“Fair
Play, Please!”
Oleh:
Budiarto Shambazy
SUNGGUH
memprihatinkan perilaku Babinsa yang melancarkan intimidasi terhadap warga di
Jakarta Pusat untuk memilih calon presiden tertentu. Semoga ini isolated
incident yang tidak dialami warga lain. Wajar ada kecurigaan ”sensus Babinsa”
dilakukan secara sistematis dan masif. Apalagi kita punya pengalaman buruk pada
masa Orde Baru.
Ini
pelanggaran berat terhadap netralitas TNI-Polri sejak kita mendongkel rezim
otoriter sekaligus memilih jalan demokrasi tahun 1998. Apa pun alasannya,
TNI-Polri jangan berpolitik praktis seperti pada masa Orde Baru. Beruntung KSAD
Jenderal Budiman menegaskan akan mengusut tuntas sekaligus memecat siapa pun
yang bertanggung jawab. Kita berharap penegasan ini bukan cuma janji. Terlebih
lagi kita baru memasuki hari-hari awal kampanye yang akan berlangsung sekitar
sebulan.
Sebelum
kampanye dimulai 4 Juni lalu saja, situasi dan kondisi politik sudah memanas.
Kampanye hitam/negatif gencar dilancarkan, baik di media sosial maupun media
massa. Sekali lagi, kampanye negatif kadang kala memang boleh dimanfaatkan.
Namun, kampanye hitam adalah fitnah belaka. Tiba-tiba kita menjadi bangsa yang
permisif dalam politik. Serangan fitnah dilancarkan terbuka tanpa tedeng
aling-aling lagi.
Serangan
kampanye hitam paling mengerikan dilancarkan dengan menyebarkan iklan dukacita
wafatnya calon presiden Joko Widodo. Selain itu, ada yang memalsukan surat yang
seolah-olah ditulis Joko Widodo kepada Kejaksaan Agung.
Dalam
surat itu, seolah Joko Widodo meminta penangguhan pemeriksaan Kejaksaan Agung
sehubungan dengan dugaan korupsi bus transjakarta. Seperti diketahui,
penyidikan korupsi ini sudah pada tahap penetapan tersangka mantan Kepala Dinas
Perhubungan DKI Udar Pristono. Sebetulnya kedua kasus ini—iklan dukacita dan
surat palsu—sudah dilaporkan ke pihak berwajib. Sayang, belum ada tindak lanjut
dari aparat.
Serangan
kampanye negatif juga dialami Prabowo Subianto. Karakter (kumpulan sifat-sifat)
Prabowo yang dianggap negatif dibeberkan sampai terinci di ruang publik.
Sampai-sampai ada sesama jenderal purnawirawan menguak hasil tes Prabowo pada
masa lalu. Pendek kata, pembunuhan karakter Prabowo kebablasan.
Padahal,
sifat-sifat tersebut belum tentu ada kaitannya dengan bekerjanya sebuah
kepemimpinan nasional. Selalu ada beragam alat kontrol moral, politik,
konstitusional, dan hukum terhadap kepala negara sebuah negara demokratis. Suka
atau tidak, akhirnya pemilih akan mengamati karakter, rekam jejak,
kepemimpinan, dan penguasaan atas berbagai masalah. Mereka kurang tertarik
visi, misi, dan program.
Oleh
karena itu, sebaiknya kubu Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto mengurangi
porsi serangan kampanye negatif terhadap karakter lawan. Dan, tentunya kampanye
hitam mulai saat ini harus dianggap sebagai ”barang haram”.
Sekali
lagi, banyak penelitian membuktikan bahwa kampanye negatif, meski menebalkan
militansi pendukung loyal, justru mengalienasi undecided voters. Bahkan tidak
jarang kampanye negatif menghancurkan capres penyerang karena serangan balasan
datang bertubi-tubi.
Kalaupun
melancarkan serangan kampanye negatif, manfaatkanlah metode contrasting. Para
pendukung cukup mengelu-elukan kelebihan-kelebihan jagoan masing-masing, tanpa
perlu mencela kekurangan-kekurangan lawan.
Memang
belum ada istilah ”kampanye positif”. Tetapi, praktik politik yang lebih
menekankan positivisme lebih ampuh untuk merebut suara. Dan, gejala tersebut
sesungguhnya telah terlihat dalam pencapresan 2014 ini. Disadari atau tidak,
mulai terlihat bagaimana kelompok-kelompok masyarakat kita makin sadar dalam
memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Ambil
contoh kelompok-kelompok musisi atau pelawak yang mendekat ke kubu Joko Widodo
ataupun Prabowo Subianto. Dalam deklarasi masing-masing sempat tercatat bahwa
mereka memilih capres dengan harapan ada jaminan perbaikan profesi
masing-masing.
Sekali
lagi, kampanye negatif bak pedang bersisi dua. Kekhawatiran terbesar, kampanye
negatif malah memicu reaksi yang bermusuhan (backlash), yang pada gilirannya
meletupkan keterbelahan pada masyarakat.
Ya,
masyarakat berada di ambang keterbelahan gara-gara urusan ”copras-capres”.
Untuk apa kita mengadakan kenduri demokrasi jika akhirnya kita harus
berdukacita? Padahal, kita pernah mengalami kompetisi frontal yang menghadapkan
dua capres, Megawati Soekarnoputri melawan Susilo Bambang Yudhoyono pada
putaran kedua Pemilu Presiden 2004. Alhamdulillah, situasi dan kondisi politik
saat itu tak memanas.
Lagi pula
dalam situasi dan kondisi yang terbelah seperti saat ini, mudah sekali bagi
pihak ketiga ikut mengadu domba. Kita boleh bangga dengan demokrasi kita selama
16 tahun, tetapi di akar rumput masih banyak kalangan yang mudah disulut
emosinya. Bukan rahasia lagi ada kelompok-kelompok anti keberagaman yang
berpartisipasi aktif dalam Pemilu Presiden 2014. Salah satu akibat tak langsung
adalah penganiayaan terhadap Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus
di Yogyakarta.
Kalangan
akar rumput itu mudah tersulut dengan isu-isu printilan. Akibatnya, isu-isu
yang didengang-dengungkan kedua kubu tak lebih dari sekadar seberapa besar
ketaatan beragama atau status jomblo capres. Ini aneh. Di negara mana pun
syarat capres hanya usia minimal, tidak mengalami gangguan fisik, tak pernah
dihukum, dan bisa tulis baca.
Saya
masih optimistis sejarah pemilu atau pemilu presiden kita tak pernah diwarnai
gonjang-ganjing politik. Sejak tahun 1955, lalu pada era Orde Baru, dan juga
era Reformasi, pemilu dan pemilu presiden selalu berjalan aman dan damai.
Lagi pula
sebentar lagi Piala Dunia 2014 di Brasil mulai 12 Juni sampai 13 Juli. Semoga
Piala Dunia menjadi jeda emosional yang menghibur kita yang sudah amat
dilelahkan oleh urusan ”copras-capres” ini.
Tolong
jangan mengganggu siaran-siaran langsung televisi dengan iklan-iklan
pencapresan yang pasti bikin penggemar sepak bola bete. Dan, bicara soal Piala
Dunia, FIFA punya slogan agar pertandingan enak ditonton dan berjalan sportif.
Slogan itu ”Fair Play, Please!” []
KOMPAS,
07 Juni 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar