Ketika
Kita Berselisih Faham
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kita semua, Saudaraku, seaqidah.
Selalu bersatu dalam tauhidillah dan tak sebuah macam makhluk pun yang mampu
memisahkan kesatuan kita itu kecuali kekeruhan rokhani kita sendiri: ‘marodhun
fii quluubina’.
Tapi
mungkin kita tak sefaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak sependapat. Tak
seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut itu, sementara saudara kita
yang lain barangkali suatu unikum tertentu dari kepribadiannya berdasarkan
kodrat kelahiran dan mungkin latar belakang kebudayaannya. Kita kemudian saling
bisa bermusyawarah, dan hasil musyawarah itu sebagian bisa kita putuskan
menjadi suatu kesepakatan tunggal, tetapi sebagian yang lain mungkin harus kita
biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik, bahkan
saling menghakimi: tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah tindak
penghakiman itu selayaknyalah dilandasi oleh keinsyafan kita akan keterbatasan
dan relativitas kemampuan kemakhlukan kita. Selebihnya keyakinan yang tak bisa
ditawar-tawar bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa dan Maha Mampu untuk
menyelenggarakan penilaian yang sehakiki-hakikinya.
Demikianlah,
Saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sefaham, hal itu tidaklah perlu
dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: seribu kepala punya seribu pendapat.
Ketika Allah berfirman wa ja’alnaakum syu’uuban wa qobaa-ila, lita’aarofuu….,
kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan sekedar perbedaan bangsa-bangsa dan
suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dan konotasinya. Yakni
bahwa disamping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum
tersendiri yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka atau
kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang lebih
meluas, ada syu’uub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi
keagamaan yang berbeda-beda. Dan diantara yang berbeda-beda itu dianjurkan
untuk ta’aarofu, saling kenal-mengenal, saling mengerti, saling memberi ruang,
saling toleran, sepanjang tak sampai menyangkut perbedaan prinsipil tentang
aqidah. Sebagian dari perbedaan itu bisa kita runding untuk membawa kita ke
kondisi ‘sepengertian’, tapi sebagian yang lain mungkin tidak. Kemudian kalau
toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita
masing-masing tetap bisa berserah diri kepadaNya, kaanal-ilahu bi-kulli syai-in
‘aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan faham diantara kita tak
selalu harus kita risaukan. Berulangkali aku mengatakan kepada saudaraku bahwa
kita memang harus berusaha agar perbedaan diantara kita bisa menjadi seperti
yang dikehendaki Allah, yakni menjadi rahmat, bukan malapetaka.
Bukan
Musyawarah, tapi Konsensus
Namun
betapa susahnya hal itu kita capai, Saudaraku, kita telah mengalami bersama.
Kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus. Bukan
masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi. Tentu saja tidak sepenuhnya
demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktek komunikasi sosial kita.
Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan kebijaksanaan — itu seringkali berarti
‘tahu sama tahu’ yang tak jarang disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu.
Kita suka damai, tapi itu acapkali berarti kita mengkompromikan, atau
menganggap klop apa yang sesungguhnya bertentangan. Kita menyogok dengan
sejumlah uang untuk kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian.
Kita putuskan sesuatu yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut
ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap
kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan hukum dan
harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian luwes dan retoris
untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal itu ma’ruf, bukan mungkar.
Dalam praktek urusan kenegaraan dan kemasyarakatan seringkali kita menjumpai
kenyataan seperti itu.
Kita tak
membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan dalam proporsi yang
wajar. Sistim politik negeri kita jelas mendorong suatu keadaan untuk ‘tunggal’
seperti kehendak Pemerintah. Mafhumlah kita terhadap perilaku kaum
establishment itu. Namun lebih menyedihkan hati jika dalam praktek kehidupan
beragama kita juga menjumpai kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar
atau tak sadar cenderung memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Ummat
sukar akan berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah Saudaraku tak
usah memintaku untuk menyebut-nyebut contoh kongkrit itu, sebab kita sudah
sama-sama mengetahui dan mangalami.
Aku
meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari niatan sengaja
untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan naluri manusia untuk
senantiasa mempertahankan diri. Diri harus selalu dipertahankan, termasuk semua
keyakinan dan pengertian-pengertian pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup
jika tidak dengan keyakinan dan pengertian pikirannya sendiri. Namun
persoalannya bahwa ia tak harus ‘menyuruh’ semua orang untuk berpendapat
seperti ia, dan hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang
sependapat dengannya: ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan
pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita merasa ‘gugur’
gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas ‘gugur diri’nya itu
memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur seakan-akan adalah kebenaran
Islam. Ia hanya bisa hidup dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kebenaran
Islam, sehingga siapa saja yang tak sependapat dengan dia, maka ia anggap
melanggar Islam. Ia memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda
mati bagaikan seonggok batu yang ‘verbal’ dan miskin. Ia tidak menyediakan
ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi manusia yang
berbeda-beda, kondisi kehidupan yang berbeda-beda, jika ditumbuhkan dengan
Islam, maka ia akan memunculkan mozaik kekayaan-kekayaan yang tiada batasnya,
bagaikan percikan dari kekayaan Allah yang tak bisa diperkirakan. Ia juga tak
bersiap, karena itu, untuk bersikap tawadldlu’, rendah hati, sadar akan
keterbatasan kita bersama, ditengah mozaik yang hanya sedikit saja mampu kita
lihat dan rumuskan itu.
Kukira,
Saudaraku, hakekat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita bersama, bahwa
hidup kita ialah bergerak mengidentifikasi diri dengan kebenaran Islam. Akan
tetapi sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah identik dengan sosok tubuh
kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam sangat luas dan besar, seluas alam
semesta yang Ia ciptakan, dan kita sekedar bergabung kepadanya. Ya, kita yang
amat kecil ini, hanya bergabung kepadanya. Mengolah pribadi kemusliman tidaklah
berarti membangkitkan egosentrisism dimana seseorang menyerap ‘seluruh Islam’
dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam itu sepenuhnya. Itu suatu
takabbur. Padahal kita tidak lebih berarti dari dzarrah: jika kita dilahirkan
untuk menjadi khalifah dimuka bumi, maka kekhalifahan itu mustilah dengan penuh
tawadldlu’; kesadaran akan kefaqiran dihadapan Allah.
Hal ini,
Saudaraku, persis dengan kenyataan bahwa tak seorangpun mampu menguasai Al
Qur’an. Paling jauh ia hanya menguasai penguasaaanya sendiri atas Al Qur’an.
Cakrawala Al Qur’an tak akan selesai ditempuh, jalah lurusnya tak bakal habis
dikembarai. Segala yang mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan
tentang Al Qur’an, hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman
pribadi kita, dan Al Qur’an tak bisa engkau hitung berapa kali lipat
kekayaannya dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka tak ada
pilihan lain kecuali tawadldlu’. Dan memang itu yang terbaik.
Cepat
Berburuk Sangka
Saudaraku,
kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak untuk bersikap mutlak-mutlakan
ditengah perbedaan pendapat. Ini karena kita amat possesif terhadap pemilikan
kita atas pengertian-pengertian kita sendiri. Bagai seorang perawan yang tak
mau secuil pun lelaki pujaannya dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kita begitu
romatik, karena memang pada dasarnya kita begitu mencintai dan bahagia dengan
Islam kita. Begitu rupa romantiknya sehingga dalam beberapa hal kita menjadi
buta. Kita jadi cepat tersinggung, cepat mangkel, cepat berang dan naik pitam
jika sedikit saja hal tentang ‘pacar’ kita itu disentuh orang. Secara rasional
kita menjadi tidak objektif. Dan secara spiritual-psikologis kita menjadi tidak
dewasa, tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan suatu sikap yang
tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan
kebenaran baru atas diri kita.
Dalam
keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan Allah, ijtanibuu
katsiiron minazh zhonni, inna ba’dhodh zhonni istmun, walaa tajassasuu walaa
yaghtab ba’dhukum ba’dhoo. Kita sering cepat berburuk sangka, cepat cenderung
mencari hanya kesalahan-kesalahan saudara kita ynag lain. Bahkan ada prototype
mentalitas kita yang kurang biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita
mengungkapkan perbedaan itu dengan cara ‘yaghtab ba’dhukum ba’dhoo’. Dengan
begitu akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata Allah
‘yashkor qoumun minqoumin’, sedangkan bisa-bisa saja kaum yang dicerca itu
yakuunuu khoiron minhum.
Lebih
‘lucu’ lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu, masing-masing kita merasa
benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu’ menyandarkan kebenaran masing-masing
itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing meras innalloha ma’anna. Tidakkah,
Saudaraku, engkau pernah menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti
itu ditengah perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita
yang dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang
diungkapkan Al Qur’an: …i’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘aamil, wantadhiru
inni muntazhirun…, atau …lanaa a’malunaa wa lakum a’maalukum, salamun ‘alaikum
laa nabtaghil-jaahilin… atau fanistakbaruu fal-ladziina ‘inda robbika
yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa yas-amuun…, bahkan …idz ja’alalladziina
kafaruu fii qulubihimul-hamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu
sakinatahu ‘alaa rosuulihi wa ‘alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.
Tentu
saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara beribu pikiran
kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur kekufuran tertentu
(seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap keduniawian dewasa ini
bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain Allah); akan tetapi, tentu akan lebih
afdhol, apabila kita mengusahakan suatu keterbukaan dan kedewasaan komunikasi,
justru untuk membuka kedok kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan
melenyapkannya. Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami
berbagai perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim dalam pentas-pentas
atau pembicaraan-pembicaraanku diberbagai tempat, dan aku gagal menemui
keinginanku akan keterbukaan dan kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku sering
berkata kepada saudara-saudara kita: “Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia
mengishlah membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa
syukurku”. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup seperti
kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi karena faktor
mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai pada suatu saat aku
berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini seorang muallaf, maka dengan
menghadapi sikap jumud seperti itu, tak mustahil aku terlempar kembali ke luar
Islam. Namun, Alhamdulillah, justru karena itu maka Allah berkenan
menganugerahiku tenaga untuk makin mencintai-Nya serta lebih dalam meyelami
samudera nilai Islam yang demikian luas dan dalam.
Saudaraku
tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh masih amat jauh dari
yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita semua harus senantiasa siap
terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang mungkin saja kemarin masih belum
kita insyafi. Banyak hal kita ketahui, namun jauh lebih banyak lagi yang belum
kita ketahui. Allah telah memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih
cukup buta dan telinga kita masih agak tuli. Segala yang ‘kita kuasai’ itu
pastilah sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang
disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.
Kita
semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satu-satunya
khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai sikap seperti itu:
seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana setiap orang musti
sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif kita amat meyakini dan
menganggap luhur keyakinan serta kebenaran pikiran kita sendiri itu. Saudaraku
Insya Allah sudah membaca buku Dialog Sunnah Syi’ah: surat-menyurat antara
‘Kyai Sunnah’ asy-Syaikh al-Bisri al-maliki dengan ‘Ulama Jumhur’ as-Sayyid
Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita
tentang percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas dan Syi’ah
yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya dibanding informasi itu
ialah bagamana cara dan watak mereka didalam berdialog. Bagaimana keterbukaan
sikap pribadi mereka, seberapa kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh
komunikasi antara mereka, betapa tawadhu’ dan rendah hati mereka, serta betapa
besar gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap
defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan ‘gengsi’ atau ‘harga diri’
pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos ‘mempertahankan pendapat secara
membabi- buta’ seperti yang sering menjadi watak dari dialog-dialog moderen
dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi ‘intelektual’ belaka. Semua
perwatakan dialog itu tentu saja merupakan ‘dimensi tersembunyi’ dibalik
formalitas informasi yang dipaparkan oleh buku tersebut.
Demikianlah,
Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh Allah untuk
menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum Muslimin Insya Allah akan
menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa tidak harus dimulai dari kesediaan
kita semua untuk memerangi berbagai marodhun didalam diri kita sendiri. In
dholaltu fainnamaa adhillu ‘alaa nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya
robbil innahu samii’un qorlib. []
Menturo Jombang, Agustus 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar