Kemandirian Cuci Darah dan Infus
dari Madura
Senin, 28 April 2014
Kemandirian bangsa juga segera
terwujud di bidang ini: garam kesehatan dan garam minuman. Selama ini kebutuhan
garam untuk kesehatan 100 persen harus diimpor. Ini baru saya ketahui ketika
awal-awal menjabat menteri BUMN. Waktu itu saya bertanya kepada direksi PT
Kimia Farma, obat apa saja yang kita belum bisa buat.
Jawabnya
ternyata: semua belum bisa bikin. Bahan baku obat kita semuanya masih harus
diimpor. Memang beberapa obat sudah dibuat di dalam negeri, termasuk obat
lamivudin untuk HIV, tapi bahan bakunya impor. Demikian juga obat-obat generik,
semuanya menggunakan bahan baku dari luar negeri.
Dengan
semangat kebangkitan industri dalam negeri, saya minta direksi Kimia Farma
menyusun daftar obat apa saja yang mungkin akan bisa kita buat bahan bakunya.
Saya minta dimulai dari yang paling mudah.
Ternyata,
ada 12 obat yang mungkin bisa kita buat sendiri. Asal ahli-ahli dari perguruan
tinggi dan lembaga-lembaga riset bekerja sama dengan BUMN. Dari 12 jenis obat
itu, ada yang bisa diwujudkan dalam satu tahun, tapi ada juga yang baru akan
terwujud dalam tiga atau empat tahun. Tidak mengapa. Yang penting masing-masing
ada road map untuk mewujudkannya.
Maka,
mulailah kita buat road map untuk yang paling mudah mewujudkannya: garam
kesehatan dan garam minuman. Kita punya garam. Teknologi untuk mengubah garam
biasa menjadi garam kesehatan dan garam minuman juga tidak terlalu rumit.
Bahkan,
ternyata anak-anak bangsa sendiri sudah berhasil menemukan caranya. Mereka
adalah ahli-ahli yang masih muda (waktu itu) dari BPPT: Imam Paryanto, Bambang
Marwoto, Bambang Sriyanto, dan Wahono sebagai koordinator.
Mereka
melakukan penelitian di pusat garam Madura. Bekerja sama dengan PT Garam
(Persero). Mereka saya sebut “masih muda” (waktu itu) karena penelitian itu
dilakukan 16 tahun yang lalu. Hasilnya langsung mereka patenkan atas nama BPPT.
Berdasar
informasi tersebut, kami mengundang pimpinan BPPT untuk membicarakannya.
Bolehkah penemuan anak bangsa itu diimplementasikan? “Itu yang sudah lama kami
tunggu-tunggu,” ujar Dr Listyani Wijayanti, deputi kepala BPPT yang memimpin
tim BPPT ke BUMN.
Ketika
mengucapkan kata “sudah lamaaaaa”, terasa bunyi huruf “a”-nya mungkin lebih
dari 25 buah.
Mengapa
selama ini hasil penelitian itu tidak diwujudkan agar kita tidak perlu impor
garam farmasi?” Tidak ada yang membuat keputusan,” ujar Dr Listyani yang
alumnus Saitama University Jepang. “Sudah dua buku laporan yang kami terbitkan,
tapi ya hanya sampai buku itu,” tambahnya.
Hari itu
rapat lantas tidak hanya membicarakan penemuan garam farmasi dan minuman. Tapi
melebar ke penemuan apa lagi yang sudah dihasilkan BPPT dan akan dihasilkan
lembaga tersebut. Dari situlah kami sepakati ada 12 penemuan bahan baku obat
yang akan bisa diproduksi di dalam negeri.
Khusus
untuk garam farmasi, waktu itu kami sepakati harus terwujud paling lambat akhir
2014. Tahun ini. Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman menyanggupi. Juga menganggarkan
investasi Rp 25 miliar pada 2014. Kimia Farma sangat mampu menyediakannya.
Rasanya
target itu akan terpenuhi. Kalaupun meleset hanya dua-tiga bulan. Apalagi,
hasil riset BPPT itu memang sudah sangat detail. Badan POM sudah langsung
memprosesnya dan mengizinkannya.
Selasa
lalu penandatanganan kerja sama dua BUMN dilakukan di depan saya. PT Kimia
Farma dan PT Garam. Maka, Kimia Farma segera membangun pabrik bahan baku garam
kesehatan itu.
Pabrik
tersebut akan dibangun di Watudakon, Mojokerto, Jawa Timur. Di sebelah pabrik
yodium milik Kimia Farma. Di situ memang ada sumber yodium. Pembangunan pabrik
garam farmasi dan garam minuman ini bisa cepat karena tanahnya sudah siap,
sudah matang, uangnya sudah siap, dan pabriknya sederhana.
Kalau toh
tidak bisa tepat akhir tahun ini, paling lambat awal tahun depan. Kita segera
mandiri untuk bahan baku garam farmasi dan minuman. Kita bisa stop impor 100
persen. “Bahkan, kami merencanakan ekspor,” ujar Rusdi.
Pabrik
itu tahap pertamanya akan berkapasitas 3.000 ton, tapi dengan mudah bisa
ditingkatkan menjadi 6.000 ton. Garam farmasi ini paling banyak untuk cairan
infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi pasien gagal ginjal), dan
banyak lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan sampo, memerlukan garam
farmasi. Betapa luasnya kegunaannya. Kedelai edamame yang jadi makanan pembuka
di restoran Jepang juga menggunakan garam farmasi.
Pabrik
infus dari Jepang seperti Otsuka sudah berminat membeli produksi Kimia Farma.
Demikian juga pabrik-pabrik minuman seperti Pocari Sweat dan Coca-Cola.
Tahun
depan, kalau Anda lagi diinfus, jangan terus mengira bahan bakunya masih impor.
Itu sudah dari Madura. Tapi, lebih baik kalau Anda tetap sehat dan tidak
memerlukan infus sama sekali. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar