Koalisi
untuk Rakyat
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Mengikuti
pemberitaan politik akhir-akhir ini terdapat dua macam kebingungan dan
kegaduhan yang terjadi pada level bawah dan level atas. Pada level bawah adalah
para calon anggota legislatif (caleg) yang gagal lolos ke Senayan, baik karena
dukungan rakyat yang tidak mencukupi maupun merasa suaranya hilang dicuri.
Mereka merasa sudah berjuang habis-habisan, bahkan sudah mengeluarkan dana
besar. Seorang caleg menyatakan dia mengeluarkan dana lebih dari Rp 4 miliar.
Namun, tak ada jaminan melenggang ke Senayan. Fantastis dan sekaligus
memilukan!
Pada
level atas, para elite partai politik (parpol) sedang bingung memosisikan diri.
Dengan modal dan saham kursi di Senayan yang dimiliki, mau dengan siapa dan ke
mana berkoalisi. Mencari teman koalisi ini ternyata tidak cukup bermodal jumlah
kursi semata, tetapi ada faktor lain seperti kecocokan ideologis, agenda besar
yang diperjuangkan, serta kesesuaian chemistry antar-tokohnya.
Kegaduhan
itu ada yang mencuat ke permukaan seperti yang terjadi dengan Partai Persatuan
Pembangunan, tetapi ada pula yang berhasil diredam dalam rumah tangga internal
parpol. Baik kegaduhan pada level atas maupun bawah, sumber utamanya adalah
seputar perebutan kekuasaan dan keuntungan finansial.
Idealisme
versus positivisme
Dalam
pandangan kaum idealis, kekuasaan itu harus direbut sebagai sarana untuk
memperjuangkan kebajikan dan kebenaran. Semulia dan sehebat apa pun sebuah
gagasan tentang masyarakat dan negara, tanpa kekuatan akan sulit diwujudkan.
Itulah sebabnya agama selalu dibawa ke ranah politik dengan alasan untuk
memperbaiki kondisi bangsa dan masyarakat.
Berbeda
dari mazhab idealisme, peringatan dari mazhab positivisme menarik didengarkan,
seperti Marx, Nietzsche, dan Freud. Menurut Marx, apa pun kemasan dan retorika
yang dibangun, ujung dari semua pergulatan politik adalah untuk meraih
keuntungan ekonomi. Status dan agenda ekonomi seseorang akan menentukan
perilaku dan manuver politiknya.
Semuanya
dilandasi kalkulasi untung-rugi secara materi. Adapun pandangan Nietzsche,
seseorang berjuang dengan segala cara dan usaha dalam politik adalah untuk
meraih kekuasaan (the will to power). Kekuasaan itu menggiurkan dan menjanjikan
self-glory. Meski seseorang secara materi sudah kaya raya, belum merasa puas
dan sukses hidupnya jika belum menggenggam kekuasaan politik untuk merasakan
nikmatnya berkuasa dan memerintah orang lain.
Kalau
sudah berkuasa dan memiliki uang banyak, lalu untuk apa? Para pejuang
moralis-idealis tentu jawabnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan demi
menyejahterakan orang banyak. Tetapi, menurut Freud, dalam bawah sadar setiap
orang selalu tersimpan agenda libido yang menuntut pemenuhan. Oleh karenanya,
menurut dia, kekuasaan dan uang selalu berkaitan dengan petualangan seksual.
Kedengarannya memang seram.
Tetapi,
itulah beberapa asumsi dasar perilaku manusia menurut tiga pemikir positivistik
itu. Meskipun tidak semuanya benar, fenomena hubungan dialektis antara
kekuasaan, uang, dan seks tidak sulit ditemukan dalam sejarah kekuasaan dari
zaman ke zaman.
Serendah
itukah motif dasar yang menggerakkan dinamika politik dan kehidupan pada
umumnya? Jika Victor Frankl ditanya, maka jawabnya sangat berbeda. Setiap orang
sesungguhnya mengejar agar hidupnya bermakna (the will to meaning). Berbagai
perjuangan dan penderitaan yang terjadi diharapkan membuat diri seseorang
bermakna bagi orang-orang terdekat yang dicintainya. Siapa pun tidak ingin
hidupnya sia-sia dan jerih payahnya tak bermakna apa-apa.
Dalam
konteks ini, banyak penguasa yang mau melakukan apa saja agar dirinya menjadi
pahlawan bagi keluarganya. Atau bisa juga bangsanya. Jika ditarik ke wilayah
keyakinan perjuangan agama, ada yang rela berkurban nyawa agar dirinya dicatat
sebagai pembela Tuhan dan nanti diganjar surga.
Manuver
koalisi
Kembali
pada tema koalisi. Koalisi adalah sebuah kontrak atau perjanjian kerja sama
yang sifatnya temporer. Dalam konteks penyusunan kabinet, diharapkan koalisi
berlangsung minimal lima tahun. Yang dikhawatirkan seputar wacana dan manuver
koalisi akhir-akhir ini adalah semata hanya untuk memenuhi syarat agar
parpol-parpol yang lolos ambang batas perolehan kursi ke Senayan memperoleh
tiket naik ring pertandingan dalam pemilu.
Mereka
bergabung bagaikan arisan mengumpulkan saham politik agar nantinya kebagian
kursi menteri atau jabatan tinggi lain. Jika ini yang terjadi, prediksi Marx,
Nietzsche, dan Freud akan menjadi kenyataan. Secara lahiriah-formal,
pemerintahan Indonesia mengikuti falsafah Pancasila yang bersifat religius,
humanis, dan idealis, tetapi aktor-aktor politiknya terjebak dalam perburuan
kesenangan fisik dan material (physical and material pleasure).
Yang juga
mesti kita cermati dan kawal adalah apa pun hasilnya, pemilu legislatif dan
pemilu presiden adalah hajat rakyat. Mereka telah menyampaikan aspirasinya yang
mesti dihargai dan dikawal dengan jujur dan transparan. Kalaupun ada anggapan
rakyat belum cukup paham dan terdidik tentang demokrasi dan bagaimana
menggunakan hak-haknya dengan benar, jangan kebodohan dan kekurangan mereka
lalu dimanfaatkan atau ditelikung oleh para politisi untuk kepentingan
parpolnya.
Sangat
menyedihkan mendengar berita yang beredar. Betapa kekuatan uang telah merusak
dan mengkhianati kepercayaan rakyat ketika mereka memilih wakil-wakilnya.
Suaranya hilang dicuri dan dijualbelikan. Lebih menyedihkan lagi ketika suara
hasil manipulasi itu telah terkumpul, lalu dijadikan saham politik oleh jajaran
elitenya untuk manuver koalisi ”dagang sapi”. Sampai-sampai banyak pengamat
menilai, ini adalah pemilu legislatif terburuk sepanjang sejarah. Rakyat
memilih wakil rakyat semata mempertimbangkan uang yang diterima, bukannya
penilaian kualitas orang-orangnya.
Jika
betul penilaian itu, jangan sampai hal ini terjadi lagi pada pemilihan presiden
mendatang. Jangan sampai pasangan capres-cawapres yang menang hanya karena efek
kekuatan uang guna mengelabui rakyat yang miskin dan kurang pendidikan. Koalisi
dan kabinet yang dibentuk mesti koalisi yang sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat,
bukannya kesejahteraan jajaran elite parpol. []
KOMPAS,
09 Mei 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar