafa, kondisi Ikhwan Muslimin yang tidak pernah
berkuasa telah membuatnya gagap dalam mengelola kekuasaan (Ma’zaq al-Masyru`
as-Siyasiy lil Islamiyyin; ahram.org.eg,
20/07/2013). Mesir pun semakin jauh terjerumus ke dalam jebakan kerumunan
massal dalam pelbagai aksi unjuk rasa.
Jenderal Sisi sebagai Menteri
Pertahanan dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir kemudian
melengserkan Mursi pada 3 Juli 2013.
Sejak hari itu, Sisi terlibat
langsung dalam perkembangan Mesir dengan berpedoman pada Peta Jalan Damai
(kharitha at-thariq) yang diumumkan saat melengserkan Mursi.
Tantangan
Ada tiga hal yang menjadi
tantangan serius bagi Sisi, khususnya terkait pemerintahan demokratis yang
menjunjung tinggi kebebasan, kesejahteraan, dan menghormati kemajemukan.
Pertama, menggunakan dan mengelola kebebasan secara positif dan konstruktif.
Tantangan ini tentu tidak mudah
bagi pemerintahan Mesir Republik III mengingat masyarakat Mesir baru saja
mendapatkan kebebasannya. Apabila tidak dikelola dan digunakan secara positif,
kebebasan berubah menjadi rentetan aksi anarki lagi. Apabila terlalu dikekang,
bukan tidak mungkin Sisi akan dianggap diktator baru yang bisa memancing
revolusi lagi.
Kedua, keamanan. Sebagaimana
masyarakat luas pada umumnya, aparat keamanan pun tampak tidak biasa dan acap
canggung dalam menangani pelbagai aksi turun ke jalan.
Begitu juga dengan instansi
pemerintahan lain, seperti kementerian dalam negeri dan militer. Berbagai
benturan memicu instabilitas dan menjerumuskan negeri itu ke dalam kubangan
krisis, khususnya krisis ekonomi.
Ketiga, moderasi Ikhwan Muslimin.
Saat ini Pemerintah Mesir telah memvonis
organisasi ini sebagai kelompok
teroris. Banyak tokoh dan aktivisnya ditahan dan dijatuhi hukuman mati.
Untuk sementara waktu, kebijakan
ini mungkin bisa dipertahankan dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan.
Namun, itu tidak dalam jangka panjang karena Ikhwan Muslimin adalah realitas
masyarakat Mesir dan telah berdiri jauh sebelum Mesir merdeka.
Oleh karena itu, pemerintahan
Mesir ke depan perlu memoderasi organisasi keagamaan seperti Ikhwan Muslimin.
Apalagi, Mesir sukses memoderasi kelompok radikal seperti Jamaah Islamiyah
Mesir. Langkah moderasi akan membantu demokrasi tumbuh sehat dan menunjukkan
bahwa Republik Mesir III berbeda dari Republik Mesir I dan II. []
KOMPAS, 13 Juni 2014
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar